Chapter 2

2868 Words
"Ehm...ayah dengar dari Liham, Poko  kemarin tidak ada di kelas sampai selesai," ucap Randra memulai percakapan di atas meja makan waktu sarapan pagi. Yang disebutkan namanya hanya menelan ludah gugup. Laras dan Iqbal menoleh ke arah Poko yang sedang duduk sambil memandangi piring. "Mungkin Poko kemarin ada sesuatu, jadi tidak ke kelas." Iqbal bersuara. Randra menaikan sebelah alisnya dan mengangguk. "Hari ini pulang jam berapa?" tanya Randra. Popy melirik Liham yang sedang makan nasi goreng. "Jadwalnya di Liham, Ayah." Jawab Popy. "Ekhem!" Liham terbatuk. Randra melirik Liham. "Kemarin cuma perkenalan ayah, jadi tidak belajar." Sahut Liham cepat-cepat. Randra mengangguk. "Memangnya kemarin Poko kemana?" tanya Moti. "Sshh....huuufff..." Popy menarik dan menghembuskan napas lesu. "Ke kantornya Ben, bun." Jawab Popy. "Tapi Poko tunggu-tunggu Ben nggak muncul-muncul." Lanjut Popy. "....." Suasana hening. semua mengalihkan pandangan mereka ke arah makanan yang ada di masing-masing piring. Mereka tahu bahwa dari raut wajah Popy, dia gagal lagi menarik perhatian Ben. Randra menelan kesal tehnya. "Sialan." Batin Randra. Beberapa menit kemudian Liham mencairkan suasana. "Kak, berangkat yuk, ini udah jam setengah delapan." Popy mengangguk. Dia berdiri dan menyalimi tetua yang ada di situ. Tak lupa juga mencium pipi ayah dan ibunya. Sepeninggal Popy dan Liham, Laras bersuara. "Terbuat dari apa hati si Ben itu? Cucuku cantik dan manis begini malah diabaikan." Cibir Laras. "Nggak ada kurang-kurangnya juga Poko, dari semua segi baik." "Dasar buta." Lanjut Laras. Iqbal tak mau ambil bicara, ia tahu bahwa selain Randra yang tak menyukai Ben, sang istri juga kurang menyukai dia. Moti memijit keningnya. "Momok agak pusing." Randra menoleh ke arah istrinya. "Apa mau ku temani saja di rumah?" Moti mengangguk. "Kalau Ran nggak sibuk." Randra tersenyum. Dia menoleh ke arah anaknya yang lain. "Alan, proposal dari perusahaan om Busran akan kamu tangani hari ini, ayah akan temani bunda." Alan Arkin Basri, pemuda 21 tahun itu mengangguk mengerti. Sang ibu selalu nomor 1 bagi ayahnya, lalu disusul sang kakak perempuan satu-satunya. Alan telah lulus dari kuliahnya di Singapura, dia mengambil jurusan manajemen keuangan. Dia lulus dengan predikat Cumlaude. Sedangkan dua orang adik yang lainnya, Liham memilih manajemen bisnis mengikuti sang ayah, awalnya ia ingin berkuliah di tempat ayahnya dulu menuntut ilmu, tapi sang kakak sulung memutuskan bahwa ia ingin kuliah manajemen bisnis di universitas di kota mereka tinggal, dengan hati gunda gulana, Liham menerima kondisinya dengan Randra memberikan sebuah anak perusahaan Basri untuknya agar tetap di Jakarta. Sedangkan Bilal mengambil jurusan ilmu hukum, ia berniat menjadi seorang jaksa. ♡♡♡ "Ran..." "Hm?" Lelaki 50 tahun itu sedang memijit-mijit dahi sang istri. "Apa Poko bisa menarik perhatian Ben? Dari yang Momok lihat, Ben itu sebenarnya baik, pengertian, dan juga sopan." Penilaian Moti kepada Ben. Randra yang mendengar penilaian sang istri menjadi dongkol. "Dari sudut padang mana anak bau itu terlihat seperti itu?" Moti mendongak ke arah Randra. "Waktu Ben datang dengan kak Mali, ah ada suaminya kak Mali juga pas waktu lebaran...kapan yah...ehm..." Moti mencoba mengingat-ngingat kembali ingatan waktu Mali bersama keluarga kecilnya datang berkunjung kerumahnya. Cup Melihat raut sang istri yang berusaha mengingat, Randra mengecup bibir istrinya. "Sudah terlalu lama, seseorang bisa saja berubah." Ujar Randra. "Masa sih? Ah Ran mah suka tipu-tipu Momok." Ujar Moti sambil memonyongkan bibirnya. Randra tersenyum di depan wajah sang istri. "Bisa saja." "Lebih baik melakukan hal lain daripada memikirkan orang lain." Ucap Randra. "Eh..." Cup Cup "Eh Ran-hmmpphh!" ♡♡♡ "Kak Poko, mau kemana?" Liham melihat ke arah sang kakak yang buru-buru turun tangga selesai kelas kedua mereka. "Ham, ijinin Poko yah? Poko mau ke kantornya Ben, ini udah jam makan siang, dadah Ham." Jawab gadis berambut merah bata itu. "Iiihh tapi kan masih ada kelas lagi," ucap Liham dongkol. Popy melirik tajam ke arah sang adik. "Poko bilangin ayah Ran ni yah kalau Ham suka nonton-hmmph!" Tak tak Brak "Ok! Ok! Liham ijinin nanti." Ucap Liham dongkol. Ia cepat-cepat membungkam mulut sang kakak perempuan sebelum terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Sret Popy melepaskan bungkaman Liham. "Ok, Poko pergi, dadah Liham!" Liham hanya bisa memandangi Popy pergi dengan wajah kusut. "Tidak ada kapok-kapoknya." "Siapa yang tidak ada kapok-kapoknya?" "Astaga!" Liham kaget ketika mendengar suara seorang gadis dari belakang telinganya. Lalu ia berbalik. "Casilda." Gadis itu tersenyum ke arah Liham. "Poko dimana?" "Dia pergi," jawab Liham. "Eh? Ini kan jam makan siang, kalian tidak makan bersama? Kalian kan bersaudara." Tanya Casilda. "Ssshh...huuff..." Liham menghembuskan napas kusut. "Jangan tanya makan siang bersamaku, kak Poko selalu makan siang di tempat lain." "Oh..." Casilda manggut-manggut. "Dari kemarin aku selalu ingin bertanya padamu dan Poko." "Apa itu?" Liham melirik Casilda. "Sebaiknya kita makan siang dulu, lalu aku tanyakan." Casilda mengusulkan. Liham mengangguk. "Di kantin fakultas saja." Usul Casilda. Liham mengangguk lagi. ♡♡♡ "Selamat siang nona," sapa resepsionis. "Selamat siang juga mbak Melda yang cantik." Balas Popy. Melda, sang resepsionis tersenyum manis ke arah Popy. "Mencari tuan Ruiz?" Popy mengangguk membenarkan, lalu ia berjalan mendekat ke arah Melda. "Ben ada?" bisik Popy. Melda tersenyum. "Mungkin sedikit lagi tuan Ruiz akan makan siang." Jawab Melda. Popy manggut-manggut. Melda melihat sesuatu di tangan Popy, lalu ia hanya tersenyum kecil. "Aku akan masuk." Ujar Popy. Lalu gadis 22 tahun itu berjalan hendak menaiki lift perusahaan. Ting Sesosok lelaki berusia akhir dua puluhan keluar dari lift eksekutif diikuti beberapa orang dibelakangnya. Popy tersenyum cerah, lalu cepat-cepat ia berjalan mendekati lelaki itu. Tak Tak Tak "Selamat siang Ben." Sapa Popy girang. Sret Beberapa orang yang mengikuti lelaki tadi berhenti seketika saat mendengar suara yang sudah mereka kenal. Namun berbeda dengan lelaki yang di depan mereka, ia berjalan lurus tanpa melirik sedikitpun kepada gadis yang menyapanya. Slah "Eh?! Ben. Poko nya ada disini, Ben nggak lihat yah?" Popy cepat-cepat berbalik mengejar Ben. Pria itu berjalan melewati Popy begitu saya, tak dihiraukan senyum cerah gadis itu. "Ben, lihat Poko bawa apa, tara! Cokelat!" ujar gadis itu. Sedangkan yang bernama Ben berjalan terus keluar dari perusahaannya. Popy juga tak mau kalah, ia berjalan beriringan dengan Ben, berusaha mensejajarkan jalannya agar bisa berjalan bersama pujaan hatinya. Terlihat sebuah mobil mewah hitam parkir di depan pintu perusahaan. "Ben, ini cokelat Poko pilih khusus buat Ben, ini bisa meningkatkan kesehatan dan juga stamina Ben, selama ini kan Ben suka kerja terus dan--," Brak "Jalan." Satu kata dari pria itu. Broom broom "Eh!?" Popy memandangi mobil yang baru saja di masuki oleh pujaan hatinya itu melaju cepat ke arah luar perusahaan. "Ben! Ben! Tungguin Poko!" Tak Tak Tak Popy berlari mengikuti mobil tadi. Namun sang empunya mobil tak mengubris. "Hosh...hosh...Ben...Cokelatnya belum di ambil..." Popy ngos-ngosan ketika dia berhenti di gerbang perusahaan. Terlihat bayangan seorang gadis dari kaca spion mobil. Sang supir yang sedang menyupir mobil terlihat menelan gugup ludahnya. Ia melirik ke atas kaca mobil dan mendapati tuannya duduk dengan wajah datar tanpa senyum sedikitpun. "Perhatikan jalanmu." Ucap pria itu dingin. Glek Sang supir cepat-cepat mengalihkan perhatiannya ke arah depan. "Menakutkan." Batin supir itu. "Huuff...jalan mang Tarno," ucap Popy memasuki mobilnya. "Non Popy, nggak jadi pergi dengan tuan Ben?" tanya Tarno. Popy menggeleng. "Ben nya pergi, sibuk terus." Cemberut gadis itu. Sang supir hanya bisa geleng-geleng kepala. Entah apa yang dipikirkan oleh nona mudanya, sudah beberapa tahun ini dia selalu berusaha untuk makan siang bersama Ben, membawakan makan siang, dan juga memberikan sesuatu kepada Ben tapi lelaki itu tak memandang ke arah sang nona muda. "Sayang sekali." Batin Tarno. ♡♡♡ "Saya memprediksi bahwa proyek kami akan sangat sukses di masa depan." Ucap seorang pria berusia 30 puluhan. "Adakalanya prediksi itu meleset." Balas seorang pria. Ben namanya. Dia sedang duduk makan siang sambil berbicara dengan teman lamanya yang juga merupakan rekan bisnis. "Aku yakin ini tidak." Balas rekan bisnisnya. Ben meraih gelas berisikan air mineral dan meminum air itu. "Jika pasar asia tidak ada kendala." Ujar Ben setelah minum air. Lelaki itu mengangguk. "Lalu bagaimana dengan pacarmu?" Ben melirik ke arah temannya. "Mungkin kau harus memperbaiki ingatanmu lagi." Lelaki di depan Ben hanya menaikan sebelah alisnya dan tersenyum kecil. "Menurutku dia cantik." "Aku meragukan kondisi matamu." Balas Ben sambil memotong steak. "Hah...penilaianku selalu tepat, aku pikir dia cocok untukmu." Balas pria itu. "Selain itu, dia juga penuh dengan semangat ketika melihatmu, tidak menyerah, ah...sudah berapa tahun dia mengejarmu?" lanjut pria itu. Ben tidak menjawab, dia menyelesaikan makan siangnya dengan tenang. Setelah menelan air di gelasnya, pria berusia 29 tahun itu berdiri dari kursi. "Aku rasa sampai disini dulu pertemuan kita, tuan Seander, permisi." Lalu Ben berjalan keluar dari restoran. "Ben," panggil pria itu. Untuk sesaat Ben berhenti. "Pikirkan sebelum kau mengambil keputusan, menggantung perasaan orang itu tidak baik, mungkin karma akan mendatangimu." Ucap pria itu. Ben hanya tersenyum kecil. "Gadis itu adalah seorang i***t abadi." Lalu dia berjalan keluar restoran dan menaiki mobilnya. Rekan bisnis sekaligus teman lamanya hanya tersenyum kecil. "Belum tentu." ♡♡♡ "Selamat pagi tuan," sapa resepsionis. Yang disapa hanya mengangguk lalu berjalan masuk ke lift eksekutif. Ting "Selamat pagi--," "Selamat pagi Ben," Popy memotong ucapan sang sekretaris Sekretaris Ben menelan kembali ucapannya. "Sasha, berikan perjanjian kontrak kerja dengan European Food Company yang tertunda kemarin untukku." Ben berjalan memasuki ruang kerjanya tanpa melirik Popy. "Baik, pak." Sahut sekretaris Ben. Popy mengikuti Ben masuk ke ruang kerja pria itu. "Ben, Ben, ini Poko bawa sarapan untuk Ben." Ujar Popy. "Aku sudah sarapan, silakan pergi." Balas Ben. "Tapi ini tadi bunda Momok yang ngajarin Poko buat sandwich ini." Ujar Popy bersemangat. Ben hendak mengusir Popy, namun terdengar sebuah nama yang membuatnya berhenti. "Tutup pintunya." "Eh?! Yes!" Popy cepat-cepat menutup pintu ruangan Ben dan setelah itu dia duduk di kursi sofa dan meletakan kotak makanan berisi beberapa sandwich dan menu sarapan lainnya. "Ayo Ben sini, Poko udah siapin semuanya, ada s**u hangat juga." Ajak Popy. "Letakan disitu dan pergi saja." Ujar Ben. "Eh?!" Popy mendongak ke arah Ben. "Ben nggak jadi sarapan bareng Poko?" tanya gadis itu lesu. Ben melirik Popy, lalu tanpa bicara dia duduk di seberang sofa. Entah dia lelah menjawab pertanyaan Popy ataukah dia malas membuka suaranya untuk gadis itu. Ben mengambil salah satu sandwich dan memakannya tanpa memandangi Popy, pria 29 tahun itu makan dengan wajah datar. Popy yang melihat Ben duduk di depannya tersenyum girang, lalu dia cepat-cepat memperbaiki senyumnya menjadi senyum malu-malu. ♡♡♡ "Ku mencintaimu lebih dari apapun..." Terdengar suara nyanyian seorang gadis yang memasuki rumah. Moti yang baru saja dari kebun bunganya menoleh ke arah sang putri. "Loh, Poko udah pulang toh," Popy menoleh ke arah ibunya, lalu dia berlari-lari kecil ke arah Moti. "Bunda! Bunda! Mmcuuah!" Popy mencium pipi sang ibu dengan semangat. "Bunda hari ini lebih cantik banget, Poko pengen cium bunda terus." Moti yang melihat tingkah anaknya memandangi dia cengo. "Ada apa?" "Ah...bunda udah makan siang?" tanya Popy. Moti mengangguk. "Sudah, Poko udah makan siang?" Popy mengangguk. Mereka berjalan keluar ke kebun bungan milik Moti, Popy mengambil alih kursi roda sang ibu. "Bunda, tadi Ben mau sarapan bareng Poko, Poko seneng banget." Celoteh Popy. "Oh, benarkah?" Moti menoleh ke belakang. Popy mengangguk. "Tadi makan siang juga, Ben makan siang bareng Poko." Ujar Popy gembira. Popy memberitahukan Moti bahwa dia juga makan siang bersama Ben, padahal tadi Ben terpaksa makan siang dengan Popy karena Mali datang ke perusahaan dan memaksa anaknya makan bersama. Dalam pertengahan makan, Mali mengundurkan diri dan pulang memberi alasan bahwa dia ada urusan mendadak. Sebelum pulang Mali mengedipkan sebelah matanya ke arah Popy. Moti sedang mendengarkan celoteh anaknya mengenai Ben, laki-laki yang dia sukai, mereka tidak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang yang berdiri di belakang mereka sedang mendengar pembicaraan mereka. Randra menaikan sebelah alisnya sambil melipat kedua tangan, dia tidak berniat mengganggu pembicaraan dua orang perempuan beda generasi itu. ♡♡♡ "Ran." "Hm?" "Tadi siang Poko cerita ke Momok, kalau tadi pagi Ben mau sarapan bareng Poko." Ujar Moti. Randra yang membetulkan selimut untuk mereka berdua hanya tersenyum kecil. "Benarkah?" Moti mengangguk girang. "Momok bilang apa, Ben itu orangnya baik, sopan lagi." Randra yang mendengar pujian sang istri untuk Ben menjadi dongkol. "Eh? Kenapa muka-nya Ran kayak gitu?" "Lebih baik melakukan sesuatu yang bermanfaat daripada membicarakan orang lain." "Eh?! Tapi-hmph!" ♡♡♡ "Ran, Alan mana? Kita kan hari ini mau ke rumahnya kak Agil." Moti bertanya ke arah Randra. Randra sedang melipat kursi roda sang istri memasukannya ke dalam bagasi mobil. "Nanti Alan menyusul, dia masih ada pekerjaan di kantor." Jawab Randra. Moti hanya manggut-manggut. Hari ini mereka akan berencana pergi ke rumah Agil, kakak Moti. Anak kedua Agil berulang tahun hari ini, namanya Ariansyah Jamaludin Baqi. Ariansyah memilih merayakan ulang tahunnya bersama keluarganya saja, karena memang anak itu tidak selalu suka merayakan pesta mewah. Brak Randra masuk ke mobil, ia duduk di samping Moti di jok belakang, tak lupa juga Randra membetulkan kerudung yang telah dipakai oleh Moti selama kurang lebih 25 tahun. "Bilal dan Liham di mobil yang lain, mereka menyusul dari belakang." Ucap Randra. "Ayah Ran, ayah Ran, Poko naik mobil bareng Liham dan Bilal aja yah?" Popy berbicara ke arah Randra dari luar kaca jendela mobil depan. Randra mengangguk. "Pasang sabuk pengaman baik-baik." Popy mengangguk. "Ok." Lalu gadis itu berjalan menaiki sebuah mobil hitam di belakang mobil Randra. "Poko mau duduk di depan, Liham duduk di belakang aja," ujar Popy ketika dia membuka pintu jok mobil penumpang depan. Liham yang sudah terlanjur duduk di depan mencebikan bibirnya kesal, lalu tak lama kemudian dia berbalik ke bagian jok belakang berpindah tempat tanpa turun dari mobil. "Liham! Lewat samping!" Bilal jengkel setengah mati ketika melihat adiknya merayap ke arah jok mobil belakang. "Malas." Sahut Liham. Pak "Aauuuww!" "Kak Bilal apa-apaan sih tampar p****t Liham?" Liham berteriak kesakitan ketika pantatnya ditampar oleh sang kakak. "Biar tahu rasa kamu, ini mobil baru aku cuci kemarin." Bilal yang mendengar sahutan Liham dongkol setengah mati. ♡♡♡ "Om Agil! Om Agil!" Terdengar teriakan Popy setelah keluar dari mobil. Tak Tak Tak Popy berlari ke dalam rumah peninggalan almarhum dari orang tua ibunya. "Om Agil! Om Agil!" Pekerja di rumah Agil menoleh ke arah Popy, mereka sudah terbiasa mendengar suara ribut-ribut Popy ketika datang di rumah majikan mereka. "Om Agil! Yuuhu!" "Eh?! Ooh tante  Riandri, om Agil mana, tante?" Popy bertanya ke arah Riandri yang sedang menyiapkan makanan di ruang makan. "Eh Popy, peluk tante dulu dong," ujar Riandri. Popy tersenyum girang, lalu ia memeluk Riandri. Tak lama kemudian seseorang keluar dari kamar. "Siapa yang panggil-panggil om Agil?" Popy menoleh ke arah sang paman. Tak Tak Tak Hap Popy memeluk pamannya. "Yah Poko lah," "Uh, om Agil dari mana sih? Poko panggil-panggil kok nggak nyahut?" "Teman kantor om telepon, bilang selamat ulang tahun untuk Ari." Jawab Agil Popy manggut-manggut. "Bunda dan ayahmu mana?" Agil melirik ke luar. "Tadi di depan mobil Bilal, tapi pas sampai di sini mobil ayah di belakang, Bilal ngajak balapan mang Ujang." Jawab Popy. "Bahaya tahu, jangan bawa mobil seperti itu." Ujar Agil. "Nggak kok om, itu kak Poko aja yang nyuruh kita buat cepet ke sini." Bilal masuk ke rumah. "Iuwh, hehehe." Popy menyengir ke arah sang paman. "Ari mana om? Orang yang ulang tahun nggak ada." Tanya Bilal. "Di atas, ada Alam dan Ibrahim di atas." Jawab Agil. Bilal mengangguk lalu naik ke atas. "Om, aku naik ke atas yah." Liham berjalan cepat naik ke lantai atas. Agil mengangguk. "Oh Poko nggak kangen yah sama tante Cika?" Terdengar suara wanita setengah abad di belakang Popy. Sret Popy berbalik. "Eh tante Cika, kirain siapa." Cengir Popy, lalu dia melepaskan pelukan dari Agil dan menerjang Cika, sepupu sang ibu. "Peluk tante Riandri aja, tidak lihat tante Cika?" ujar Cika. "Terlalu ingat om Agil, tenteku," cengir Popy. Cika geleng-geleng kepala. "Persis seperti ibumu," "Yah Poko kan keluarnya dari perut bunda, makanya seperti bunda." Cengir Popy. Cika tersenyum. "Assalamualaikum," "Walaikumsalam, mari masuk, ayo duduk dulu," Cika menoleh dan menjawab salam Moti. "Apa Momok dan yang lainnya terlambat?" tanya Moti. Cika menggeleng. "Tidak," Moti manggut-manggut, Randra mendorong kursi roda istrinya memasuki ruang keluarga. "Yang lainnya dimana?" tanya Moti. "Riandri di dapur, Gea dan Gilan dalam perjalanan, eh itu mereka!" Cika melihat ke arah pintu rumah terlihat Gea memasuki rumah. ♡♡♡ "Ha! Ngapain kalian?" "Astagfirullahaladzim!" Tiga pemuda yang merupakan sepupu Popy terkejut. "Popy, ngangetin kak Alam aja." Ujar Alamsyah. "Hehehe, serius amat, amat aja nggak serius." Moti cengengesan. Ari menggelengkan kepalanya. "Kak Popy suka ngagetin orang, jahil." "Oh orang yang ulang tahun, apa kabar? Udah lama nggak kelihatan." Bilal berjalan mendekat ke arah sepupu-sepupunya. "Hei, datang juga dia." Ari tersenyum ke arah Bilal, tak lama kemudian Liham muncul. "Oh, tambah lagi." "Bushra dan Aliza belum datang yah?" Popy mengedarkan pandangannya ke arah ruang belajar yang besar itu. "Belum, sedikit lagi," Alam menyahut. "Kak Poko! Ayo sini!" "Eh!? Udah nongol dibawah, Poko turun yah." Popy turun ke bawah. Alamsyah dan yang lainnya mengangguk singkat, lalu mereka mengobrol antar sesama laki-laki. Popy menuruni tangga dan melihat Gaishan dan Ghifan sedang naik ke arah berlawanan. "Ghifan, Gaishan." Popy menyapa sepupunya. "Poko," sahut dua orang sepupu kembarnya bersamaan. Popy menuruni tangga dan melihat Bushra membawa sebuah bungkusan kado. "Untuk Ari yah?" tanya Popy. Bushra mengangguk. "Hadiahnya kak Poko mana?" "Ada tadi di Liham, dia yang pegang pas Poko keluar rumah." Jawab Popy. Bushra manggut-manggut. ♡♡♡ "Besok kita akan bahas kontrak baru kita." Busran membuka pembicaraan di ruang keluarga. "Kita membutuhkan tanda tanganmu segera," lanjut Busran. Randra mengangguk. "Setelah kontrak baru ini selesai, aku akan pensiun," "Uhuk! Uhuk!" Adam, suami dari Cika itu tersedak kopinya. Ia menoleh ke arah iparnya. "Awal sekali." "Moti selalu sendiri jika aku bekerja," ujar Randra. "Tapi kan kalian tidak terpisah jauh." Ujar Adam. Gilan dan Busran mengangguk, sedangkan Agil hanya melirik ke arah adik iparnya. "Alan sudah bisa menggantikanku, mungkin dalam beberapa tahun Liham juga akan bisa menjadi pimpinan anak perusahaan yang aku berikan padanya." Ujar Randra. "Ya, menurutku kinerja Alan sangat memuaskan, dia sudah bisa memimpin rapat dewan direksi minggu lalu." Ujar Busran menilai kinerja keponakannya. Randra mengangguk. "Itu yang kuharapkan." "Sayang sekali, kedua anakku tidak mengikuti bisnis." Ujar Agil. "Gaishan juga memilih mendirikan perusahaannya sendiri." Busran menanggapi pembicaraan Agil. "Masing-masing dengan pilihan mereka sendiri, seperti Ibrahim yang memilih menjadi tentara daripada polisi, begitu juga kedua anakmu Agil yang memilih menjadi polisi dan juga ingin menjadi dokter." Adam menimpali. "Aliza juga memilih menjadi seniman daripada dokter," Gilan ikut bersuara. "Padahal ayah mertuaku punya harapan yang tinggi bahwa ia akan menjadi pewaris rumah sakit Nayaka." Lanjutnya. Yang lain manggut-manggut. Mereka larut dalam percakapan mereka. Sementara itu masing-masing anak-anak mereka juga terlibat dalam pembicaraan mereka. "Kak Alam, sekali-sekali kita liburan," Gaishan membuka suara. "Jika tidak ada kasus minggu-minggu depan, kita akan pergi," Alam menyahut. "Lalu bagaimana denganku?" Ibrahim melirik ke arah sepupunya. "Makanya jangan jadi tentara." Gaishan mencibir ke arah kakak sepupunya. "Kau kan nanti akan dipindahtugaskan ke tempat lain," lanjut Gaishan. Ibrahim mencebik kesal ke arah Gaishan. "Beruntung sekali kalian punya hari libur, aku minggu depan harus mengikuti komandanku ke Kupang." Lanjut Ibrahim. "Sudahlah, jangan saling mencibir tentang pekerjaan kalian." Ari, orang yang berulang tahun menyela pembicaraan. "Begini saja, bagaimana jika akhir pekan saja kita jalan-jalan ke puncak? Mungkin Poko dan yang lainnya mau," usul Ghifan. "Menginap?" tanya Ari. Bilal dan Alan saling melirik. Ghifan terlihat berpikir. "Um...lebih enak menginap." "Dan aku tidak menjamin om Randra tidak akan meretakan kepala kita." Sela Ari. "Sshhh..." Ghifan meringis ngeri. "Jangan bawa Poko," ujar Ghifan. "Jangan bawa Poko tapi bawa Bushra dan Aliza? Oh, itu lebih bagus, kita semua akan diamuk Poko dan pum! Mati bersama." Tutup pembicaraan Gaishan. "..." Para saudara lelaki itu hanya terdiam. Lalu mereka melirik ke arah tiga orang gadis yang sedang tertawa sambil berceloteh ria. ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD