Korban Baru

1532 Words
Tepat pukul tujuh pagi, Robert memarkirkan mobilnya di area parkir gedung perkantoran. Karena masih pagi, dia bisa mendapatkan tempat parkir khusus tamu atau pengunjung di posisi yang strategis. Dari sini dia bisa melihat kedatangan wanita pujaannya. Miranda. Menunggu selama dua hari tanpa kabar dari kekasihnya itu bagaikan hidup di dalam sekam. Sangat menyiksa. Tiga puluh menit kemudian dia melihat mobil Miranda memasuki area parkir gedung. Robert segera turun dari mobilnya, melangkah menuju lobi, untuk menyambut kekasihnya. Miranda melihat Robert telah berdiri menunggunya. Hatinya sedikit kesal, kalau saja hari ini tidak ada keperluan penting yang dibutuhkannya dari Robert, mungkin dia akan mencari alasan untuk membatalkan pertemuan ini. Miranda turun dari mobilnya, dia membuka pintu bagian belakang, mengambil tas dan dokumen-dokumen. Robert dengan sigap membantunya, "Good morning cantik, biar aku saja yang bawa ya?" Robert tersenyum sambil mengambil tas dan dokumen dari tangan Miranda. "Morning, rapi sekali kamu." Puji Miranda. "Special untuk bersamamu, aku harus rapi dong." Sahut Robert, mempersilakan Miranda berjalan di depannya. Robert merasakan bahwa Miranda tidak begitu suka atas kedatangannya. Miranda di sambut sekretarisnya yang memberitahukan jadwalnya sampai siang nanti. "Mmh ... Tidak ada meeting kan?" Tanya Miranda. "Uh ... ada jam sepuluh pagi ini." Sahut Utari. "Batalkan." Ujar Miranda. "Baik Bu." Utari membukakan pintu ruang kantor bosnya. "Sediakan lagi Kopi, Teh dan Air putih." Ujar Miranda. "Baik." Utari langsung melesat ke arah pantry "Kenapa membatalkan meeting?". Tanya Robert sambil menutup pintu kantor. "Kan ada kamu, kan aku maunya seharian dan semalaman sama kamu." Sahut Miranda enteng. Deg. Perasaaan Robert tiba-tiba melambung, perkiraannya mengenai Miranda yang tidak suka atas kedatangannya tadi, mendadak sirna. Robert duduk di sofa, membuat dirinya senyaman mungkin, sementara Miranda terlihat membereskan sesuatu dengan serius, yang di matanya teramat seksi kala wanita cerdas melakukan pekerjaannya dengan sangat serius. Pintu di ketuk, Utari masuk membawa minuman yang dipesan oleh Miranda tadi. Minuman itu tentu saja untuk Robert, karena minuman Miranda telah terhidang sebelum dia sampai di kantor. Sepuluh menit berlalu, Miranda makin tenggelam dalam berkas-berkasnya seolah-olah tidak ada orang lain di sana. Telepon di meja Miranda berdering, sampai tiga deringan belum juga diangkat olehnya. Robert menyambar telelon itu, "Halo?" "Ya Pak, ada telepon di saluran dua dari Ibu Viona di Jepang." Suara Utari. "Apakah penting?" Robert melirik Miranda yang tidak bergeming. "Iya ini tentang putrinya Pak, Nona Isabel." Sahut Utari. Mendengar hal itu, Robert sedikit kaget. Dia tidak pernah tahu kalau Miranda mempunyai seorang putri dan kenapa di Jepang? "Sebentar." Robert menyodorkan telepon itu kebawah mata Miranda yang sedang menunduk membaca berkas di bawahnya. Miranda kaget sebentar, lalu mendongakan kepalanya, menatap Robert sambil menerima telepon dari tangan Robert. "Putrimu, Isabel. Di saluran dua." Robert menatap tajam kepada Miranda, "Oh." Sahut Miranda pendek. Jarinya yang lentik memencet tombol nomor dua, lalu memencet loud speaker setelahnya Miranda meletakkan gagang telepon di tempatnya. "Halo?" Miranda menyapa. "Halo, Mira? Aku ada kabar kurang bagus." Terdengar suara Viona. "Ada apa?" Miranda terpancing, mengangkat matanya dari tumpukan berkas, mengalihkannya kepada Robert yang sedang duduk di pinggiran meja Miranda. "Suamiku menceraikan aku Mira, sangat mendadak sekali." Viona memberi kabar yang cukup mengagetkan Miranda. "Kenapa? Karena Isabel kah?" Miranda mengejar jawaban. "Bukan Mira, Dia kembali ke mantannya dulu. Aku sih baik-baik saja. Untung ada Isabel di sini. Masalahnya minggu depan aku sudah mulai bekerja, sementara kamu belum kirim biaya pengobatan Isabel. Waktunya mepet Mir." Viona mengingatkan. Miranda menghela napas panjang, wajahnya terlihat sedih dan bingung. Robert memahami raut wajah Miranda, dia memang sedang kesulitan uang, sedangkan putrinya harus berobat. "Sakit apa?" Robert bertanya hanya dengan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Miranda menggelengkan kepalanya. Robert mengitari meja menghampiri Miranda, lalu memeluknya dari belakang sambil berbisik. "Katakan padanya sekarang juga akan di transfer." Bisik Robert. Miranda menoleh kepada Robert dengan tatapan tidak percaya. Robert mengangguk sambil tersenyum, meyakinkan Miranda. "Vio, hari ini di kirim uangnya ya." Nada bicara Miranda tidak yakin. "Aku tunggu Mira, bye." Sahut Vio lalu memutuskan sambungan. Miranda terpaku, Pikirannya berkecamuk yang dia khawatirkan adalah Viona dicerai karena keberadaan Isabel. Lamunanya dipotong oleh Robert yang mencium sebelah pipinya Miranda. "Mana nomor rekening Vio?" Robert ragu-ragu menyebut nama itu karena takut salah. Miranda membuka telepon genggamnya, mencari nomor kontak Viona lalu menyerahkan telepon genggam itu kepada Robert yang langsung menyalin nomor dari daftar kontak tersebut. "Waktu kliring tiga hari kan ya?" Miranda memikirkan sesuatu. "No, besok sudah bisa di ambil oleh Viona, asal dia pergi ke Bank langsung, aku pakai sistem kliring cepat, jadi pihak bank sana talangin dulu." Robert menjelaskan. Miranda mengangguk, dia paham tentang hal itu, dia hanya mengecek saja, karena hanya orang-orang yang mempunyai kredibilitas bagus dengan saldo rata-rata yang telah di tentukan oleh bank yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut. "Sudah aku transfer ya, kamu kasih tahu Vio supaya dia siap-siap besok ke Bank." "Ok." Miranda meraih gagang telepon di mejanya, memencet nomor yang telah dihapalnya di luar kepala. Robert menyodorkan bukti transaksi dari telepon genggamnya, Miranda merasa senang tapi dia berpura-pura kaget, "Banyak sekali?" Katanya. "Untuk berobat kok." Robert tersenyum. Miranda memberitahukan Viona apa yang harus dilakukannya juga menyebutkan angka seratus juta agar dipakai untuk membawa berobat Isabel ke beberapa dokter. Dia menoleh kepada Robert yang sudah kembali duduk di sofa. "Ke Puncak Yuk, aku membutuhkan Vila yang nyaman saat ini." Miranda memandangi Robert. "Sekarang?" Tanya Robert heran. "Iya." Sahut Miranda dengan cepat. Robert tersenyum lebar, "Ayo." Jawabnya. Miranda belum mengucapkan terima kasih kepada Robert atas kiriman uang untuk putrinya berobat, dia akan berterima kasih dengan cara lain sekaligus mengambil satu keuntungan lagi darinya. ◇◇◇ Mayor Sinatra mengumpulkan bukti-bukti, yaitu kartu berlaminating yang telah diuji di laboratorium bahwa tulisan di dalam kertas tersebut adalah darah manusia yang berbeda satu dengan yang lainnya. Kemungkinan besar itu adalah darah masing-masing korban. Bukti yang lain adalah, waktu mereka menghilang delapan puluh persen di bulan April tanggal delapan dan dua puluh persen di bulan febuari yaitu tanggal tujuh belas. Bukti satu lagi dari tiga korban adalah Semuanya sangat dekat dengan Ayahnya masing-masing. Bukti ini tampak lemah sekarang, tapi setidaknya, itu bisa menjadi motif sementara, meskipun masih belum masuk akal. Rentang usia korban antara enam belas tahun sampai dua puluh dua tahun, semuanya menghilang tidak bisa ditemukan baik wujud sebagai manusia hidup maupun wujud sebagai korban meninggal atau jasad. Laporan kehilangan diterima oleh kepolisian masing-masing wilayah tempat domisili korban, semuanya di bulan april dan beberapa pada bulan februari. Mesin Faximile di mejanya berbunyi. Drrrtt ... drrtt ... secara statis dan panjang. Mayor Sinatra menyambar selembar kertas yang sudah penuh dengan tulisan. Dari kantor kepolisian wilayah barat kira-kira berjarak enam puluh kilo meter dari tempatnya berada. Kertas fax itu adalah sebuah berita acara pidana, berisi laporan tentang orang hilang yang di laporkan pada tanggal delapan april, yaitu hari ini. Gadis itu baru saja menggelar pesta ulang tahun sweet seventeen, dua hari sebelum dilaporkan hilang. Mayor Sinatra bergegas untuk mendatangi kediaman orang tua dari Dana Aulia yang dilaporkan hilang itu. Dia membereskan barang-barang yang hendak di bawanya, dengan b*******h karena kasus ini baru saja terjadi, kemungkinan penelusurannya jauh lebih mudah. Dia berharap melalui Dana Aulia, kasusnya bisa terungkap atau setidaknya bisa menemukan titik terang. Membawa semangat yang tinggi, sang Mayor mulai mencatat langkah-langkah yang akan diambilnya. Semua catatan itu dimasukkan ke dalam tas kerja, menutupnya rapat-rapat. Lalu membereskan peralatan komunikasi, laptop dan kamera. Dia tidak tahu sampai kapan akan berada di sana, bisa seminggu, dua minggu atau mengunjungi tempat lainnya, Mayor mengambil koper baju lalu memasukkan semua barang-barangnya ke mobil. Setelah memeriksa seluruh ruangan dengan cermat, Mayor mengunci pintu rumah kontrakannya. Sekarang dia siap untuk memulai penyelidikan. Pukul sepuluh malam Mayor memulai perjalanannya menuju lokasi tempat tinggal Dana Aulia, tidak peduli bahwa itu bukan waktunya untuk berkunjung, Mayor bisa menunggu dan tidur di dalam mobil, yang penting baginya adalah termos kopi penuh serta persediaan air mineral dalam botol juga memadai. Sebelum pukul dua belas malam, Mayor telah sampai di lokasi. Dari seberang jalan di dalam mobilnya, Mayor mengamati rumah kediaman Dana Aulia. Rumah itu cukup besar, berlantai dua, ada lima mobil yang terparkir di sana, kemungkinan keluarga dari Dana Aulia tengah kedatangan saudara-sudaranya. Di dunia belahan timur seperti di sini, adalah hal yang wajar ketika sesuatu yang buruk menimpa salah satu anggota keluarga, maka para kerabat dan keluarga lainnya akan berbondong-bondong datang untuk menguatkan keluarga yang sedang mengalami musibah. Ruangan di lantai dua masih terang benderang, sementara di lantai satu dalam kondisi remang-remang. Sayup-sayup terdengar suara beberapa orang sedang mengobrol, sesekali ada suara tawa mengiringi obrolan mereka. Mayor memutuskan untuk bertemu mereka. Dia keluar dari mobilnya, melangkah pasti menuju pagar yang membentuk pintu, lalu menekan tombol bel yang ada di samping pagar besi. Seseorang melongok dari balkon lantai dua, seorang lelaki paruh baya berpeci seraya setengah berteriak ke bawah, "Siapa?" Serunya Mayor Sinatra mendongak, melihat kepada lelaki itu lalu menjawab. "Detektif Mayor Sinatra." Dia juga berseru agar suaranya terdengar. "Detektif?!" Bernada heran, lalu membalikkan badannya. Tidak lama lampu di lantai bawah menyala. Suara kunci memutar terdengar tergesa-gesa, muncul tiga orang dari balik pintu menghampiri Mayor. "Ya?" Ujar salah satu dari mereka. Mayor Sinatra mengeluarkan lencana identitasnya dan memperlihatkan surat penugasan kepada mereka. Mereka terlihat lega dan senang, dengan ramah membukakan pintu pagar dan membawa Mayor masuk ke dalam rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD