Chapter 3

2128 Words
"Ben, bagaimana kerja sama perusahaan kita dengan European Food Company?" pria paruh baya membuka suara di meja makan saat sarapan. Ben, sang anak mendongak. "Satu minggu yang lalu aku sudah meninjau kontrak perjanjiannya, minggu ini kami akan mengadakan pertemuan lagi, tapi itu di perusahaan induk, Kordoba." Jawab Ben. Silvio, sang ayah mengangguk mengerti. "Bagaimana dengan pembagian keuntungannya?" "Sedang dalam masa negosiasi." Jawab Ben. "Papa dan mama akan kembali ke Kordoba setelah proyek ini selesai, ini adalah tanggung jawabmu, papa melatihmu agar bisa menjadi pewaris Ruiz yang unggul lebih dari sepupumu yang lain." Silvio memandang serius ke arah anaknya. Ben mengangguk mengerti. "Aku mengerti." "Warisan Ruiz sangat besar, apalagi setelah papa melepaskan pabrik anggur utama yang diproduksi oleh keluarga Ruiz, sepupuku yang lainnya tidak akan melepaskanmu begitu saja, mereka tidak bodoh." Silvio menjelaskan. Ben terlihat berpikir. "Dan aku juga tidak bodoh." Silvio mengangguk puas. Warisan keluarga Ruiz, pertikaian keluarga Ruiz dan perebutan properti keluarga Ruiz bukan lagi hal baru yang di dengar oleh Ben. Ben juga tahu bahwa masing-masing keluarga Ruiz juga punya pikiran lain, keluarga utama ataupun cabang. "Hm..." Mali melirik suami dan anaknya. "Ben, kapan-kapan bawa Poko kesini." Ben melirik sang ibu. Pria itu hanya melanjutkan sarapannya. Tidak mendapat respon sang anak, Mali cemberut. "Mama kesepian."  Lanjut Mali. "Papa, mama, Ben pergi." Pamit Ben  lalu dia berjalan keluar dari ruang makan. "Ck! Ikut sifat siapa dia itu?" Mali berdecak. Silvio melirik sang istri. "Jangan memaksanya." Mali melirik dengan ekor mata ke arah Silvio. "Kamu tahu apa? Dia anakku." "Dia juga anakku." Balas Silvio. "Aku tahu apa yang di inginkan anakku, aku ibunya, perasaanku tidak pernah meleset." Ujar Mali ngotot. Silvio memandang ke arah Mali. "Biarkan Ben menentukan pilihannya sendiri, entah itu putri tuan Tinar atau putri dari keluarga Basri." Mali memandang Silvio kesal. "Memangnya kau tahu pilihan Ben? Kau tidak tahu, kau sibuk dengan warisan keluarga Ruiz." Brak Mali menghentakan tangannya di atas meja makan, lalu dia berjalan ke arah kamarnya kesal. Brrukk Klik Klik Bunyi pintu kamar tertutup kasar. "Ssshhh...huuufff," Silvio menghembuskan napas lesu. "Kenapa dia selalu marah." Gumam Silvio. ♡♡♡ "Selamat pagi tuan," Ben mengangguk singkat, lalu dia berjalan lurus memasuki lift. Ting "Selamat pagi Ben." Terdengar sapaan gadis berambut merah bata di depan pintu lift. Ben, pria yang disapa berhenti sebentar, ia tak menyangka bahwa Popy akan menunggunya di depan pintu lift. "Ben, ayo sarapan, Poko bawakan Ben sandwich yang waktu itu." Ajak Popy. "Poko bawa terus loh sandwichnya dari seminggu yang lalu, tapi Ben-nya nggak ada." Lanjut Popy. Ben kembali berjalan memasuki kantornya. Popy mengekori Ben masuk ke dalam ruangan. Tak "Huuff..." Popy menghembuskan napas lega ketika duduk di kursi sofa. Ben duduk di kursi kebesarannya, dia meninjau kembali dokumen-dokumen kerja sama antara perusahaannya dengan perusahaan lain. 1 jam kemudian Popy mulai menggerak-gerakan badannya, dia duduk 1 jam tanpa bergerak. 2 jam kemudian Popy melirik jam tangannya, ini jam setengah setengah 11, Popy agak gelisah. "Sebentar lagi, Ben sedang sibuk." Batin Popy bersabar. Namun 1 jam kemudian Popy bagaikan cacing kepanasan yang duduk di atas sofa. Dia bergerak di atas sofa melihat Ben yang tak menghiraukannya. Tok Tok Tok "Masuk," sahut Ben. Tak Tak "Maaf tuan, nona Tinar sedang menunggu di ruang tunggu." Ujar sekretaris Ben. Ben melirik arlojinya dan mengangguk singkat. "Saya akan segera keluar." Sekretaris Ben menunduk lalu berbalik keluar dari ruangan Ben. "Eoh!? Ben, nona Tinar itu siapa?" Popy bertanya penasaran ke arah Ben. Sret Ben berdiri dari kursinya, dia berjalan melewati Popy dan keluar dari ruangannya. "Eh? Ben, nggak sarapan? Ini Popy udah bawa sarapannya buat Ben." Ujar Popy linglung. Popy cepat-cepat berdiri dan meraih kotak sarapan yang ia bawa lalu mengikuti Ben. Badannya mengalami kram karena terlalu lama duduk, namun dia tidak ada waktu untuk merenggangkan badannya. "Ben ini kan Poko--," "Kemana kita akan makan siang hari ini?" Popy mendengar suara merdu seorang gadis. "Eh?" Popy menatap gadis itu linglung. "Imperial." Jawab Ben singkat. "Baik, ayo." Sahut gadis itu. Lalu Ben dan gadis itu berjalan ke arah lift. Popy yang melihat Ben berjalan tersadar dari pikirannya, lalu dia cepat-cepat mengejar Ben dan gadis itu. "Ben! Ben! Tungguin Poko." Popy berlari-lari kecil memasuki lift. "Ouh?" gadis yang bersama Ben menaikan sebelah alisnya ke arah Popy. "Huuff, akhirnya nggak terlambat." Desahan lega dari Popy. Popy menoleh ke arah Ben lalu tersenyum cerah. "Ben mau makan siang juga? Barengan Poko aja yah?" Ben tidak melirik sedikitpun ke arah Popy. Gadis yang bersama Ben hanya melirik Popy dengan pandangan penasaran. Ting Mereka sampai di lantai 1, tiga orang itu keluar dari lift dan menuju ke luar perusahaan. "Ben, kita mau makan di restoran Imperial yah? Wah hebat, Poko pernah makan disitu." Celoteh Popy ke arah Ben. Ketika Ben dan gadis itu memasuki mobil, Popy ingin ikut masuk. Brak "Eh?!" Popy terbingung, pintu mobil tertutup rapat. "Jalan." Ben memberi instruksi. Broom broom "Eh?! Ben! Ben! Poko belum naik! Ben nggak lihat Poko yah?" Popy mengejar mobil yang dinaiki oleh Ben dan gadis tadi. ♡♡♡ "Kalau tidak salah dia adalah nona muda Basri kan?" Ben melirik ke arah gadis di depannya tanpa suara. "Aku sudah mendengar tentang gadis itu, cukup lama dia mengejarmu." Lanjut gadis itu. Ben mengerutkan keningnya. "Ehm, maksudku aku mendengar dari beberapa karyawan Ruiz yang membicarakan dia." Gadis itu mengoreksi pembicaraannya. "Tidak ku sangka dia memang tidak tahu malu--," "Nona Tinar, aku tidak mencampurkan urusan pribadi dan pekerjaanku." Ben menyela ucapan gadis di depannya. Gadis di depan Ben menutup bibirnya, tidak bersuara. Lalu mereka melanjutkan lagi makan siang mereka. Setelah makan siang mereka yang singkat, Ben berdiri dari kursinya. "Sampai disini pertemuan kami, selanjutnya saya akan mengadakan rapat bersama dengan pihak eksekutif dari Tinar Group untuk membahas kerja sama lebih lanjut." Gadis yang didepan Ben juga ikut berdiri, dia tersenyum manis ke arah Ben. "Tidak perlu terburu-buru tentang kerja sama ini, kakekku juga tidak keberatan." Gadis itu membalas ucapan Ben dengan senyuman manis. "Tapi saya sudah menentukan target waktu selesai dari proyek ini." Ben memandang gadis di depannya. "Ehm...kakekku tidak keberatan tentang waktu selesainya proyek ini, kita berdua bisa meluangkan waktu lebih lama dan berbicara mengenai kerja samanya jika anda tidak puas." Gadis di depan Ben mencoba menahan Ben agar berbicara lebih. "Sayangnya bukan hanya Tinar Group saja mitra bisnis Ruiz, masih ada banyak lagi, permisi." Ben berbalik dan keluar dari restoran itu. Sepeninggal Ben, gadis tadi menggertakan giginya kesal. "Lihat saja nanti." ♡♡♡ "Loh, Poko kok nggak makan?" Laras memandang cucunya bingung. Popy hanya melihat makanan di atas piring tanpa menyentuhnya. Lama pikiran Popy berkelana, dia bahkan tidak menyahut pertanyaan nenek dan ibunya. "Poko, ayam kecapnya nggak dimakan? Ayam kecapnya bunda nggak enak yah?" Moti memandang sang anak. "..." Keluarga Basri saling melirik, mereka bingung apa yang terjadi dengan Popy, tadi pagi dia pergi ke luar rumah dengan gembira, lalu pulang dengan lesu. "Poko..." Iqbal memanggil lembut sang cucu. Namun sang cucu tak merespon, Iqbal jadi bingung sendiri. Randra memandang sang putri yang terlihat lesu, pikirannya sepertinya tak ada di dalam raganya. "Poko..." Randra membuka suara. Popy tak menyahut, tak menyerah Randra mencoba memanggil Popy lagi. "Poko, kenapa tidak dimakan?" "Apa makanannya tidak enak?" lanjut Randra. Popy tak merespon. "Sshh...huf..." Randra menghirup dan menghembuskan napas. Lalu dia menyentuh bahu sang anak. "Poko, ada apa? Bilang ke ayah Ran." "Eh!?" Popy tersadar, lalu ia menoleh ke samping kanannya, ia melihat tatapan sang ayah. Gleng Gleng Popy menggelengkan kepalanya. "Poko agak lelah ayah." Ucap gadis itu. Randra mengerutkan keningnya. "Lelah kenapa? Apa kuliah di sana menyulitkan?" Gleng Gleng Popy menggeleng. Hap Lalu dia memeluk sang ayah. "Ayah Ran..." panggil Popy parau. "Hm?" Randra menyahut. Semua keluarga Basri memandang ke arah Popy dengan penuh pertanyaan. "Poko capek...pinggang Poko sakit..." ujar gadis itu lesu. Kerutan di kening Randra semakin bertambah. "Ada apa? Kenapa bisa sakit?" "Sshhh...huuff..." Popy mengambil napas. "Poko mau tidur...Poko ngantuk..." lalu setelah beberapa detik kemudian Poko menutup matanya pelan. "Poko," panggil Randra. Moti melirik ke arah sang anak  yang menutup matanya di pelukan sang suami. "Poko," Laras memanggil sang cucu. Setelah beberapa kali panggilan Laras dan yang lainnya. Popy tak menyahut. Laras memperhatikan baik-baik wajah sang cucu. "Wajahnya pucat--Poko! Pucat! Randra!" Laras berteriak panik. Randra melihat wajah sang anak, lalu dia menempelkan telapak tangannya ke dahi Popy, matanya bulat seketika. "Panas." "Poko sakit! Panggil dokter!" Laras berteriak. ♡♡♡ "Kelelahan dan kurangnya cairan di dalam tubuh mengakibatkan pingsan dan pusing pada pasien." Sulistra Mudya, dokter keluarga Basri yang menggantikan sang bibi 15 tahun lalu membuka suara. Randra dan yang lainnya mengangguk singkat. "Perhatikan makanannya, jangan terlalu begadang dan telat makan." Lanjut Sulista, dokter 40 tahun itu. Randra dan yang lainnya mengangguk lagi. "Ini resep obatnya, bisa ditebus di apotek terdekat, saya sudah menyuntik vitamin bagi nona Basri, selanjutnya asisten saya yang akan memasang jarum infus pada tangan nona Basri." Lanjut Sulistra. Randra mengangguk. "Tapi cucu saya tidak apa-apa kan? Tidak serius kan dokter?" Laras bertanya khawatir. "Tidak apa-apa, hanya istirahat beberapa hari, nona Basri akan sembuh." Jawab Sulistra. "Ooh syukurlah...cucuku..." suara Laras bergetar takut. "Kalau begitu saya permisi dulu, ada asisten saya disini, mari tuan, nyonya." Pamit Sulistra. Iqbal dan Randra mengangguk singkat sedangkan Laras sudah berjalan ke arah ranjang dimana Popy berada, sudah ada Moti di samping Popy. Moti memegang telapak tangan sang anak, ia terlihat khawatir sekali. "Poko tidak pernah sakit." Ujar Moti. Randra menoleh ke arah sang istri, lalu dia berjalan duduk di samping ranjang. "Poko akan baik-baik saja," Randra ikut memegang telapak tangan istri dan anaknya. ♡♡♡ "Kemana tadi Poko pergi?" Brak Liham, sang putra bungsu menggigil ketakutan ketika mendengar suara dingin sang ayah. Ia bahkan jatuh terduduk di lantai. Tak beda jauh, kedua saudaranya juga tidak berani memandang wajah bengis sang ayah. "Ayah tanya, tadi Poko pergi kemana?" Liham tak kuasa menahan gigilan ketakutannya. Gut Gut Gut Bunyi gesekan gigi atas dan bawah Liham, pemuda 17 tahun itu benar-benar sedang menggigil ketakutan. Randra mengarahkan matanya ke arah Liham yang sedang bergetar ketakutan. "Tidak ada mulut?" suara dingin itu keluar lagi. Bilal mencengkram ujung sofa, sedangkan Alan mengepalkan kepalannya kuat. "Baik, jika tidak ingin memberi tahu ayah," Randra memandang ke arah anak-anaknya. "Mungkin besok pagi kalian akan dipindahkan ke perusahaan batu bara di sumatra--," "Kak Poko! Kak Poko...kak P-poko...pergi ke kantor Ben--akh!" Brraakk Sret Sret "A-ayah..." Liham gemetaran. Setelah kalimatnya, tanpa menunggu, sang ayah menendang meja di depan mereka. Meja itu terbalik hingga kaki-kaki meja itu berada di atas. Alan dan Bilal mengeluarkan keringat dingin mereka, mereka bahkan takut untuk menyeka keringat mereka. Laras, Iqbal dan Moti mendengar suara bantingan sesuatu, Moti hanya melirik ke arah luar, lalu dia menghirup napas. Sedangkan Laras memandang suaminya, seakan mengerti, Iqbal keluar dari kamar Popy dan menuju ke ruang santai di lantai 2. Tak Tak Tak Randra berjalan mendekat ke arah Liham. Sret Sret Liham terlihat mundur sambil menggigil, ia takut dengan perubahan ayahnya. "Ay-yah..." Liham terbata-bata. Sret "Ay-yah!" Liham terkaget, Randra meraih dagu sang anak dan menaikannya untuk melihat dirinya. "Kuliah disini Ayah memberikan anak perusahaan Basri kepadamu, bukan untuk kau duduk-duduk saja, tetapi sebagai persyaratan melindungi kakakmu." Desis Randra. "Ay-yah--," "Randra," Iqbal menegur anaknya, ia melihat sang cucu bungsu yang ketakutan setengah mati. Tak Tak Tak Sret Iqbal memisahkan tangan Randra dari dagu Liham, lalu ia meraih tubuh gemetaran sang cucu ke belakang, menjauh dari Randra. Iqbal tahu, bahwa Randra yang sekarang ini sama seperti Randra 25 tahun yang lalu, dingin, mencekam dengan aura membunuh. "Sudah berlalu, bukan salah Liham." Iqbal memandang Randra. Randra membalas pandangan sang ayah. "Aku tidak membeda-bedakan semua anak-anakku, aku memberi mereka pilihan, tidak memaksa, syarat yang ku ajukan diterima oleh mereka." Ujar Randra. "Aku mengetahui bahwa aku tidak akan mengulang perbuatan almarhum ayah mertua dan ibu mertuaku, karena aku tahu, itu sangat menyakitkan bagi semua anak-anakku, dan juga istriku." Lanjut Randra. "Tapi, aku punya batas kesabaran dan garis bawah..." ujar Randra. "Istri dan putriku adalah garis bawah itu." Lalu Randra berbalik ke arah dimana Popy berada. "Sshhh...huuff..." Iqbal menoleh ke arah dua cucunya di tempat lain. Terlihat Alan dan Bilal yang sedang mematung, lalu Iqbal menoleh ke arah Liham yang menggigil, ia mengusap-ngusap belakang sang cucu. ♡♡♡ "Tiga puluh tahun yang lalu keluarga Muhammad Mochtar Baqi diculik." Iqbal membuka suara. Alan, Bilal dan Liham memandang sang kakek. "Mochtar Baqi dan istrinya, Nulani Baqi tewas di tempat kejadian ketika proses penyelamatan dilakukan." Lanjut Iqbal. Ketiga cucu Iqbal yang mendengar nama kakak dan nenek dari pihak ibu mereka mendongak kaget. "Salah satu korban penculikan adalah anak dari Mayor Jenderal TNI angkatan darat, Muhammad Jamaludin Baqi, Cika Baqi, ia dinyatakan koma selama enam bulan karena mendapat beberapa tusukan di perutnya." "Semua anak Mochtar Baqi menjadi korban penculikan kecuali anak tertuanya, Agil Baqi, ia sedang dalam pendidikan di akademi kepolisian." Iqbal terlihat sedang mengingat masa lalu. "Seharusnya hari pemakaman Mochtar Baqi dan istrinya menjadi hari pertunangan antara Randra Basri dan Moti Baqi." "Selama lima tahun, Gilan Baqi mengalami kecacatan akibat lipatan lutut dan nadinya disayat oleh pelaku penculikan." "Dan lima tahun pula, anak perempuan sulung Mochtar Baqi menghilang, Moti Akila Baqi." Tutur Iqbal. "Lima tahun itu juga Randra Adilan Basri mengalamii depresi berat dan hampir gila...melakukan usaha bunuh diri." Alan dan kedua adiknya tak berani menelan ludah mereka, seakan itu dilarang. Ketika mendengar penuturan kakek mereka tentang kisah kelam orang tua mereka. "Jatuh dari lantai tiga, patah tulang, dislokasi tulang, saraf pembuluh darah pecah, dan leher hampir putus karena sayatan pelaku." "Namun Tuhan belum mau mengambil nyawa ibu kalian," Alan, Bilal dan Liham mulai menggigil. "Belasan operasi telah dilalui namun dia dinyatakan cacat permanen." Lanjut Iqbal. "Dalang penculikan dan pembunuhan keluarga Mochtar Baqi adalah sahabatnya sendiri, Christian Hindanata." "Beruntung takdir mempertemukan kembali ayah dan ibu kalian, meskipun dinyatakan cacat permanen, ayah kalian sangat mencintai ibu kalian, dan menerimanya apa adanya." "Poko hadir setelah dua tahun ayah dan ibu kalian menikah divonis akan sulit memiliki anak, Poko hadir sebagai penawar rasa sakit yang di alami oleh ayah dan ibu kalian, Poko hadir sebagai pengganti masa lalu kelam yang di alami oleh ayah dan ibu kalian." Akhir dari penuturan Iqbal, lelaki 76 tahun itu berjalan pergi ke kamarnya. Sepeninggal sang kakek, tiga bersaudara yang ada di ruangan itu terdiam mematung, mereka mencerna semua kenyataan yang pernah terjadi di masa lalu. Kebenaran tentang kursi roda yang digunakan ibu mereka, kerudung yang selalu dipakai ibu mereka, dan cinta yang didapat oleh kakak mereka. ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD