[1]: Setelah kejadian itu

1700 Words
Satu kampus gempar akan aksi Caca kemarin. Berbondong-bondong senior dari berbagai jenis mendekati Caca dan memberinya jempol sebagai tanda mereka mengagumi keberanian gadis itu. Pagi-pagi Caca sudah menerima pujian dari dosen dan Bagas, lelaki itu bersiul rendah menghampiri Caca yang sedang mengobrol bersama senior wanitanya. "Caca," Caca menoleh. "Eh, Kak Bagas, hallo!" sapa Caca riang. Bagas terkekeh, lama tidak melihat senyum gadis itu. "Kemarin saya liat kamu di TV, kamu keren banget!" "Halah, Gas, nggak usah sok modus gitu. Caca udah punya pacar lebih ganteng dari lo malah!" seloroh senior Caca yang berambut pirang. Diledek begitu Bagas jadi sensi. Dia melempar tatapan menegur supaya gadis itu diam dan akhirnya mereka hanya tertawa menanggapi. "Makasih loh, Kak," jawab Caca seadanya. "Hari minggu kamu ada waktu nggak, Ca?" "Mau apa, Kak?" "Woy, Gas! Masih aja lo kek elpiji, jelas-jelas si Caca punya cowok," tiba-tiba teman Bagas datang, merangkul pundak lelaki itu sambil menatap Caca jenaka. "Semenjak dia tau lo udah lama pacaran sama Adrian emang cara berpikir otaknya agak mundur ke belakang kek undur-undur." canda Kakak berkacamata itu membuat Caca tertawa. "Sialan lo!" jengkel Bagas menepis lengan sahabatnya. Bahu gadis itu bergetar, dia tergelak. Lalu ada satu pesan masuk dari Ian yang langsung mengembangkan rona di pipi gadis itu. My future husband❤: Km dmn? Caca: Fakultas aku sayang Kenapa? Kamu rindu ya? Ululululu cintaku My future husband❤: Aku laper. Caca: Ya makanlah ngapain ngana bilang saya? Emangnya saya warteg! Eh, kamu mau ajak aku makan? HAYU MAKAN YUUKKK My future husband❤: Udh ga ada kelas? Caca: Ada sih nanti jam 2 Read. Caca mencebikkan bibirnya. Lelaki itu kadang bertingkah manis. Kadangpula menyebalkan. Sifat Ian tetap sama; cuek dan dingin. Meski kalau bertemu lumernya minta ampun. "Kak Bagas mau ajak aku kemana emang?" tanya Caca menaruh kembali ponselnya ke saku. Mata Bagas berbinar lagi. "Mau ajak kamu ke Dufan, saya dapet 2 tiket gratis bingung mau ngajak siapa... Tapi saya dapet bisikan," jeda sejenak, Bagas menunjukan tiket tersebut ke Caca. "Bisikan?" ulang Caca penasaran. "Iya, katanya begini 'Bagas, satu tiket ini akan sial kalo kamu kasih ke orang lain, hanya ada satu perempuan yang bisa kamu berikan dia seorang gadis dengan nama unik yang artinya moccachino di musim semi' begitu, jadi saya temuin kamu karena kebetulan itu arti nama kamu kan?" Orang-orang di sekitar mereka menahan tawa melihat betapa ekspresi Bagas saat ini serius dan Caca yang mendengarkannya dengan saksama. "Ah, Kak Bagas, aku juga mau bilang kalo semalem aku mimpi," Gantian, Bagas yang penasaran. "Mimpi apa?" Tangan Caca meraih satu tiket membuat Bagas bersorak bahagia. "Kalo aku butuh liburan," lalu dia merebut satu tiket lagi dan disimpannya dalam ketiak agar Bagas tidak bisa mengambil. "Dan, di sana aku liburannya sama belahan jiwa aku, Adrian," lantas Caca menepuk-nepuk pundak Bagas dengan memasang raut wajah terharu. "Makasih, Kak. Caca sangat berhutang budi sama Kak Bagas." Kemudian gadis itu melengos pergi, sontak orang-orang yang melihatnya terbahak-bahak. Bagas sendiri melongok memandang punggung gadis itu yang berjalan menjauhinya dengan langkah ceria. "Caca! Tunggu! Ca!" tangan Bagas terulur, tapi Caca tetap tak terengkuh. "Wah gila tuh anak tiket gue diembat! Seenggaknya ajak gue jadi orang ketiga kek. Sakit bener ini hati ditolak mulu." "Ya'elah, Gas. Lo sama Caca itu nggak berjodoh, ngotot amat dah lu! Udah gue bilang mending lo sama si Angelina Jolie-nya anak Ekonomi aja." "Meninggal sana lo semua!" maki Bagas kesal. *** "Jadi, kamu nanyain aku duluan karena kamu laper dan nggak bawa uang tunai?" Ian meringis, dia duduk di kursi kantin sambil menggaruk hidung mancungnya. "Papa masih nahan uang tunai," "Terus?" "Aku masih gunain kartu kredit Arkan." "Ish," Caca berdesis. "Untung ya cewek kamu ini selalu siap sedia bawa uang lebih kalo nggak jadi gelandangan kamu sekarang." sungut gadis itu sambil mengaduk mie rebus di mangkuk Ian. Lelaki itu katanya kelaparan tapi dia tidak mau menyusahkan Caca. Jadi, Ian hanya meminta gadis itu membelikannya mie dengan telur meski Caca sudah bersikeras mengatakan bahwa dia punya uang sendiri dan mampu mengajak Ian makan di MCD sekalipun lelaki itu tetap menolak. Bagi Ian hal yang menggores ego lelakinya adalah ketika gadisnya membayar makanan saat mereka sedang berdua. Walau Ian belum menghasilkan uang sendiri, setidaknya dia tidak mau uang kerja keras Caca habis untuk mereka. Caca menyerahkan mienya kembali ke Ian. "Nih, udah rata! Ngaduk mie aja nggak bisa," ledek Caca memeletkan lidah. Ian terkekeh. "Makasih." "Aku kira kebiasaan aneh kamu ini udah ilang ternyata setahun kita nggak ketemu kamu tetep nggak bisa," jelas Caca, dia memerhatikan lelaki itu menyantap mienya lahap. Ian menjilat bibirnya, bumbu asin mie sangat melegakan lidahnya yang butuh asupan micin. "Nggak ada garpu aku kesusahan," "Pake sendok itu justru gampang loh, Yan." "Aku nggak bisa." tekan Ian menggelengkan kepalanya. Caca menghela napas panjang, dia mengamati lekuk wajah Ian yang tegas dan serius. Selama dia mengenal Ian di sekolah lelaki itu jarang tersenyum, bahkan bisa dikatakan gurat wajahnya selalu datar kayak tembok dan sedingin es di kutub utara. Ada banyak adik kelas yang menghubungi Caca ketika gadis itu lulus hanya untuk memberi informasi tentang Ian yang tidak dia ketahui. Berat baginya menahan rindu setahun yang tak bisa tersampaikan. Tangan Caca bergerak mengambil tissu lalu menghapus jejak kuah indomie yang tertera di pipi Ian. "Kamu kurusan banget sekarang, di apart masih ada bahan makanan kan?" tanya Caca perhatian. Ian sedikit menghindar dari sentuhan Caca bukannya dia tidak suka tapi Ian risi di depan umum Caca menyentuhnya. Ada banyak pasang mata yang melihat dan saat ini keadaannya sedang normal tanpa Caca yang mengamuk atau dirinya yang hilang kesadaran. Tapi tangan Caca dengan sigap menahan rahang Ian agar lelaki itu tidak bergerak. "Kamu tuh diem kenapa sih, ini belepotan!" Ian mengerang pasrah. "Masih. Aku nggak ngerti cara masaknya." "Nanti pulang aku ke apart masakin kamu ya?" Ian mengangguk, melanjutkan kegiatan makannya dengan cepat. Lelaki itu benar-benar malas kalau harus jadi pusat perhatian. Caca terbiasa, tapi tidak untuk Ian. Dia mau berbagi kasih sama Caca hanya berdua. Bukan di ruang publik, di mana semua orang menjadikan mereka tontonan seperti ini. *** Ian memerhatikan Caca yang sedang membersihkan sayuran di wastafel. Gadis itu kini sudah berganti baju dari blouse menjadi kaosnya berwarna biru yang kebesaran. Lelaki itu tertawa geli, di mata Ian, Caca seperti bayi penguin yang kemana-mana masih berada di bawah dekaman ayahnya. Tubuh yang pendek dan mungil, bikin Ian gemas ingin memeluknya tapi dia bertahan. "Yan, rasanya bayem itu kayak apa?" Ian yang sedang mengupas bawang merah membantu Caca lantas menoleh. "Kamu nggak pernah nyobain?" Caca menggeleng. "Aku nggak suka sayur, tapi aku tau cara masaknya karena sering bantu Mama," "Ya gitu aja rasanya," "Gitu gimana ih?!" Caca memindahkan sayuran hijau itu ke dalam panci yang sudah diisi air. "Pahit nggak?" "Nggak." "Masa sih?" Caca meletakkan pancinya di atas kompor. Dia berjalan ke sudut ruangan mengambil piring untuk menaruh bawang-bawang yang dibersihkan oleh Ian. Namun karena tangannya licin dan gadis itu memang ceroboh tak sengaja dia menyenggol pintu lemari, mengakibatkan piring yang berada di tangannya terjun bebas mengenai jempol kaki kirinya. Prang! "Aaa-aaduh..." Caca meringis, dia menggigit bibir bawahnya berpegangan pada dispenser. Buru-buru Ian mencuci tangan, dia melupakan pekerjaannya dan menghampiri Caca. Matanya melotot ketika melihat darah mengucur dari ibu jari kaki gadis itu. "Ian... Kakiku luka..." Air mata gadis itu mulai menggenang, seingat Ian Caca pernah cerita kalau dia paling tidak bisa terluka sedikitpun. Sebab Caca sangat menjaga tubuhnya dia tak mau ada bekas luka yang membuatnya kelihatan jelek--kecuali luka knalpot yang dia biarkan karena dianggap mirip dengan tanda lahir. Dan ada satu kenangan buruk yang membuat Caca sangat trauma pada luka yang mengalirkan banyak darah. "Tangan kamu licin, sayang." kata Ian menyadari tangan gadis itu basah. Ian merangkul pundak Caca erat lalu sebelah tangannya lagi mengangkat belakang paha Caca. Pelan-pelan, Ian menggendong Caca menjauhi serakan beling dan menaruhnya perlahan di atas sofa. Ian menutup mata Caca agar gadis itu tak perlu melihatnya. Memegang tangan besar Ian, Caca berharap rasa sakit di kakinya segera berhenti. Caca membenci kalau kulitnya tertancap suatu benda tajam. Semasa kecil Caca pernah jatuh dari pos ronda, ujung bangku semen yang lancip menghantam dagunya dan mengucurkan darah segar yang harus dijahit. Alhasil selama beberapa bulan Caca tidak bisa berbicara karena lukanya belum kering. "Tahan sebentar." titah Ian yang dibalas anggukan kepala. Lelaki itu berlutut di hadapan Caca setengah tiduran di sofa. Menekuk lutut Caca dan memerhatikan beling yang tertancap, dia bingung harus mengeluarkannya bagaimana karena belingnya lumayan kecil dan dia tidak punya alat untuk melepaskan. Kalau Ian menggunakan jarinya dia bisa menyakiti Caca dan membuat gadis itu menangis. Tapi, jika Ian membiarkan akan berbahaya bagi kesehatan Caca. Menjilat bibirnya ragu, Ian menghirup napas dalam. Dia memajukan wajah kemudian lidahnya terulur menyesap darah Caca lebih dulu lalu mulutnya masuk dan menghisap daerah luka yang mengenai jempol bikin Caca tersentak. "Adrian!" Caca merasakan denyutan di jempolnya berkurang kala Ian menjauhkan diri, lelaki itu melepehkan sesuatu di telapak tangannya. Sebuah beling kecil bersama air liur dan darah. "Ah," Ian mengelap bibirnya. Dia memandang Caca dengan sorot mata khawatir. "Nggak sakit kan?" Iris mata Caca membelo, memang masih sakit tapi dia terkejut dengan apa yang dilakukan Ian padanya barusan. "Yan, kamu..." "Jangan ceroboh terus, Ca," tegur Ian mengambil tissu yang berada di atas nakas. Lelaki itu membuang belingnya di sana lantas membersihkan permukaan bibir dan telapak tangannya. "Bahaya kalo nggak ada aku, kamu begini." Air mata Caca berlinang. Dia tidak pernah mendapatkan perhatian setulus ini dari lelaki manapun, bahkan Ian tidak protes tentang aksinya yang barusan menjilat kaki Caca. Dalam hitungan detik, Caca menerjang Ian hingga lelaki itu terjerembab ke belakang. Dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher lelaki itu, menghirup wanginya yang menenangkan. "Ian, itu jorok... Kenapa kamu selalu ngelakuin hal jorok saat bersihin sesuatu di tubuh aku?" Ian memegang pinggang Caca, dia ngeri mereka akan tergelincir ke bawah lantai. "Nggak apa-apa, cuma ini yang aku bisa buat mastiin kamu terlindungi." Lengan Caca melingkar erat di belakang leher Ian. "Sayang Yayan!" "I know, Love." sahut Ian membenarkan posisi mereka jadi tiduran dengan Caca yang menindihnya. Untuk beberapa saat Ian membiarkan gadis itu, dia tahu Caca butuh waktu untuk menyesuaikan diri bersamanya yang suka bertindak secara spontan. Ian memang pendiam dan pasif mendekati perempuan tapi ketika dia sudah jatuh cinta, tubuhnya akan bergerak sendiri tanpa harus mulutnya yang berbicara duluan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD