Sepasang Kekasih

1527 Words
Terik matahari menyelusup ke dalam ruang tengah paviliun. Miranda menggeliat, terbangun dari tidur lelapnya. Dia terkejut melihat keadaan dirinya yang tertidur di atas sofa dan bukan di apartemennya. Lebih kaget lagi menyadari bahwa dia tidak mengenakan sehelai benang pun pada bagian bawah tubuhnya. “Ah, Mandaaa ... apa yang kau lakukan semalam?” Teriaknya. Dia melepaskan wig yang menempel di kepalanya dengan kasar lalu membantingnya ke sudut ruang sambil melangkah ke kamar mandi. Miranda menjerit kaget, melihat bayangan wajahnya di depan cermin. Wajah itu adalah wajah Manda. “Tidak, tidak ... aku Miranda, bukan Manda.” Dia Berbicara kepada cermin lalu mengambil kapas dan pembersih wajah, menggosoknya dengan keras berharap semua riasan Manda luruh seketika. Wajahnya memerah dan agak sedikit perih, tapi Miranda tidak peduli. Dia terus menggosok wajahnya dengan kapas lalu membasuhnya dengan sabun muka. Tiba-tiba dia ingat bagian bawah tubuhnya yang tidak memakai apa-apa, Miranda segera membasuh dan memeriksa. Hatinya lega karena tidak ada tanda-tanda bekas berhubungan intim. Miranda menyelesaikan membasuh dirinya, mengambil T-Shirt dan celana jeans, menyambar kunci mobil dan berlalu dari sana, kembali ke apartemennya untuk berganti pakaian dan langsung meluncur ke tempat janji temu dengan koleganya. Lelaki tampan itu, mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, secangkir kopi terhidang yang hampir tak bersisa. Itu adalah kopi kedua yang di pesannya Dia tidak sabar untuk bertemu Miranda yang sudah di tunggunya lebih dari satu jam yang lalu. Dia, bernama Robert, lelaki tampan yang masih melajang di usianya yang ke tiga puluh lima tahun itu, adalah seorang pengusaha yang ulet dan telah dua tahun ini bekerja sama dengan perusahaan di bawah naungan Miranda. Kakinya terasa kebas, menunggu adalah hal yang sangat di bencinya, selain membuang waktunya yang berharga juga merupakan pelecehan bagi kredibilitasnya sebagai orang yang mempunyai banyak kesibukan. Hanya saja ini adalah Miranda, wanita yang telah membuatnya jatuh cinta dari sejak mereka di perkenalkan oleh salah satu rekan bisnis mereka. Sejak saat itu, semua hal yang menjadi prinsip di dalam hidupnya berani dia terabas selama itu berkaitan dengan Miranda. Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah bayangan yang di kenalnya. Seketika itu juga hatinya merasa senang. Senyum lebar terkembang dari bibirnya, hilang sudah rasa penat, bosan, kebas dan derita yang dia rasakan selama menunggu tadi, benar-benar lenyap tanpa bekas. Miranda tersenyum kepada lelaki tampan yang sedang menggilainya itu. Mereka berpelukan sejenak, “Sorry banget, aku dah bikin kamu nunggu lama, aku benar-benar ada urusan yang gak bisa ku tinggal, dan sorry juga telepon genggamku mati.” Miranda meminta maaf. “Santai saja Mira, hitung-hitung off kerja, ha ha ha.” Robert tertawa lepas seraya mempersilakan Miranda untuk duduk. “Mira, sebelum kita bahas bisnis, aku masih tetap mau menanyakan kesiapan kamu untuk menjadi pasanganku, yang menemani hari-hariku ke depan, gimana? Sudah punya jawabankah? Tapi aku tidak terima di tolak loh.” Robert mengutarakan keinginannya lagi yang selalu di tarik ulur oleh Miranda. “Ya sudah, kita coba dulu aja gimana?” Jawab Miranda, bola matanya menatap tajam kepada Robert. “Jangan coba-coba dong, ini bukan main-main Mira.” Ujar Robert yang tidak setuju dengan kalimat yang terlontar dari jawaban Miranda. “Bukan main-main. Maksudku ayo kita jalani dulu sebagai sepasang kekasih.” Miranda mengoreksi kalimat sebelumnya. Robert merasa kalang kabut saking senangnya. “Serius? Berarti mulai detik ini kita ... kita resmi sebagai pasangan kekasih?” Robert ingin meyakinkan dirinya. Miranda menjawab dengan anggukan sambil tersenyum, senyum yang membuat Robert mabuk kepayang. “Tapi ada syaratnya, yaitu asalkan aku tidak terkekang, bebas melakukan aktivitas seperti biasa, jangan possesif, jangan cemburuan.” Ujar Miranda. “Tidak masalah sih, yang penting aku bisa memilikimu.” Sahut Robert tersenyum lebar. “Baiklah sayang, kamu mau pesan apa?” Robert menatap Miranda dengan tatapan lembut penuh cinta. “Apa pun yang kamu pesan, aku oke.” Miranda mengangguk sambil mengeluarkan berkas-berkas dari tas kerjanya. Hasil pertemuan itu, selain Miranda menerima pinangan sebagai kekasih Robert juga menerima suntikan dana segar untuk menambal modal perusahaannya yang hampir limbung karena kegagalan proyek yang lain. Dan Miranda pun pasrah ketika tangannya diraih dan dicium oleh kekasih barunya. Juga pasrah atas ajakan Robert, malam itu mereka akan menghabiskan waktu bersama. Miranda pulang ke apartemennya diiringi oleh Robert di belakang mobil Miranda. Robert menunggu di tempat parkir khusus untuk tamu, sementara Miranda masuk ke dalam basemen lalu naik ke unitnya. Dia mengganti baju dengan gaun model sederhana tapi tampak elegan, memasukkan baju ganti, baju tidur dan perlengkapan rias wajah serta perlengkapan mandi. Tiba-tiba Miranda merasa mual dan terhuyung, sayup-sayup di dalam hatinya Manda muncul, “Miranda, ingat besok tanggal berapa." Miranda terengah-engah, meluruskan badannya sambil menoleh ke kalender meja di sampingnya. Besok adalah hari ulang tahun mereka. Sesuatu harus dia persiapkan segera. Darah harus mengalir di malam ulang tahunnya, sesuai janji yang telah mereka sepakati bersama. Miranda tersenyum, “Jangan khawatir Manda, besok kita akan berpesta bersama. ” Miranda menyampaikan pesan kepada Manda melalui mata batinnya. Semangat yang seketika berkobar di dalam diri Miranda, membuat langkahnya terasa ringan, senyum mengambang di wajahnya. Dia memasuki lift turun ke lobi, dengan gairah yang membuncah, menghampiri Robert yang tengah menunggunya. Robert terheran-heran melihat rona lain di wajah Miranda, sesuatu yang tidak bisa diduganya, ada semangat dan gairah hidup di sana. “Kamu kelihatan bahagia sayang?” Robert merengkuh bahu Miranda, membawanya ke pelataran parkir. Miranda hanya mengangguk sambil memberikan senyum manisnya. Sepanjang perjalanan menuju hotel, mereka tidak banyak berbicara, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri. Kamar yang di sewa oleh Robert terdiri dari dua ruang utama, ruangan untuk bersantai dengan sofa besar dan ruang tidur. Miranda merasakan gairah aneh yang muncul seperti biasanya saat dia akan melakukan sesuatu dengan Manda. Saat itulah seluruh gairah yang ada benar-benar bergelora. Seperti malam ini. Pintu kamar baru saja tertutup, Miranda menerjang Robert tanpa aba-aba. Di dorongnya sampai terhempas ke dinding kamar, tanpa ragu dia melumat dengan panas bibir lelaki itu, tangannya sibuk melepas kancing-kancing kemeja, membuka paksa kemeja sampai robek, dia tidak peduli. Kini bibirnya beralih turun, menjilat dan menggigit tipis-tipis bagian leher kiri kanan, lalu terus turun ke bagian d**a, melumat habis area itu, turun ke perut sambil kedua tangannya sibuk membuka gesper dan kaitan kancing celana, menurunkannya dengan gerakan cepat, lalu kembali melumat bibir. Robert yang mendapat serangan tiba-tiba hanya bisa menikmati setiap sentuhan Miranda kepadanya, dia merasa surprised, tidak menyangka kalau Miranda seganas ini. Dia belum memberikan serangan balik, karena rasa itu terlalu indah untuk di abaikan. Erangan tertahan terdengar dari mulut Robert terasa merdu di telinga Miranda, hasratnya semakin tergoda untuk terus bermain-main dengan Robert junior, melumat dan menyentakkannya sampai ujung kerongkongan, yang membuat Robert terpekik perlahan. Rasa yang kian terus membumbung tinggi membuat Robert harus menyudahi keganasan Miranda kepada tubuhnya. Robert membungkukkan tubuhnya, meraih Miranda ke dalam gendongannya lalu melemparkannya ke atas kasur. Dengan gairah yang membara, Robert melepaskan baju yang masih menempel di tubuh Miranda, menyergap dua gundukan yang mencuat menantangnya, rasanya begitu lembut dan manis. Membuat Miranda melenguh merasakan sensasi yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Hingga tanpa di sadari oleh Miranda, kedua pahanya telah mengapit kepala Robert yang tenggelam disana mengirimkan sensasi lain yang hanya melingkar dan terpusat disana. Jeritan Miranda diiringi tubuhnya yang melengking ke belakang hingga dadanya terangkat dan berkedut-kedut, menandai kesiapan Robert untuk masuk ke tahap selanjutnya. Tahapan di mana dia menenggelamkan dirinya untuk menyatu dengan Miranda, penyatuan yang selama ini hanya ada dalam khayalannya selama dua tahun, kini menjadi kenyataan. Saling memagut, saling bergerak liar dengan remasan dan dekapan erat, lolongan dan rintihan liar mewarnai gairah mereka, sampai terkulai lemas, habis tak bersisa. Jam tujuh pagi, saat terbangun dari tidurnya, Robert menoleh ke samping. Miranda tidak ada di sisinya. Tas travel yang di bawa Miranda semalam pun sudah tidak berada di tempatnya. Robert terdiam sejenak, mengumpulkan kesadarannya. Dia telah tidur sangat nyenyak, pertempurannya dengan Miranda yang hanya terjadi dua kali itu sangat menguras tenaganya. Perlahan dia mengangkat tubuhnya dari kasur, sebelum masuk kamar mandi, dia harus menyalakan pemanas air untuk menyeduh kopi instan yang rasanya ala kadarnya itu. Secarik kertas teronggok di meja, Robert meraihnya lalu membacanya, tulisan tangan Miranda dengan cap bibir merah di penghujung surat. “Dear Robert, Thanks ya, sudah membuat malamku menjadi hangat dan menyenangkan. Sayangnya aku harus pergi. Ada urusan mendadak yang tidak bisa aku tinggalkan. Bagaimana kalau lusa aku tunggu di kantor, dan menemaniku seharian juga sekaligus mengulang cerita malam tadi? See you," Tertanda cetakan bibir bergincu merah. Robert tersenyum meskipun merasa kecewa, karena saat membuka matanya, wanita yang diharapkan selalu ada disisinya itu telah meninggalkannya. Satu-satunya yang menghibur adalah iming-iming kebersamaan meluangkan waktu siang malam hanya berdua saja lusa nanti. “Baiklah, lusa aku akan ke kantormu, bahkan sebelum kamu sampai.” Gumam Robert pada kertas yang dipegangnya. Dia melayangkan ingatan pada dua tahun yang lalu, pertama kali diperkenalkan kepada Miranda. Tatapannya tidak pernah ingin lepas melahap kecantikan Miranda ditambah dengan bentuk badannya yang sangat menggiurkan, membuat Robert susah tidur. Siang malam selalu bayangan tentang Miranda hadir dan itu sangat menyiksa perasaannya. Kerja samanya dengan Miranda adalah jembatan untuk lebih mengenal dan mendekati Miranda, sayangnya Miranda seakan tidak tertarik untuk menjalin hubungan asmara dengan siapapun. Hal itu membuat Robert bertanya-tanya di dalam hatinya, Miranda menerima pinangannya menjadi kekasih, ada tujuan apa di balik itu semua. Karena Robert tidak merasakan kejujuran dan ketulusan di sana. Dia hanya merasakan nafsu sesaat dari Miranda. Kekasihnya itu sangat misterius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD