[2]: Protektifnya Adrian

1805 Words
Caca melepaskan pelukan ketika ponselnya berdering, gadis itu segera bangkit dari atas tubuh Ian lalu meraih benda hitam di nakas dengan tangan yang dipegangi Ian agar tidak terjatuh. "Siapa?" tanya Ian penasaran. Kening Caca berlipat. "Kak Putri miscall," kemudian ada satu notifikasi melayang di layar membuat matanya membelo. "Dia minta waktu kita buat wawancara masalah Jihan." Ian tampak berpikir, dia sudah mengira kalau masalah kemarin tidak mungkin dibiarkan begitu saja oleh wartawan. Rasanya Ian ingin menolak tapi dia memikirkan perasaan Caca, pasti gadis itu tidak enak karena bagaimanapun juga Putri sudah menolongnya secara eksklusif menyiarkan tayangan tersebut hingga masyarakat mengetahui kejadian sebenarnya. "Kamu oke, Yan?" "Kalo kamu mau okein, nggak apa-apa," "Tapi kan kamu nggak suka dipublish," kata Caca menatap Ian yang berdiri. Lelaki itu mendorong bahu Caca pelan agar duduk, dia berjalan kearah kamar mandir untuk mengambil kotak obat membalut luka Caca yang masih terbuka. "Terus kita mau kucing-kucingan?" "Tapi, Yan, apa yang kemarin aku omongin nggak bener!" "Apanya nggak bener?" "Kalo kita udah 2 tahun pacaran dan tunangan." cicit Caca menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya tak tenang. Ian tersenyum, dia menaruh kotak obat lantas mengacak rambut Caca. Tanpa kata lelaki itu berbalik lagi menuju kamarnya berada, Ian membuka lemari pakaian dan mengeluarkan satu kardus kecil di mana dia menyimpan kenangan masa SMAnya di sana. Sebuah kardus berukuran mini dengan warna biru laut tersodor tepat di depan mata Caca, gadis itu mendongak memandangi Ian yang hanya menampilkan senyum tipis serta matanya yang seakan menyuruh Caca untuk menerima dan memeriksanya. Dengan bingung, Caca menurut. Mulanya Caca mengira kalau benda di tangannya ini berisikan obat-obatan yang sesungguhnya namun begitu dia menyentuh satu-persatu barang yang tertata rapi di sana dan menemukan foto dirinya waktu SMA sontak membuatnya terkejut. "Loh, ini kan foto buat ijazah aku," pekik Caca mengambil foto bernuansa hitam-putih tersebut. "Kok bisa di kamu, Yan?" "Menurut kamu?" "Kamu ngambil ini di mana, Yan? Nggak mungkin kan kamu minta guru?" desak Caca penasaran. Ian terkekeh, dia bersimpuh di depan Caca sambil mengobati lukanya sementara gadis itu masih takjub akan benda yang dilihatnya. Tak menyangka kalau lelaki yang dia kejar ternyata menyimpan semuanya. "Aku ngambil waktu wali kelas kamu nyuruh aku anterin buku ke kelas." Caca merasa ada yang aneh dari cara Ian tersenyum, dia meletakkan foto itu di sampingnya kemudian mencari benda lain. Sebuah bungkus permen berwarna cokelat, sontak membuat Caca terkejut bukan main. "Yan..." Ian mendongak, dia sudah membalut luka Caca. Lelaki itu menyengir ketika tahu Caca sudah menemukannya. "Ini permen yang aku kasih kan? Bukannya kamu tinggal?" tanya Caca, air mukanya berubah. "Adrian, apa maksud kamu dengan ini semua?" Bukannya menjawab Ian malah menarik satu gulungan kain kasa lalu membentuk suatu lingkaran yang mirip cincin, dia meraih tangan Caca dan memasukkan kain kasa tersebut di jari manis bersamaan cincin yang mereka beli beberapa waktu lalu. "Adrian!" "Err... Aku nggak bisa merangkai kata," kata Ian salah tingkah. "Aku nggak tau apa kamu bisa nerima ini, tapi aku mau ngiket kamu..." Perlahan haru di mata Caca menghilang, digantikan kejahilan. Walau hatinya masih penasaran ada apa dengan lelaki itu Caca memahami Ian bukan pria yang mudah mengatakan maksud atau isi hatinya. "Iket aja pake tali, susah amat!" Ian terkekeh, dia mengelus punggung tangan Caca pakai ibu jarinya. "Hei, tunggu aku sampe beliin cincin tunangan yang bener ya?" "..." "Mau?" "Kamu ngajak aku tunangan beneran?" "Emang kapan kita tunangan boongan?" Pipi Caca merona merah. "Adrian!" Ian tertawa, setengah berdiri Ian memeluk Caca hangat. Rasanya hampir gila saat tahu gadis itu pergi dari kehidupannya. Tapi dia bahagia karena kini mereka akan terus bersama, entah apa yang akan terjadi kedepannya. Ian berharap mereka bisa konsisten untuk menjaga hati dan mempertahankan hubungan yang baru mereka mulai. *** "Ian! Ian!" Ian mengerutkan kening ketika melihat Caca berada di fakultasnya, diantar oleh Naya gadis itu melambaikan tangannya menyambut Ian yang baru saja selesai kelas. Buru-buru Ian menghampiri. Teman-temannya di belakang bersiul, menggoda Ian. "Asik bener ya disusul pacar." "Pacaran mulu lo bedua! Inget IPK, woy!" "Ya'elah baru juga jadi mahasiswa segala lo ingetin IPK, IPS aja belum keluar!" sanggah Nino menempeleng temannya yang lain. Ian tidak memedulikan kericuhan teman-temannya, sebagian ada yang patah hati karena menyukai Caca tapi ternyata gadis itu memiliki pacar yang selama ini menjadi teman mereka sendiri. Begitu sampai dihadapan Caca, Ian segera meraih tangannya. Kaki Caca masih sakit karena luka kemarin membuat gadis itu kesulitan berjalan secara seimbang. "Kenapa?" "Aku ngechat kamu nggak dibales," jelas Caca setengah merujuk. "Oh? Aku nggak cek hp, dari tadi kelas penuh," Caca melompat ke samping Ian bikin Naya meringis ngeri. Benar-benar tidak bisa diam padahal lukanya belum kering. "Anterin aku, yuk! Ke gramed," "Ngapain?" "Temen aku MnG sekarang di sana," Ian menaikkan sebelah alis. "Penulis?" "Iya!" balas Caca semangat. "Nina, yang bantuin aku nyatuin video. Dia nerbitin buku. Temenin ya? Kamu udah nggak ada kelas kan?" "Nggak sih cuma mau kerja kelompok, ada tugas," "Yahhhh..." "Sama Naya aja, gimana?" tawar Ian. Naya mengangkat tangannya, dia menggeleng. "Fakultas Manajemen ada acara, gue danusan," lalu gadis itu melirik Caca yang cemberut. "Kalo bukan acara fakultas gue bisa nemenin dia, Nina temen gue juga soalnya. Ya sayang aja gue sekarang nggak bisa. Lo beneran nggak bisa anter dia sama sekali?" tanya Naya. Ian menggaruk hidungnya, bingung. "Gimana ya ini tugas buat besok." "Kalo Caca sendirian dia bakal bikin kacau. Kakinya lagi luka tapi semangatnya nggak bisa ditahan." Ucapan Naya berujung pada ringisan dua manusia itu yang memandangi Caca dari atas sampai bawah. Tinggi Caca benar-benar kecil di antara mereka yang menjulang. "Sama gue aja," tiba-tiba Nino datang, dengan cengiran khasnya. "Lo nugas aja, Yan. Biar gue yang nemenin cewek lo!" "Ah, iya! Sama Nino aja!" seru Caca sumringah. "Kagak ada!" tolak Ian tegas. Dia melotot pada Nino yang terkekeh. "Lo kan nugas juga, No." Nino menunjuk kearah kelompoknya yang baru keluar kelas sambil ketawa-ketiwi bergandengan tangan. "Kelompok gue bucin semua, ngerjainnya nanti malem sambil mabar ML," Nino menepuk bahu Ian simpati. "Santai aja, cewek lo aman sama gue." Aman pala lo, gue nggak santai aja lo grepe cewek gue, k*****t! "Serius gue nggak bakal ngapa-ngapain, nemenin Caca doang cuy!" Gimana gue mau percaya? Lo pernah naksir cewek gue, ketikung berabe hidup gue! "Yan, aku sama Nino aja ya? Udah jam segini, Matraman jauh loh!" rengek Caca menarik-narik ujung jaket Ian. Ian berpikir sejenak, lelaki itu kebagian kelompok 4 di mana isinya cowok-cowok haus akan belaian semua. Jadi mereka berencana mengerjakannya sekarang karena nanti malam mau keliaran nyari cewek. Masalahnya Ian tidak mau Caca pergi sendirian, paling tidak harus teman. Tapi kalau sama Nino, Ian tida tenang. "Aku anter kamu aja," "Eh?" "Tunggu bentar aku bilang ke mereka dulu," "Ian!" Caca menahan tangan Ian agar tidak pergi. "Nggak perlu. Aku pergi sama Nino aja, pulangnya nggak lama, jam 7 udah balik kok!" Ian menghela napas, dia menatap Caca tajam. "Jam. 4. Sore." tekan Ian. "Jam 7, Iaaannn! Selesainya aja jam 4 dari sana terus aku belum ngobrol dulu sama Nina!" lantas gadis itu menggoyangkan tangan Ian, mengedipkan matanya gemas. "Boleh ya? Ya? Ya? Plisssss," "Jam 5." "Jam 7!" "5." "7." Ian melepaskan tangan Caca dari tangannya. "Terserah." ucap lelaki itu bete. "Ian, jangan ngambek!" Lelaki itu memalingkan wajah, enggan menatap Caca. "Ian kalo ngambek aku cium, ya!" "Cium aja." Caca mencebikkan bibirnya, tinggi Ian membuat Caca bersusah payah. Dia tidak memakai sepatu yang ada hak-nya, karena luka dia memakai sandal jepit. Jadi, gadis itu berinisiatif berjinjit dan mengecup singkat leher Ian sebab tidak sampai ke pipinya. "Sayang, Adrian!" Sebelum Ian menyemburkan protes Caca menarik tangan Nino dan lari tertatih-tatih menjauhi Ian yang merah padam. Ian mengelus lehernya, tempat di mana Caca bekas menciumnya. Meski sebentar sensasinya mampu menimbulkan serangan jantung. Di sampingnya, Naya bergidik geli. "Malu gue anterin dia ke sini kalo berakhir kayak gini." sesal Naya memutar tubuhnya kembali ke fakultas. *** Seorang Adrian Kusuma Pranaja yang terkenal kaku dan jarang menampilkan ekspresi bahkan Natalia, wanita melahirkannya sendiri sempat khawatir kalau anaknya ini punya kelainan tiba-tiba menjadi tidak te-nang. "Yan, lo buru-buru amat mau kemana sih?" Eros--si cowok berkacamata--menatap Ian yang ngebut mengetik di laptopnya. "Mau nyusul Caca lo ya?" tebak Rangga sambil menyemil satu gorengan. Ian tak menjawab, dia terlalu fokus pada tugasnya sekarang. Sejak kepergian Caca, lelaki itu mengirimkan pesan pada Nino tapi dibalas banyolan oleh lelaki sialan itu. Ian: No, jaga jarak. Nino: Selow, gue udah siapin papan 1 meter. Jadi lo bisa mikir sendiri dah tuh ya gimana jaraknya gue sama cc. Ian: Tai. Gue serius. Nino: Serius gua Entar duduknya begini, sans ae  Ian: Ngerem dikit mati lu no wkwkwk Nino: Nah itu lu tau Gua sih tinggal loncat, caca paling yang mati duluan Ian: Kampret. Tai. Cewek gua kenapa-napa gak selamet idup lu. Nino: Nah, gini dong. Ayo lanjut marah Saya suka keributan. Ian: Gua serius gablek. Nino: Ya'elah lu kalo cemburu bilang aja napa bos. Takut bat lu ya si cc gue ambil wkwkwk Kalo kata dilan mah lo lagi gak percaya diri nih Napa? Kalah ganteng lu ya sama gua. Ian: Monyedh. Nino:  Ian menggelengkan kepalanya ketika teringat pesannya bersama Nino tadi. Laki-laki itu memang abstrak, untung saja wajahnya jelas; ada bentuk ketampanan di sana. "Eh, Yan, si Caca kan cantik nih," pelan-pelan Johan menjelaskan maksudnya saat mata Ian melayangkan laser tajam. "Biasanya cewek cantik lingkarannya juga cantik, ada kali yang jomblo kenalin ke kita," Gue kira apaan. "Kurang tau gue," sahut Ian mengedikkan bahu. "Ya lo tanyain ke si Caca, gue bosen jomblo. Percuma gue beli mobil kalo dipake bakal ke kampus doang," keluh Johan disambut teman-temannya yang lain anggukan kepala. "Di kampus banyak cewek, kenapa nyari temennya Caca?" Ian mengerutkan kening bingung. Johan terkekeh, jenis tawa yang membuat Ian langsung waspada. "Ya kalo bisa sih Caca yang jadi pacar gue, paling nggak dapet temennya juga nggak apa-apa. Nggak rugi ini gue," "Jadi maksud lo, lo nyari pacar dari temen Caca biar bisa deket dia?" "Nah! Itu!" "Nyari mati lo?" Sontak teman kelompoknya tertawa melihat reaksi Ian yang kesal. Ini pertama kalinya mereka melihat secara langsung kalau lelaki itu ternyata ekspresi di wajahnya yang datar kayak triplek. "Canda gue!" seru Johan menepuk punggung Ian. "Tapi, gue serius. Gue nyari cewek yang imut, gemesin, cariin gue dong, Yan!" "Jadi lo nyari cewek model begitu, Han?" sahut Rangga menyelamatkan Ian yang sudah mendengus sebal. Johan beralih ke Rangga. "Yoi, lucu kan kalo dapet cewek kayak gitu. Lo ada kenalan?" "Ada, fakultas sebelah. Happening bener dari OSPEK." "Widihhh, siapa? Siapa? Bohay nggak?" "Bodynya mantul, sob! Mantap betul!" "Beuh, saik nih," Johan menggoyangkan kedua alisnya jenaka. Dia mulai tertarik sementara Rangga menahan tawa mati-matian. "Siapa namanya?" "Angelina Jolie-nya Akuntansi, sob." "Wagela, mending gue jomblo sampe mati daripada sama anak genderuwo." geli Johan lalu mengucapkan amit-amit sambil mengelus perut dan kepala bergantian. Ian ikut tertawa bersama teman-temannya. Meski mereka suka tidak waras dan hanya Ian yang diam, lelaki itu tidak bisa menampik bahwa pertemanan mereka jauh lebih asik dan nyaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD