SMA Nusantara, Jakarta.
Kantin.
Mata hitam Ganisa sudah hampir lepas dari tempatnya karena sangat kesal dan tersinggung dengan ucapan Cassandra barusan. Ia lantas menghunuskan tatapan tajam yang dingin, seperti singa yang siap menerkam mangsanya kapan saja.
Namun bukan Ganisa namanya jika ia menyerah hanya karena seorang junior seperti Cassandra. Lagipula, cewek di hadapannya ini tidak jauh berbeda dengan Milli. Apa yang terjadi pada Milli, Ganisa mengharapkan hal yang sama terjadi pada Cassandra sekarang. Cewek liar ini harus dikasih pelajaran.
Ganisa pun mendorong bahu Cass sekali, "Maksud lo apa?" dua kali, "Lo berani nantang sekarang?" dan ketiga kali hingga CAssandra melangkah mundur. "Apa lo nggak takut hidup lo bakal berakhir seperti Milli?"
Deg.
Jantung Cassandra merasakan debaran keras di dadanya ketika nama sahabatnya disebut. Matanya kini tak lagi tertunduk cemas melainkan balik menatap Ganisa.
"Kenapa? Lo takut sekarang?" Ganisa tertawa puas. "Anak itu mati karena kelakuannya sendiri."
Cass langsung mendorong tubuh Ganisa hingga ia terhuyung ke belakang. Tidak sampai jatuh karena Helena dan Sera dengan sigap menangkap tubuh Ganisa, tapi cukup kuat untuk membuat cewek dengan rambut ombrenya yang khas itu terkejut.
"Sialan lo, ya!" Ganisa mengangkat satu tangannya ke udara, hendak melepaskan satu tamparan di pipi Cassandra yang sudah berani melawannya.
Namun dengan cepat, seseorang muncul dan menahan lengan Ganisa saat itu juga.
Ganisa dan Cass sontak menoleh ke arah orang tersebut. Mereka menemukan Arga berdiri di sana, melihat sang senior dengan tatapan dingin yang mengerikan. Ia lalu melihat Cassandra yang tercenung di tempatnya berdiri sekarang. "Jangan sentuh dia atau gue bikin tangan lo patah juga kaya si Bani."
Seisi SMA Nusantara tahu bahwa Arga diskors selama beberapa karena berduel dengan Bani, senior sekaligus pacar Ganisa hingga membuatnya masuk rumah sakit karena patah tulang dan suara Arga yang begitu dalam juga mengintimidasi berhasil membuat Ganisa melepaskan tangannya dari Juna dan pergi meninggalkan mereka saat itu juga. Begitupula dengan siswa lain yang berkerumun, Arga lantas mengedarkan pandangan tajam miliknya dan kerumunan penonton itu bubar seketika.
Lagipula, siapa juga yang berani melawan Arga sekarang? Cowok tampan dengan kepribadian mengerikan. Ia seperti psikopat dengan pesona tak terbantahkan. Diam, tapi menghanyutkan.
Sayang, Cassandra sama sekali tidak merasakan salah satu dari hal tersebut. Ia justru mendaratkan pukulan ringan di puncak kepala Arga hingga cowok itu mengeluh dan memandangi Cass dengan heran. "Lo nggak tahu caranya berterima kasih ya? Kok gue malah dipukul sih."
Cassandra menyeringai tipis dan menyilang kedua tangannya di d**a. "Lain kali, nggak usah ikut campur urusan cewek," katanya ketus. "Gue bisa selesain masalah gue sendiri asal lo tahu, Ga."
Arga hendak membalas ucapan Cass barusan, tapi Clara yang berdiri di antara keduanya tiba-tiba berlari dan meninggalkan kerumunan. Menarik perhatian Cassandra untuk segera mengikutinya dan melupakan Arga yang bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatnya tadi.
Cass melihat Clara berlari masuk ke dalam toilet. Sahabatnya itu pasti berniat membersihkan minuman dari seragamnya yang basah. Lalu, CAssandra teringat akan sesuatu. Ia meninggalkan jaket di dalam lokernya kemarin, mungkin jaket itu dapat digunakan Clara sekarang.
Cassandra pun berlari secepat yang ia bisa untuk mengambil jaket tersebut dan segera masuk ke dalam toilet. Benar saja, Clara sedang berusaha mengeringkan bagian seragamnya yang terkena cairan kuning dengan menggunakan tissue toilet.
Clara menoleh ke arah Cassandra yang kini berdiri di hadapannya sesaat sebelum kembali menunduk dan pura-pura sibuk dengan kegiatannya. "Jangan lakuin itu lagi," pinta Clara. "Gue nggak mau lo terlibat sama dia."
Cewek bertubuh kurus dengan rambut panjangnya yang menjuntai ke punggung itu kemudian teringat akan tujuan awalnya tadi. Cassandra lalu menyodorkan jaketnya pada Clara. "Pakai ini. Baju lo nggak cuma kotor, tapi basah. Cowok-cowok bisa lihat daleman lo nanti," ucapnya lalu berbalik. Hendak pergi meninggalkan Clara karena atmosfer tak menyenangkan di antara keduanya. Tampaknya, Clara benar-benar sudah berubah. Clara tidak ingin menjadi temannya lagi, kira-kira begitulah yang Cass pikirkan sebelum tubuhnya berhenti bergerak di saat memegang kenop pintu toilet, "Jangan mau ditindas terus sama Ganisa. Gue nggak mau kehilangan sahabat lagi, gue nggak mau kehilangan lo sama seperti kita kehilangan Milli." Lalu tubuh rampingnya melenggang meninggalkan toilet.
Sementara itu, Clara menatap jaket berwarna merah milik Cass dan menangis sejadi-jadinya di toilet. Ia bahkan mendekap jaket tersebut dan membiarkan derasnya air mata menjadi saksi betapa sedihnya perasaan Clara hari itu.
Cassandra berjalan melewati koridor sekolah dan langkahnya terhenti seketika saat Arga dengan tiba-tiba muncul di hadapannya kemudian menarik tubuh cewek itu tanpa izin menuju ke arah berlawanan.
"Hey! Lo mau bawa gue kemana?!" seru Cassandra. "Kelas kita ada di sana."
Arga mendengus geli tanpa sedikitpun melepaskan tangan Cass. Ia membawa cewek itu duduk di salah satu bangku taman yang ada di SMA Nusantara hingga membuatCass kebingungan sekarang.
"Ngapain lo ngajak gue kesini?" Cassandra mengangkat satu alisnya dan bersedekap. "Lo mau gue nemenin lo bolos juga?"
Arga mengangguk. "Pengennya sih gitu. Tapi ada sesuatu yang lebih besar dari membolos yang benar-benar bikin gue penasaran sampe sekarang," jelasnya.
Dahi Cassandra pun berkerut dalam. "Penasaran tentang apa?"
"Milli."
Kedua netra hitam milik Cass melebar seketika. Tampaknya hanya dengan mendengar nama Milli disebut, Cass bisa merasakan banyak reaksi yang tidak terduga dari tubuhnya. Ia pun melihat Arga heran. "Ada apa sama Milli?"
"Kok ada apa sama Milli, sih?" Kini giliran Arga yang menyilang kedua tangannya di d**a. "Gue diskors dan jadi orang yang paling nggak tahu apa-apa soal kematian Milli. Dan lo bilang ada apa? Ya seenggaknya lo atau Kevin bisa ceritain ke gue apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
Gue mau nanya tentang ini kemarin, tapi keburu lupa karena--" liat lo sama KEvin. Juna menggantung ucapannya di udara sehingga membuat Cassandra penasaran.
"Karena apa?"
"Karena ... karena gue kebelet boker!" bohong Arga. "Udah, jangan bahas yang kemarin. Sekarang lebih baik lo ceritain ke gue tentang kematian Milli. Lo masih nganggap gue ini sahabat kalian, 'kan?"
Cassandra pun mengembuskan napas berat. "Gue juga nggak ngerti dengan apa yang terjadi sekarang. Satu hari setelah jasad Milli ketemu, lo tiba-tiba diskors, Kevin nggak masuk karena syok, Dimas sibuk sama persiapan lomba dan Clara ... adalah salah satu yang paling sulit gue tebak sampai sekarang.
Entah kebetulan atau enggak, hari dimana Milli ditemukan meninggal, juga jadi hari dimana persahabatan kita berubah, Arga."
Cowok bertubuh tinggi dengan rambut yang sedikit berantakannya itu menggaruk tengkuk lehernya karena canggung. "Gue diskors karena ada alasannya."
"Apa alasannya?" tanya Cassandra ingin tahu.
"Kepo, lo."
Cass mendesah kesal dan memukul kepala Arga sekali lagi. "Ngeselin."
"Bodo amat."
"Intinya, hari dimana Milli meninggal, semua misteri itu mulai bermunculan dan mengganggu pikiran gue," ungkap Cass sedih. "Setelah seminggu nggak ketemu Kevin, dia cerita tentang kejadian malam dia nemuin jasad Milli. Tapi dia bilang, Milli mungkin meninggal bukan karena bunuh diri."
Kedua alis Arga yang tebal pun bertaut. "Maksudnya?"
"Milli mungkin ... dibunuh sama seseorang."
"Wait, what?!" []