CHAPTER 10

1565 Words
(Masih) Nadi POV “Aku sudah tau kejadian itu.” Al mengepalkan kedua tangannya, terlihat emosi. Aku terkejut meski sudah menduga-duganya, Al punya banyak cara untuk menyelidikinya. Sebenarnya, aku ragu apakah masih ada rahasiaku yang masih belum diketahuinya. Tapi selama ini aku memilih untuk bersikap seperti bayanganku. Jika Al berpura-pura dan menunggu kesiapanku, aku menghargainya. Tapi kini, keputusan untuk putus dengan Al menjadi membuatku ragu. Bagaimana kelanjutan kisah kami berdua setelahnya, dan satu hal yang kuyakini, jika sampai hal itu terjadi maka akulah yang paling menyesal. Apalagi selama ini Al sudah tau dan masih berusaha mengerti diriku. “Karena itu, aku tidak ingin membuatmu menderita dengan menunggu cinta dari seseorang sepertiku,” tambahku lagi, mengeluarkan alasan lain dari dalam pikiranku. Al menarik nafas kuat, sepertinya dia emosi karena tidak setuju dengan perkataanku. Aku menunduk, tidak berani menatapnya. “Aku hanya merasa tidak pantas untukmu, Al. Aku...kita akan kesulitan mempunyai anak. Hal itu tidak akan bisa membahagiakanmu.” “Jangan berbohong, Nad!” desisnya. Aku terkejut. “Ke..kenapa kamu berpikir begitu?” cicitku pelan. Al berdiri, mengusap wajah dengan kasar. Lalu dia menghadap ke arah jendela dengan gusar. “Aku akan selalu menunggu mu, Nadi. Dan keputusan untuk putus, aku masih akan memikirkannya. Kemari!!” Al mengulurkan tangannya. Demi Neptunus. Demi apa pun yang hidup, aku sering sekali bingung dengan maksud Al. Namun begitu, uluran tangannya tersambut bersamaan dengan rasa lega yang memenuhi rongga d**a. Peristiwa ini, percakapan ini seperti tidak masuk akal. “Al?” tanyaku. “Dengar, aku selalu merasa gagal menjadi kekasihmu ketika tau besarnya tekanan yang kau hadapi sampai-sampai tidak mau berbagi denganku. Meskipun kamu belum mencintaiku Nad, kuharap aku tidak menambah bebanmu.” Nafasku tertahan. Kalimat terakhir yang keluar itu sama sekali tidak benar. Malah dirinya lah yang belum bilang bahwa dia mencintaiku. “Kau tau? Ketika mendengar fakta penyakitmu, rasa bersalahku semakin besar. Fakta itu menyakitkan,” Aku menatap Al tidak percaya. Pada tangannya yang tidak berhenti memberikan kehangatan pada tanganku. Bola matanya memancarkan harapan. “Al! Selama ini aku tidak pernah merasa tertekan bersamamu. Aku senang. Dan selalu menantikan saat-saat kita bersama. Hanya saja sikapmu selama ini tidak menunjukkan bahwa kau juga merasa..” Genggaman Al pada tanganku kian erat. Matanya. Di sana, pada bola mata yang sekejap membulat, ada sesuatu yang menggetarkan hatiku. Seperti sebuah kepastian untuk semua keraguan. “Bagaimana kamu akan.... Tidak, bagaimana kita akan bertahan dengan kondisi yang sulit? Bagaimana jika suatu saat kamu meninggalkanku karena bosan?” tanyaku lirih. “Aku tak akan tahan, Al. Kamu juga akan begitu.” Kedua tangan Al menangkup pipiku. “Kamu tidak punya ide sedikitpun, bagaimana aku mencintaimu Nad. Kelebihanmu bahkan kekuranganmu. Kamu tidak bisa membayangkannya...” jelas Al membuatku tertegun. Dia baru saja mengucapkan kata-kata itu dengan gamblang. Kata-kata yang membuat hariku berdebar. Ada kesenduan dalam nadanya. Al merangkulku dalam dekapannya. “Aku...” Aku semakin mempererat dekapanku padanya. Menghirup aroma parfum dan perpaduan wangi tubuh Al membuatku tenang. Sekian hari menahan diri untuk memeluk pria ini sungguh menyakitkan. Kini aku bisa lega sedikit mengetahui dia mencintaiku. Dan sebenarnya aku sangat beruntung dicintai oleh pria seperti Al. Dari semua cerita yang ku dengar, aku bisa melihat bahwa Al berusaha untuk berubah. Berubah menjadi sosok yang kuinginkan. Aku tahu, Theo sering mengingatkanku ketika aku sering mengeluh tentang sikap dinginnya Al. Dengan memantapkan hati, aku menjauhkan diri dari Al. Aku tersenyum lega. Rizky benar, hubungan dengan dilandaskan kejujuran akan sangat melegakan. “Terima kasih, Al.” Al mengelus punggungku. “Apa masih ada yang ingin kamu sampaikan padaku?” tanyanya. Aku mengerutkan kening, “Apa aku belum menceritakan semuanya?” tanyaku pura-pura tidak tahu. “Bagaimana dengan pelaku kejadian tempo hari, Nad?” Aku berusaha menutupi kegugupan ku saat Al mengelus pipiku dengan halus, setidaknya tidak sekasar sebelum-sebelumnya. “Menurutku kamu terlalu santai untuk ukuran seorang yang baru mendapat perlakuan seperti itu.” Aku terbelalak, dengan gerakan terpaksa, aku menurunkan tangan Al dari pipiku. “Itu, aku disekap oleh....” Lalu mengalirlah cerita ketika Reza datang menggedor kamar mandi. *** Kami tiba di rumah Al yang tidak jauh dari flat tempatku dan Theo. Aku setuju dengan rencana Al yang menyuruhku untuk tinggal di rumah ini. Di saja juga ada sosok dokter yang akan mengobatiku yang pastinya tidak akan dimanfaatkan orang lain untuk mengorek informasi, seperti yang ditakutkan Al jika aku melanjutkan pengobatan bersama tante Risa. Ada kemungkinan Rezo akan melakukan sesuatu yang tidak kami inginkan. Al sengaja menunggu kedatangan Theo dan Lya sekalian untuk berpamitan pada mereka. Awalnya Lya tampak keberatan dengan keputusan kami. Tapi setelah mendengar penjelasan Theo, akhirnya sahabatku itu pun setuju. Lya tidak lupa mengingatkanku untuk tidak jatuh ke dalam hubungan yang nantinya akan membuatku menderita. Walaupun alasan pengobatan, Lya bersih keras menyuruhku harus menikah dulu. Seperti kepercayaan kami dulu tentang konsep hubungan. Entahlah untuk sekarang, lagi pula mengingat kondisiku, tidak ada yang perlu ditakutkan. Al terbukti sangat mencintaiku dan aku setuju untuk mulai mencintainya setulus mungkin. Al berjalan dari arah dapur dan membawa dua gelas ukuran sedang. Dia meletakkan kedua gelas itu di atas meja kaca, kemudian duduk merapat denganku. “Kupikir, agar kamu lebih nyaman. Ini ada teh yang bisa membuatmu sedikit rileks.” “Ku pikir kamu tidak suka teh,” kataku sambil mengambil gelas milikku dan menyesapnya. Aneh, rasanya sangat tidak familiar, ada rasa pahit yang sejuk, sedikit asam dan manis. Aromanya mirip mawar dan cengkeh, sungguh perpaduan yang membuatku melirik Al dengan raut bertanya. “Teh mawar dengan campuran rempah-rempah, aku memang tidak terlalu tahu campuran lainnya...Tapi itu baik untuk kesehatanmu.” Aku mengangguk sambil mengamati penampakan teh di tanganku. Kulihat Al mengambil tehnya dan meminum sekaligus sampai habis. Nafasku tertahan tiba-tiba saat Al memandangiku dengan intens setelah selesai dengan urusan teh di gelasnya. Tangannya mengelus pipiku lalu tiba-tiba merebahkan kepalanya di atas pahaku. “Katakan Nad, bagaimana Reza bisa terobsesi padamu?” tanya Al santai. Kadang aku merutuki sikapnya yang selalu tiba-tiba dan raut wajahnya yang sangat tenang seakan tidak ada masalah. Aku meneliti raut wajah Al, wajah yang selama ini tidak terlalu ku perhatikan dengan detail. Kepalaku menunduk, memandanginya sambil mengusap-usap dahi sampai ke rambutnya. Alisnya yang tebal dan tegas, rahangnya yang kokoh dan dagunya yang bersih. Tidak ada satu pun celah di wajahnya, sekalipun untuk tahi lalat seperti yang ada di wajahku. “Kamu sudah tahu kan kalau aku dan Theo adalah anak yatim piatu sejak lama?” tanyaku. Al terdiam sebentar, lalu mengangguk. Menghela nafas, Aku sebenarnya yakin, Al sudah tahu kisah hidupku, setidaknya garis besarnya. Jika dia bertanya sebagai bentuk usaha mengakrabkan diri denganku, maka aku tidak bisa menolak. Karena aku juga selalu menyukai kebersamaan kami sejak pertama bertemu. “Ketika keluargaku masih lengkap, kami mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga Cipto, Al. Baik aku, Lya maupun Riz sejak dulu biasa bersama. Sekolah di tempat yang sama dan bermain bersama. Bahkan sejak Ibuku meninggal, ayah sangat jarang ke rumah. Lalu aku dan Theo selalu dititipkan kepada Tante Risa. Awalnya aku sangat senang karena Beliau itu sangat baik, sosok yang selalu menghibur kami saat kami rindu pada Ibu. Kehangatan keluarga Cipto sedikit demi sedikit mampu menghilangkan kesedihanku atas hilangnya ibu, tapi tidak mampu mengobati rasa benci kepada ayah yang seolah menjauhi kami. Bahkan, aku sempat berpikir bahwa Ayah menjual kami kepada Tante Risa. Kamu tahukan...? Karena tante Risa sangat baik kepadaku dan Theo. Beliau seperti menganggap kami anak sendiri.” Tatapanku melayang jauh pada waktu itu. “Tapi semua bermula saat ayah meninggal. Kamu tahu, Al? Sebelum ayah yang selalu ku benci itu juga pergi menyusul Ibu, apa yang kulakukan?” tanyaku pada Al yang masih setia menatap mataku. “Aku... baru saja melampiaskan kekesalan hatiku terhadap ayah kepada Reza, pria yang selalu kelihatan diam dan menjadi pendengar yang baik di keluarga Cipto. Dia..dia selalu mau mendengar semua ceritaku Al.” Tangan hangat Al menangkup pipiku. Berusaha menyalurkan rasa simpati atau menguatkan ku. “Sejak saat aku membaca surat peninggalan Ayah, aku baru sadar dan sangat menyesal tidak pernah mau mencoba mendekati dan menghibur ayah. Aku hanya sibuk memikirkan diri sendiri. Aku pikir, hanya aku dan Theo yang masih sedih dengan perginya Ibu. Sementara Ayah, karena sudah kembali sibuk, tidak sedih lagi dan sudah melupakan ibu. Tapi ternyata, ...” “Sudahlah, Nad. Tidak usah dilanjut kalau kamu jadinya sedih.” Pinta Al. Dia terduduk, membawaku dalam pelukannya. “Tidak, Al. Kamu harus dengarkan kisahku.” Pintaku keras kepala. Aku tidak mau kisah ini hanya terpendam dalam hatiku. Tidak perduli jika aku akhirnya menjilat ludah sendiri, tapi aku memang butuh melampiaskan emosi dan perasaanku saat ini. Aku melepas pelukan Al dan mendorong bahunya agar duduk tegap di sofa. Tanganku memegang kedua paha Al, lalu mengambil posisi berbaring seperti yang dilakukan Al tadi padaku. Reaksi Al yang sempat tegang membuat emosiku sedikit reda. Aku tersenyum dalam hati melihat perubahan raut muka Al yang mulai terbiasa dengan posisiku. Memejamkan mata, aku menarik nafas dalam. “Sejak saat itu, tante Risa selalu rutin menjenguk kami ke rumah. Karena kondisi kami yang semakin memburuk, tante Risa dan Rizky membujuk kami tinggal bersama di kediaman keluarga Cipto untuk sementara. Aku ingin menolak, tapi aku tidak tega pada Theo. Aku belum bisa mengurusnya dan aku tidak ingin egois lagi. Tapi saat itu, aku sadar, keenggananku untuk kembali ke tempat itu adalah pertanda bahwa Reza memang memiliki sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Dia selalu mengamatiku, sampai membuatku risih. Suatu saat aku mulai menjauh dan menjaga jarak dengannya. Tapi itu malah membuatnya semakin terobsesi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD