"Halo Randra--,"
"Putuskan kerja samamu dengan perusahaan Ruiz Food Company."
"Apa?!"
♡♡♡
"Bisa kau jelaskan, apa yang terjadi?" Busran meminta penjelasan sang kakak ipar sekaligus sahabatnya,
Randra menelepon Busran pada jam 10 malam, setelah hanya satu kalimat singkat, sahabatnya itu menutup panggilan. Busran tak bisa tidur semalaman.
"Aku ingin kerja sama antara Farikin's seafood dan Ruiz Food Company dibatalkan," Randra meraih gelas berisi teh dan setelah meneguk seteguk ia meletakan gelas teh itu kembali.
Busran masih menunggu penjelasan sang sahabatnya.
"Ada berapa kontrak kerja sama antara perusahaanmu dengan perusahaan Ruiz?" Randra bertanya.
"Dua kontrak kerja sama, diantaranya kerja sama antara perusahaan induk Farikin's Food dan anak perusahaan Farikin's Seafood." Jawab Busran.
Randra mengangguk singkat.
"Kenapa kau ingin kerja sama dibatalkan? Farikin akan membayar uang denda karena melanggar kontrak." Busran meminta alasan.
"Berapa biaya denda yang akan di bayarkan oleh Farikin jika membatalkan kerja sama ini?" Randra bertanya.
"Hm...investasinya sekitar dua puluh sampai tiga puluh milyar rupiah, Farikin akan merugi sekitar sepuluh milyar lagi, jadi total denda yang dibayarkan kurang lebih empat puluh milyar rupiah." Busran menghitung denda kerugian Farikin jika memutuskan kontrak.
"Sudah semuanya?" Randra bertanya memastikan.
Busran mengangguk.
"Aku rasa memang sudah semuanya, dua kerja sama itu baru memasuki tahap awal, meskipun ada yang akan selesai."
"Bagaimana jika aku mentransfer tiga juta dolar untuk perusahaan Farikin sebagai bayar ganti rugi?" Randra memandang serius ke arah Busran.
"Hah?" Busran terlihat cengo.
"Tapi kenapa kau ingin melakukan ini? Membatalkan kerja sama antara kedua perusahaan yang dalam masa kontrak akan membuat kedua perusahaan akan renggang." Busran bertanya, dia meminta alasan Randra yang mengutarakan niatnya.
"Juga akan memulai perang antara Farikin dan Ruiz." Sambung Busran.
"Itu yang kuinginkan." Sahut Randra dingin.
Busran melototkan matanya.
"Tapi ayahku akan meminta penjelasan jika dia tahu bahwa Farikin melanggar kontrak dengan Ruiz,"
"Dan sebenarnya apa yang terjadi Randra? Kenapa kau ingin memulai perang dengan Ruiz? Mereka juga merupakan perusahaan raksasa yang sudah merambah di asia, momentum mereka besar sekali." Ujar Busran.
"Dan Basri juga bukan merupakan perusahaan kacangan yang bisa di remehkan sesuka hati mereka." Randra membalas perkataan Busran.
Dia memandang tajam ke arah Busran.
"Akan aku kembalikan mereka ke tempat dimana mereka berasal." Lanjut lelaki 50 tahun itu.
Glek
Busran menelan air ludahnya.
"Alasan logis?"
"Tanah disini bukan milik mereka, mereka hanya pendatang yang memasuki daerah ini, pulang ke tempat mereka itu lebih baik daripada gulung tikar." Ucap Randra dingin.
Busran terlihat berpikir, entah apa yang terjadi pada sahabatnya ini, secara tiba-tiba ingin memulai perang dengan Ruiz.
Drrtt drrt
Busran melihat ponselnya, sang putri menelepon.
"Halo, Bushra ada apa?"
"Assalamualaikum, papa, Bushra dan kak Gaishan mau nginap di rumah om Randra." Bushra mengutarakan niatnya.
"Memangnya ada apa?" Busran bertanya.
"Kak Poko sakit, Bushra mau nemenin kak Poko." Jawab Bushra.
"Apa!?" Busran mendongak ke arah depan.
Dia memandang Randra yang sedang menyeruput tehnya santai.
"Papa, sudah dulu yah." Ujar Bushra mengakhiri panggilan.
Sedetik setelah panggilan Bushra, Busran menelan susah air ludahnya.
"Apa ini terkait dengan Poko?" Busran mengeluarkan hati-hati pertanyaannya.
Randra menyeruput tehnya lagi, lalu setelah di meletakan gelas tesnya, dia tersenyum iblis.
♡♡♡
"Apa!"
"Farikin's Seafood dan Farikin's Food memutuskan kerja sama kontrak?"
Ben, pria 29 tahun itu berdiri seketika dari tempat duduknya.
Sasha yang merupakan sekretarisnya terlihat mengangguk tanda membenarkan.
"Benar pak, Ruiz telah mengonfirmasi itu tadi pagi jam 10, baru saja, dan kontrak kerja sama itu dikembalikan beserta dengan biaya denda pelanggaran kontrak Farikin senilai empat puluh lima milyar." Jelas Sasha.
Glik
Bunyi gemeletuk gigi Ben, pria 29 tahun terlihat menahan amarahnya.
Tok
Tok
Tok
"Masuk!" Ben tidak punya banyak kesabaran.
Ceklek
Terlihat dua orang memasuki ruang kerja Ben.
"Maaf tuan, Anggara Investation membatalkan investasi kerja sama dengan perusahaan Ruiz." Ujar salah seorang yang masuk.
Ben memandang tajam ke arah orang itu.
"Maaf tuan, Naran Investation menarik kembali dana investasi mereka." Terdengar ucapan dari salah seorang yang masuk tadi.
"Apa?!" mata pria itu terlihat memerah, wajahnya terlihat kaku.
♡♡♡
Tak
Tak
Tak
Ceklek
"Kita mulai rapat dewan direksi hari ini." Ben memasuki ruang rapat direksi.
Peserta rapat di ruang itu terlihat menoleh ke arah sang pimpinan perusahaan mereka.
"Tuan Ruiz, berita yang kami dengar apakah benar bahwa Farikin's Seafood membatalkan kontrak kerja sama dengan kita?" salah satu di ruangan itu membuka suara.
"Kami juga mendengar bahwa dari Pihak Anggara juga membatalkan investasi mereka." Timpal seorang yang lain, pria paruh baya.
"Bukan hanya itu, Naran Investation juga menarik penuh dana mereka dalam proyek Nusa Indah di NTT." Lanjut seorang yang lain.
"Harga saham kami menurun, bagaimana ini?" seorang pria paruh baya bertanya dengan panik.
"Ini tidak bisa dibiarkan, memangnya apa yang dilakukan oleh kami sampai kerja sama kita dibatalkan?"
"Ada apa ini? Kami minta penjelasan anda tuan Ruiz."
"Ya, kami minta penjelasan anda."
"Ya, kami minta penjelasan anda."
Terdengar suara sahut-sahutan dari seluruh peserta rapat, mereka bagikan orang yang kebakaran jenggot.
Ben mengedarkan seluruh pandangannya ke arah ruang pertemuan.
"Kita akan rugi,"
"Harga saham terus menurun."
"Bagaimana ini."
"DIAM!"
"..."
Ruang rapat itu seketika sunyi. Orang-orang yang bergerak seperti cacing kepanasan tadi berhenti seketika. Momentum kuat yang dikeluarkan oleh orang didepan mereka itu membuat mereka merapatkan seketika bibir mereka.
Ben melirik ke segala arah.
Plak
Sebuah dokumen ditangannya di lemparkan di atas meja.
"Tanda tangan surat pernyataan kalian disini," ujar Ben.
Peserta rapat saling memandang.
"Sekarang." Tutup Ben.
♡♡♡
"Ben, papa ingin bicara." Silvio memandang anaknya ketika Ben baru saja hendak masuk ke kamarnya.
Ben berbalik dan melihat sang ayah, lalu dia mengikuti Silvio di ruang kerja ayahnya.
Di dalam ruang kerja ayahnya, Ben duduk berhadapan dengan Silvio.
"Apa yang sebenarnya terjadi di Ruiz Food Company?" Silvio tanpa basa basi langsung bertanya.
"Papa tidak perlu bertanya, pasti sudah mengetahui situasi yang sebenarnya." Ben duduk tenang.
Silvio mengerutkan keningnya.
"Kenapa ini bisa terjadi? Tiga perusahaan besar membatalkan kerja sama dan menarik investasi bersamaan, butuh kejelasan."
"Sedang aku selidiki." Ujar Ben.
"Rapat dewan direksi bukan main-main, mereka adalah dewan komisaris, mereka juga punya hak dalam keputusan perusahaan." Ujar Silvio mengingatkan Ben.
Ben terlihat mengangguk.
"Memang rapat dewan direksi bukan main-main, tetapi itu hanya satu pilihan untuk saat ini, Ben harus mengoordinasikan ke semua dewan direksi di perusahaan Ruiz maupun perusahaan yang diakuisisi oleh Ruiz."
"Apa Ruiz Food Company melanggar atau menyinggung mereka?" Silvio bertanya.
Ben terlihat berpikir, ia menggeleng.
"Ruiz Food Company baik-baik saja dengan mereka."
Silvio juga terlihat berpikir.
"Ruiz's Wine akan tahu masalah ini, mereka tidak akan melepaskan celah ini untuk menjatuhkan kita."
Ben memandang ayahnya.
"Papa juga punya saham disana dan aku juga punya, tidak segampang itu mereka ingin menjatuhkan kita." Balas Ben.
"Pikirkan baik-baik langkah yang harus kau ambil selanjutnya, papa besok akan ke Kordoba menyelesaikan masalah ini," ujar Silvio.
"Maksud papa?"
"Papa akan mentransfer sebagian saham Ruiz's Wine ke Ruiz Food Company." Silvio menjawab.
Ben terlihat berpikir.
"Itu beresiko."
"Kalau kau tahu itu beresiko, segera yakinkan Tinar Group untuk melaksanan kerja sama dengan kita." Balas Silvio.
Ben terlihat berpikir, lalu dia mengangguk.
"Baik."
♡♡♡
"Tante Momok, ini kue engkak, Bushra dan kak Gaishan tadi singgah di restoran Lampung." Bushra memberikan sebuah bungkusan kecil ke arah Moti.
Moti meraih bungkusan itu.
"Makasih Bushra."
Bushra mengangguk.
"Bushra naik ke kamar kak Poko yah?"
Moti menggangguk.
Bushra naik ke lantai dua, dia mengetuk pintu kamar kakak sepupunya.
"Kak Poko, Bushra masuk yah." Bushra masuk ke dalam kamar Popy.
Tak lama kemudian Gaishan muncul menyapa Moti.
"Tante Momok."
Moti mengangguk.
"Poko ada di atas."
Gaishan mengangguk lalu naik menyusul adiknya ke kamar Popy.
"Kak Poko kok tiba-tiba sakit sih? Kan kuat orangnya." Tanya Bushra sambil duduk di pinggir ranjang Popy.
Ceklek
Gaishan ikut masuk.
"Dengar kabar dari Alan kamu sakit, jadi kita rencana mau nginap disini." Gaishan mengambil kursi rias di depan meja rias dan duduk di sebelah Popy yang sedang bersandar di kepala ranjang.
"Shh...huuf..." helaan napas Popy.
Gaishan dan Bushra memandang ke arah Popy.
"Ada apa? Ceritakan pada kita." tanya Gaishan.
Popy terlihat cemberut.
"Ayolah kak Poko, kok mukanya gitu? Nggak ada semangatnya." Ujar Bushra.
Gaishan melipat tangannya di d**a sambil memandang Popy.
"Biar aku tebak, Ben lagi kan?"
Popy melirik ke arah Gaishan.
Bushra manggut-manggut tanda mengerti.
"Apalagi sih yang orang itu buat?" Gaishan bertanya ke arah Popy.
Popy menggeleng.
"Nggak ada..." jawabnya parau.
"Sshh...huuff..." lubang hidung Gaishan melebar.
"Ok, apa kamu patah hati?" tanya Gaishan lagi.
Popy yang mendengar pertanyaan Gaishan menjadi cemberut, wajahnya berubah jelek.
"Sut..." Bushra menoel sang kakak.
"Kak Gaishan apa-apaan sih." Dongkol Bushra pelan.
"Sshh..." Gaishan yang mendapat tatapan dongkol sang adik hanya bisa melebarkan lubang hidungnya lagi.
♡♡♡
"Kak Alan curang!" terdengar suara Bushra di dalam kamar Popy.
"Apanya yang curang? Memang sekarang kan giliran kak Alan yang main." Alan memutar dadu di atas papan dadu.
"Hiss...tapi kan seharusnya kak Alan turun ke bawah, kenapa malah stop lalu main lagi terus?" Bushra terlihat kesal.
"Darimana yang harus aku turun ke bawah? Kamu salah lihat." Alan tanpa perasaan membalas sang adik sepupu.
Bushra mencebikan bibirnya kesal ke arah Alan.
"Penakut kamu Alan," Gaishan mencibir.
Alan melirik ke arah Gaishan.
"Sembarangan, tadi aku memang tidak dapat ular, lewat sedikit."
"Halah bohong, jelas-jelas aku juga lihat kalau dadu kamu tadi empat, tapi kamu malah lewat satu kolom." Balas Gaishan.
"Sembarangan saja, mata kalian buta? Aku dapat nomor lima, jadi wajar saja aku melewati ular ini." Unjuk Alan ketika menjelaskan dadunya.
"Heum." Bushra dan Gaishan mendengus ke arah Alan.
Krak krak krak
Terlihat angka lima di papan dadu.
Popy terlihat menjalankan bidaknya, dia berhenti di kolom yang berisikan tangga, lalu bidak itu naik ke atas mencapai angka 91.
"Eh?! Kak Poko tadi dapat angka lima, bukan angka enam, seharusnya kak Poko itu ada di angka tujuh puluh dua." Alan menginterupsi kakaknya ketika menggoyang dadunya lagi.
"Kamu salah lihat, Lan, tadi Poko dapat angka enam." Ujar Poko.
"Nggak kok, Alan ngak salah lihat, tadi beneren kalau dadu kak Poko itu angka lima bukan enam, ya kan Gaishan? Bushra benar kan?" Alan menoleh ke arah dua sepupunya, dia mencoba mempertahankan argumennya.
Sesaat Bushra dan Gaishan ingin mengangguk, tetapi tatapan mereka melirik ke arah belakang Alan, seorang lelaki paruh baya sedang bersandar di dinding sambil melipat tangannya.
Glek
Bushra dan Gaishan menelan ludah mereka serentak.
Gleng
Gleng
Mereka berdua menggeleng.
"Loh, mata kalian buta ya? Jelas-jelas aku lihat," dongkol Alan.
"Mata kamu aja yang salah lihat, Lan, kita juga tadi lihat itu angka enam, bukan angka lima." Ujar Gaishan memandangi papan permainan.
"He'em, kak Alan salah lihat, Bushra juga lihat tadi." Timpal Bushra sambil meringis bersalah.
"Heh...benar kok." Ngotot Alan.
"Ayah Ran, tadi dadunya Poko ada berapa angkanya?" tanya Poko.
"Enam." Jawab Randra singkat.
Glek
Alan menggigil setengah mati.
"Sial, ada ayah dibelakang, pantas saja dua bersaudara bau ini menyangkal." Batin Alan rugi.
♡♡♡
"Aku mendengar kau memulai perang dengan Ruiz." Aran, pria yang sekarang berusia setengah abad itu memandang ke arah teman lamanya.
Randra mengangguk.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanya Aran.
Busran, Naran dan juga Dwi saling melirik.
Randra menoleh ke arah Aran, lalu dia tersenyum kecil.
"Kau pasti sudah tahu apa mauku." Ujar Randra.
Aran mengangguk tanda mengerti.
"Sayang sekali, aku hanya punya anak perempuan." Ujar Aran sambil menggelengkan kepalanya.
"Jika saja Casilda seorang laki-laki kita bisa menjadi besan dimasa depan."
"Byuurr...!"
"Uhuk! Uhuk!"
"Akhuk! Uhuk! Uhuk!"
Tiga teman mereka tersedak makan dan minuman mereka.
Randra hanya menaikan sebelah alisnya.
"Aku lebih menyukai Popy menjadi menantuku." Ujar Aran.
Randra menatap tajam ke arah mantan wakil ketua Storm Rider itu.
Aran yang mendapat tatapan tajam itu membetulkan cara duduknya.
"Ehem...tapi tidak dengan kenyataan." Koreksi Aran.
"Ppfftt!" Busran dan Naran menahan tawa mereka mati-matian, sedangkan Dwi menunduk sambil tersenyum kecil.
"Siapa yang berani menyentuh putrimu? Tangan mereka pasti retak." Dwi bersuara.
Busran dan Naran manggut-manggut.
"Aku rasa Ruiz ceroboh..." Naran menilai.
"Anak Mali akan menjadi sarang tinju dari kami." Busran berbisik ke arah Naran dan Dwi.
Aran yang mendengar bisikan Busran menaikan sebelah alisnya.
"Bocah bau."
♡♡♡
"Selamat pagi tuan." Sasha memberi salam kepada Ben yang akan memasuki ruang kerjanya.
Ben mengangguk.
"Sasha, bawa hasil rapat dewan direksi kemarin ke ruanganku."
"Baik tuan." Sasha mengangguk.
Setelah Ben masuk ke ruang kerjanya, Sasha mengikuti Ben dengan beberapa dokumen di tangannya.
"Dewan komisaris dan beberapa eksekutif yang lainnya menyetujui rencana pemindahan saham mereka ke Ruiz Food Company, namun ada beberapa yang masih ragu-ragu." Sasha menjelaskan.
Ben mengangguk singkat.
"Ada juga perusahaan yang kami akuisisi mengajukan keberatan ketika pihak Ruiz Food Company mengirim dokumen ke mereka, Farmer Food menyatakan keberatan." Lanjut Sasha.
Ben terlihat berpikir.
Dia mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di meja kerjanya.
"Saya akan mengadakan pertemuan dengan mereka sekali lagi, atur jadwalnya siang ini, dan undur jadwal rapat dengan Tinar Group."
Sasha mengangguk.
"Baik tuan."
Sasha berbalik berjalan keluar dari ruangan Ben.
"Sasha,"
Sasha berbalik.
"Ya, tuan."
"Kemarin...apa dia datang ke sini?" Ben bertanya ragu-ragu.
Sasha mengerutkan keningnya, dia terlihat berpikir.
"Dia..." gumam Sasha tak yakin.
Ben menelan air ludahnya.
"Apa gadis itu datang kesini?"
"Ahm-itu..." Sasha sepertinya tahu siapa yang dimaksud bosnya.
"Kemarin nona Basri tidak datang ke sini." Jawab Sasha.
Ben terlihat memandang serius ke arah Sasha. Seakan tahu maksud bosnya Sasha memberi tahu Ben lagi.
"Hari ini...hari ini sepertinya nona Basri tidak datang." Ujar Sasha sambil melirik jam dinding di ruangan Ben, jam menunjukan pukul 9 pagi, sepertinya nona muda Basri tidak datang seperti seminggu yang lalu, selalu membawa sarapan kepada bosnya.
Ben mengangguk singkat.
"Saya mengerti, kau boleh keluar."
Sasha mengangguk lalu dia menutup pintu ruangan Ben.
Beberapa jam telah berlalu, Ben terlihat berpikir ketika dia membuka dokumen yang dia baca, namun pikirannya tak ada di dokumen itu.
Ben melirik jam di dinding ruangannya.
"Sudah jam satu siang." Gumam pria itu.
Tok
Tok
Tok
"Masuk."
Ceklek
Sasha masuk ke ruangan Ben.
"Tuan, nona Tinar sedang menunggu."
Senyum tipis yang tadinya terlintas di bibir Ben memudar seketika.
"Nona Tinar?" Ben memastikan pendengarannya.
"Ya." Sasha mengangguk.
Ben melirik lagi ke arah jam dinding, memang benar bahwa jarum jam menunjuk pada arah angka satu. Dia tidak salah lihat. Tetapi sepertinya situasi ini salah.
"Siapa diluar selain nona Tinar?"
"Tidak ada." Jawab Sasha.
Ben mengerutkan keningnya.
"Anda memberi tahu saya sebelumnya bahwa anda akan bertemu dengan nona Tinar membahas kerja sama dengan Tinar group." Lanjut Sasha.
"Saya menyuruhmu untuk mengundurkan jadwal pertemuan kami." Ujar Ben.
"Ehh...benar, tetapi nona Tinar--,"
"Suruh nona Tinar pergi, nanti kami akan bertemu." Ucap Ben dingin.
"Baik." Sasha berjalan keluar dari ruangan Ben.
Sepeninggal sekretarisnya, Ben terlihat agak linglung, dia memperhatikan jam dinding di ruangannya lalu mencocokan jam itu dengan jam yang ada di lengan kirinya.
"Benar jam satu lewat lima menit." Gumam Ben.
"Dia tidak datang..."
♡♡♡