Mimpi Isabel

1566 Words
Keadaan memaksa Isabel untuk belajar sendiri menghadapi makhluk-makhluk gaib, pelan-pelan Isabel mampu berkomunikasi dengan mereka. Walaupun hanya bisa mengerti sedikit saja. Hari ini, Isabel kedatangan makhluk gaib berupa arwah yang sangat marah. Isabel merasa ketakutan sampai menangis mengusir arwah tersebut terus menerus, tapi dia tidak mau pergi. Saat Viona mengajaknya untuk mengunjungi seorang Psikiater terkenal di Tokyo, Isabel tidak berhenti merasa takut dan terus menangis. Sebelumnya, lewat telepon, Viona telah menjelaskan kondisi Isabel, juga mengirimkan rekam medis Isabel selama perawatan dalam kurun waktu satu tahun kebelakang. Akhirnya Viona mendapatkan jadwal pertemuan. Penerbangan dari kota Nara menuju Tokyo ditempuh dalam waktu satu jam sepuluh menit. Selama perjalanan Isabel agak tenang, Viona mencoba bercakap-cakap, nanum Isabel tidak menanggapinya. Isabel punya pikiran sendiri, "Tante, kita akan pindah ke Tokyo, karena tante dapat kerja dengan gaji yang besar." Tiba-tiba Isabel berbicara hal diluar topik yang dibicarakan Viona tadi. Viona tertawa kecil, baginya itu hal yang mustahil. Bagaimana caranya bisa kerja di Tokyo, dia tidak melakukan lamaran kerja apapun di sana. "Rumahnya ada yang mau beli tante." Isabel seperti berbicara pada dirinya sendiri. Jemarinya yang sudah mulai ramping, sibuk memainkan ikat rambut berbentuk bunga matahari. "Memangnya Ibel mau tinggal di Tokyo?" Tanya Viona, tanpa keseriusan. Isabel menggelengkan kepalanya, "Ibel pengen sama Mami, tapi Ibel takut sama Mami yang satunya, jahat." Kata Isabel dengan nada datar tanpa emosi. Viona tidak mengerti semua kalimat-kalinat yang meluncur dari mulut mungil Isabel. Dia hanya mampu terdiam sambil mengelus-ngelus paha Isabel yang terbungkus celana jeans. Mereka sampai di Tokyo dan masih punya satu jam sebelum jadwal pertemuan dengan psikiater. Viona merasa tidak yakin karena membawa Isabel ke psikiater bukan ke psikolog seperti yang dia lakukan sebelumnya, dia hanya yakin bahwa harus mencari pengobatan yang tepat untuk menangani kondisi mental Isabel. Apapun akan dicobanya. Setelah melakukan pendaftaran, Isabel dipanggil oleh salah seorang perawat, dia diminta untuk masuk ke sebuah ruangan berukuran tiga kali tiga meter persegi, dengan hanya ada satu kursi di tengah-tengah ruangan. Viona dilarang untuk mendampingi, dan dipersilakan duduk menunggu. Ruangan itu tampak putih dan hening, Isabel duduk di kursi dan menatap tajam pada kaca di depannya. Sementara di ruang depannya, seorang gadis berusia dua belas tahun, tengah menceritakan Isabel diruangan itu bersama siapa saja dan kenapa mereka bersama Isabel. Seluruh keterangan gadis itu dicatat secara digital melalu suara yang dikonversi ke tulisan. . Kemudian Isabel di minta untuk keluar ruangan dan saatnya menemui psikiater. Viona lagi-lagi dilarang untuk mendampingi. Dokter Psikiatri seorang wanita yang relatif masih muda, dengan pembawaan yang menyenangkan. Pertama-tama dia memeriksa kondisi fisik Isabel, tidak ada sesuatu yang tidak wajar. Isabel terawat dengan baik. Tahap kedua adalah sesi tanya jawab seputar keseharian dan apa saja yang disukai oleh Isabel. Hasilnya tidak ada kelainan mental. Isabel sehat secara mental. Untuk memulai masuk ke tahap tiga, Isabel dipindahkan tempat duduknya pada sebuah sofa yang nyaman dan empuk, tujuannya agar Isabel merasa rileks. Musik instrumental mengalun lembut, menciptakan suasa hangat dan menyenangkan. "Isabel, kamu suka dipanggil dengan nama apa?" Hatsuka mulai bertanya dalam sesi ketiga ini. "Ibel." Jawab Isabel pendek. "Ok Ibel, ada berapa orang yang saat ini mengikuti kamu?" "enam." Sahutnya. "hmm ... yang paling ujung sana siapa?" Telunjuknya mengarah ke sebelah kanan Isabel "Itu tante keriting." Isabel mengatakannya tanpa menoleh. "Lalu, mereka itu siapa?" Tanyanya lagi. Isabel menggelengkan kepalanya. Kesadarannya mengatakan belum saatnya untuk membicarakan apa yang telah di ketahuinya sedikit demi sedikit. Tapi memang dia benar-benar tidak tahu siapa mereka, yang jelas mereka datang satu persatu dalam setahun ke belakang, semuanya belum begitu jelas bagi Isabel. Dia kembali menggelengkan kepalanya. "Baiklah Ibel, kalau belum siap untuk membicarakannya tidak apa-apa, kita masih punya banyak waktu." Hatsuka mengakhiri sesi pertamanya dengan Isabel. Tiba-tiba Isabel menjerit dan terlihat ketakutan. Hatsuka terkejut. "Siapa yang menakutimu?" Ujarnya dengan hati-hati. Isabel tidak menjawab, wajah polosnya tenggelam dalam bantal empuk di sofa itu. Dr. Hatsuka memencet sebuah tombol. Anak indigo berumur dua belas tahun yang tadi di minta untuk melihat Isabel, masuk ke dalam ruangan. Seketika dia pun ketakutan dan hendak berlari ke luar ruangan. "Jangan takut, kamu hanya melihat secara visual, tapi mereka tidak akan bisa menyentuhmu." Hatsuka mengatakannya dengan mengandung nada hipnotis. Anak tersebut menghentikan langkahnya, namun wajahnya tertekuk ke dalam. "Katakan seperti apa dia?" Tanya Hatsuka. "Dia memakai seragam seperti seragam sekolah, tapi dia membawa tongkat besi yang berlumur darah. Dia ... akan memukuli kami." Sahut gadis itu sambil tiba-tiba menunduk seakan sedang menghindari sesuatu. "Baiklah, sekarang kamu boleh keluar dari ruangan ini ...." Ujar Hatsuka sambil mengangguk. Tanpa aba-aba gadis tersebut langsung melesat keluar sambil teriak, "Aku tidak mau ketemu dia lagi." Yang dimaksud adalah Isabel. Hatsuka membiarkan Isabel tenang dengan sendirinya, dia akan melanjutkan sesi pada jam terakhir praktek kerjanya. Viona dipanggil masuk, Hatsuka tidak ingin membuang waktu, "Nyonya, Isabel bukan hanya seorang anak Indigo, saya justru khawatir apa yang mengganggunya selama setahun ini adalah makhluk-makhluk yang di lihat oleh Isabel itu, membawa misi tertentu. Hal ini akan sangat berat untuk Isabel." "Membawa misi?" Viona tidak tidak mengerti. "Ya, mungkin ini sulit untuk di pahami, tapi percayalah, saya akan mencari jalan keluarnya." Hatsuka berusaha menenangkan Viona. "Untuk itu, saya akan melakukan sesi selanjutnya sore nanti. Apa Nyonya setuju?" Hatsuka menatap Viona dengan tatapan ramah. Viona tidak punya pilihan lain selain menyetujuinya. "Saya akan berada di sini, Dok." Ujar Viona pasrah. "Anak tadi siapa?" Viona benar-benar ingin tahu. "Dia Kimiko, putri saya dan seorang Indigo dengan jenis yang kurang lebih sama dengan Isabel." Hatsuka menjawab. "Lalu, langkah apa yang akan diambil Dok?" Viona bertanya dengan sungguh-sungguh. "Saya akan berusaha menghilangkan mereka dengan cara memblokir pikiran Isabel, tapi konsekuensinya Isabel bisa saja tidak mengenali Anda." Hatsuka diam sejenak. "Atau dengan cara lain, mengungkap apa yang mereka inginkan dari Isabel. dari situlah nanti Isabel harus menjalankan amanat misi dari mereka." Hatsuka melanjutkan. Kedua rencana tersebut sangat tidak menyenangkan bagi Viona, tapi dia harus memilih salah satu. Seandainya di blok pikiran Isabel sampai ada resiko tidak mengenalinya, bukankah itu tidak akan membuat Isabel lepas dari 'mereka' yang di maksud oleh Hatsuka? Kalau opsi yang kedua yang di ambil, memberi harapan akan terbebasnya Isabel dari gangguan 'mereka' selama Isabel bisa menjalankan misi yang diembannya. Tapi, bagaimana kalau gagal? hal ini mengganggu perasaan Viona. "Anda tidak harus mengambil keputusan sekarang, kita akan menunggu sesi selanjutnya, siapa tahu ada solusi lain." Hatsuka berkata karena memahami situasinya sulit bagi Viona. Viona mengangguk dan berterima kasih, dia menoleh kepada Isabel yang berjarak sepuluh meter darinya. Isabel teridur. Viona di persilakan untuk menunggu di luar membiarkan Isabel tertidur di Sofa ruang terapi. Hatsuka sangat tertarik dengan hasil analisa sementara dari data yang telah terkumpul di tangannya. Menurutnya anak-anak Indigo itu lahir membawa misi sendiri-sendiri. Tapi kasus Isabel merupakan hal baru baginya. Dia melangkah menghampiri Isabel. Duduk bersimpuh di atas karpet yang tergelar tepat di samping kepala Isabel. Mata Isabel bergerak-gerak cepat tanda Isabel sedang dalam keadaan tidur pada tahapan ke empat yaitu rapid eye movement, dimana tidur terdalam tengah di alami oleh Isabel, dan tahapan REM ini hanya berlangsung kurang lebih sepuluh menit. Hatsuka tidak membuang waktu, dia meletakkan telapak tangannya pada kepala Isabel, dia ingin tahu mimpi apa yang dialami oleh Isabel. Kemudian dia memejamkan matanya, mengatur aliran napasnya, memerintahkan jantungnya agar melambat, hingga dia merasa rileks dan nyaman. Hatsuka membuat dirinya sendiri bermeditasi dan secara perlahan masuk ke dalam gelombang otak beta. Dia menyerap seluruh mimpi Isabel yang bergerak sangat cepat. Bayangan itu ditangkapnya dengan jelas. Hatsuka melihat sosok seorang perempuan namun wajahnya tidak jelas tapi dia bisa menangkap senyum atau seringainya, dengan seorang gadis belia kira-kira berumur enam belas atau tujuh belas tahun. .......Mimpi Isabel........ "Hi.. Bisa tolong bantu saya?" Wanita itu mencegat seorang gadis belia yang melewatinya. Gadis berseragam sekolah putih abu tersebut menghentikan langkahnya. "Ya Tante?" Jawabnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. "Saya harus pegang ini, saya butuh alat lain, alatnya di dalam mobil, bisa tolong ambilkan ya? Masuk dari pintu samping ini aja. Alatnya di belakang jok" Ujar wanita menjelaskan. Gadis itu ragu-ragu sebentar, mencoba mencerna seluruh perkataan yang meminta tolong kepadanya. "Tolong ... buka aja pintunya yang samping itu." Wanita itu tersenyum. Sang gadis mengangguk. Melangkah ke sisi kanan mobil dan tangannya membuka pintu. Wajahnya yang polos melongok ke bagian belakang, hanya ada satu benda di tengah-tengah lantai mobil bagian belakang itu. Dia harus memasukkan semua tubuhnya ke dalam mobil. Buukk. Pukulan di belakang kepalanya membuat gadis itu tersungkur, meluncur menimpa barang yang tadi hendak diambilnya. Wanita itu menutup pintu mobil, melihat ke sekitar dengan hati-hati, lalu menutup kap mesin mobilnya dan berlalu dengan tidak tergesa-gesa dari situ. Selebihnya dia merasakan debur jantung karena hasrat berbau darah yang begitu tinggi Gadis itu adalah buruan wanita tersebut selama delapan bulan terakhir. Gairah meraja di dadanya. Sesampainya di jalan tol, dia menekan pedal gas dalam-dalam. Dia harus segera sampai sebelum gadis itu siuman. .........Mimpi Isabel berakhir......... Hatsuka membuka matanya. Dia merasakan gairah itu. Gairah dengan aura membunuh. Hatsuka bergidik ngeri. Tatapannya terlihat sangat prihatin kepada Isabel yang masih sangat kecil untuk memahami hal-hal besar yang belum saatnya dia ketahui. Hatsuka semakin tertarik untuk menggali lebih dalam. Faktanya, mimpi yang dialami oleh Isabel adalah pesan yang diselundupkan ke dalam alam bawah sadar Isabel oleh salah satu arwah. "Arwah?" Gumam Hatsuka baru sadar. Berarti gadis muda di mimpi Isabel tersebut telah meninggal. Kemungkinan gadis ini yang kehadirannya begitu menakutkan untuk Isabel dan putrinya. Hatsuka terduduk lemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD