Setelah puas menghantam putranya sendiri, Delon tak menemukan apa pun di balik amarahnya yang meledak. Tidak ada kelegaan. Tidak ada rasa puas. Yang tersisa hanya kehampaan yang menganga, seperti ruang kosong di dalam dadanya yang tak bisa ditambal oleh darah, bentakan, atau rasa bersalah. Ia masih marah. Masih hancur. Masih ingin melampiaskan. Tapi Elang sudah tergeletak, babak belur. Dan tubuh Delon sendiri pun nyaris tak sanggup berdiri lagi. Dengan napas memburu dan tangan yang bergetar, ia bersandar pada dinding kamar anaknya. Darah mengering di buku-buku jarinya. Wajahnya lebam, matanya merah, dan napasnya tak teratur. Ia tampak seperti pria yang baru saja kehilangan segalanya—dan memang itulah kenyataannya. Di lantai, Elang berbaring dengan tawa pendek yang teredam oleh rasa nyer

