Bab 2

2024 Words
"Aduh! Kasihan banget yang ditinggal ceweknya. Hahaha," ejek Gibran sambil tertawa. "Sialan Lo!" umpat Indra. "Waduh. Dianya ngamuk. Hahaha," ucap Gibran. Tak hanya itu. Satu hal lagi yang membuat Indra kesal pada sahabatnya itu. Gibran dengan santainya malah berjalan mendekat ke arah Indra dan langsung menepuk punggung Indra seolah-olah dia sedang menenangkan sahabatnya itu atas kejadian yang baru saja terjadi. "Tenang, kawan. Meskipun dia tadi bilang kayak gitu, tapi gue yakin kok," kata Gibran. "Yakin apa?" tanya Indra. "Pokoknya yakin," jawab Gibran. "Iya, yakin apa?" ulang Indra. "Yakin kalau dia gak bakalan mau. Hahaha," jawab Gibran. Setelahnya, dengan tanpa rasa berdosa dirinya berlari menjauh dari Indra sambil menyisakan tawa yang sangat mengesalkan. Itu adalah sebuah sifat yang sangat kekanak-kanakan. Tapi, biar bagaimanapun juga tak bisa dipungkiri bahwa mereka masihlah para siswa kelas 3 SMP. Wajar saja jika sikap kekanak-kanakan masih melekat di dalam diri mereka. Indra hanya pasrah ketika sahabatnya itu melarikan diri dari terkamannya. Ia tak mau mengejar. Tak tahu karena apa. Mungkin karena dia tidak mau membuat tubuhnya lelah hanya untuk mengejar orang mengesalkan seperti Gibran. Pikirnya, lebih baik ia mengejar cinta yang nampak mustahil untuk ia dapatkan daripada harus mengejar si Gibran. "Dasar Kahlil Gibran. Awas saja nanti," oceh Indra. Sementara itu, Gibran yang tadinya berlari untuk menghindari amukan dari Indra kini sudah kembali berjalan santai. Ia tak punya tujuan tentang ke mana ia harus pergi. Yang ada di pikirannya hanya berjalan dan berjalan sampai bel tanda masuk berbunyi. Namun, di kala dirinya sampai di depan sebuah perpustakaan, dirinya melihat dua orang yang salah satunya sangat ia kenal. Orang itu adalah Iqbal, sahabatnya. Dia sedang bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik yang dikenal dengan nama Nessa. Entah apa yang mereka omongkan, Gibran pun tidak mengetahuinya. "Wah, asyik nih. Tadi si Indra ke enam. Sekarang giliran tuh orang yang harus menerima pembalasan gue. Hehehe," ucapnya sambil menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya. Sebelum itu, ia memposisikan diri untuk lebih mendekat ke tempat mereka guna mendengar apa yang sedang mereka perbincangkan. Sebisa mungkin juga dirinya berusaha agar salah satu atau mereka berdua tidak melihat kehadirannya. Karena itu adalah langkah awal untuk rencananya bisa berhasil. "Main ke pantai? Asyik juga sih kayaknya," kata gadis cantik itu. "Nah kan? Makanya itu. Mau nggak aku ajak ke pantai?" tanya Iqbal. "Hmm ... gimana, ya?" Nessa nampak bingung dengan jawaban apa yang harus ia berikan. "Gimana gimana?" tanya Iqbal. "Gini, Bal. Sebenarnya aku pengen banget ke pantai. Tapi, aku mungkin gak akan dikasih izin sama orang tuaku," kata Nessa. "Gitu, ya?" tanya Iqbal. Ia nampak bersedih karenanya. "Iya. Apalagi kalau perginya sama cowok," kata Nessa. "Emm ... padahal aku berharap kamu bisa ikut, Nes," ucap Iqbal. "Gini aja deh. Nanti aku tanyain dulu ke orang tuaku. Kalau diizinin ya kita berangkat, tapi kalau gak ya sudahlah," kata Nessa. "Ah, iya. Lebih baik gitu. Moga aja diizinin," kata Iqbal. "Hm ... emang kenapa kok ngajaknya harus aku?" tanya Nessa. "Yaaa... Emm...." Iqbal nampak bingung untuk menjawab. Dan di saat itulah seorang manusia tak berdosa tiba-tiba muncul seiring dengan suaranya yang terdengar mengesalkan, khususnya di telinga Iqbal. "Hei, hei. Secara agak sengaja telinga ini mendengar pembicaraan kalian. Nessa, kudengar kamu mau diajak Iqbal ke pantai, ya?" tanya Gibran ke Nessa. "Eee .... Iya," jawab Nessa. "Ngapain sih Lo, Bran? Pergi sana!" usir Iqbal. "Sebentar! Ada hal yang harus aku luruskan di sini," kata Gibran. "Emang bengkok? Pakai dilurusin segala," ucap Iqbal tak santai. "Diamlah sebentar kalau tidak ingin gue berlama-lama berada di sini," kata Gibran. Iqbal pun diam. "Hei, Nes!" panggil Gibran. "Iya," jawab Nessa. "Bukannya aku nakut-nakutin atau gimana, ya. Kalau Iqbal ngajak pergi ke pantainya naik motor, jangan mau! Bukannya apa-apa. Iqbal itu masih bocah. Kalau dia mengendarai motor di jalan raya, eh malah ketemu polisi ya sudah pasti ditilang. Kamu mau ikut kena tilang?" "Emm...." Nessa bingung. "Gak apa-apa, Nes. Kan bisa lewat jalan tikus," kata Iqbal. "Iya, Nes. Emang bener kata Iqbal. Bisa sih lewat situ, tapi tidak ada yang menjamin kalau polisi gak akan datang ke sana. Jadi, sebelum kejadian beneran, akan lebih baik menghindarinya," kata Gibran. "Aku juga diajak sama Iqbal sebenarnya, tapi aku gak mau. Risiko banget lah berkendara sejauh itu. Bukan polisi saja. Kalau ada apa-apa, kan repot juga. Kita ini masih kelas 3 SMP," lanjut Gibran. Nessa semakin bingung untuk ambil keputusan. "Woi, jangan ngomong yang enggak-enggak deh, Lo!" ucap Iqbal. "Gue ngomong yang iya-iya, lho," balas Gibran. Iqbal mendecak sebal. "Nes, jangan didengerin, ya. Kalau lewat jalan tikus, gak bakalan ada polisi, kok. Kita gak akan ketilang. Kamu tenang aja," kata Iqbal. "Memang sih, kecil kemungkinannya ada polisi, tapi kalau misal motornya mogok atau ban motornya bocor, gimana? Kan susah juga. Pasti kamu disuruh turun dari motor, Nes. Jalan sambil nyari bengkel. Dih, pasti capek," sahut Gibran. "Woi, berisik Lo! Ikut mulu," ucap Iqbal. Pandangan Iqbal kembali terfokus ke Nessa. Nampak sekali tatapan penuh harap agar Nessa mau menerima ajakannya itu. Sedangkan si Gibran malah berusaha untuk menahan tawanya. "Emm.... Maaf ya, sepertinya Gibran ada benarnya juga. Terlalu risiko kalau pergi naik motor. Lagipula, kayaknya aku emang gak akan diizinin sama orang tuaku," kata Nessa. "Tapi kan belum minta izin. Tadi katanya mau ngomong dulu ke orang tuamu," kata Iqbal. "Hmm ... Sepertinya gak usah deh, Bal. Mereka pasti gak akan ngizinin," ucap Nessa. "Ya udah, ya. Aku mau ke kelas dulu. Udah hampir habis nih jam istirahat," lanjut Nessa. "Hmm ... Iya deh," kata Iqbal. Kecewa, satu kata yang pantas untuk menggambarkan suasana hati Iqbal saat ini. Sang pujaan hati telah memutuskan untuk tidak ingin pergi bersamanya. Ada satu nama yang pantas untuk ia jadikan tersangka. Satu nama itu adalah Gibran. Sekarang, lelaki tampan yang berstatus sebagai tersangka itu masih menahan tawanya agar tidak keluar dengan cara menutupnya menggunakan telapak tangannya. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Di saat Iqbal menatapnya, semuanya pun ia keluarkan. "Hahahaha. Mampus Lo. Emang enak ditinggal sang pujaan hati. Hahaha," kata Gibran sambil tertawa kencang seolah menikmati penderitaan Iqbal. "Emang sialan Lo, Bran. Ngajak baku hantam Lo?" tanya Iqbal. "Yuk lah, gas," ucap Gibran menyetujui. "Nanti kalah, ngadu sama ayah," ejek Iqbal. "Gue? Ngadu sama ayah? Hahaha. Lo kali yang kayak gitu," balas Gibran. "Gue? Gitu? Ya nggak mungkin lah. Gue ini kuat. Mana mungkin kalah, apalagi sampai ngadu ke ayah. Mana mungkin gue kalah kalau berantem sama Lo. Badan aja mudah rapuh. Mudah patah kayak lidi. Hahaha," ejek Iqbal. "Eh, nantangin nih bocah. Berani Lo sama gue?" tanya Gibran. "Hahaha ... badan kayak lidi aja ngapain gue takut," ejek Iqbal. "Lidi pala Lo. Gede gini disamain kayak lidi," protes Gibran. Faktanya memang badan Gibran terbilang ideal. Tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk. Tapi mungkin ada alasan tersendiri kenapa Iqbal mengejek badan Gibran seperti lidi. "Bukan soal ukurannya, tapi daya tahannya. Badan rapuh kayak lidi aja bangga," ejek Iqbal lagi. "Ooo ... gitu, ya? Nantangin beneran?" "Ya iyalah nantang. Gak terima?" tanya Iqbal. "Ooo ... jelas saja nggak terima. Lo terima nggak?" jawab sekaligus tanya Gibran balik. Iqbal tiba-tiba terdiam, menatap ekspresi wajah tidak jelas dari sahabatnya itu. Ia kemudian memasang wajah super malas sebagai tanggapannya. "Dasar stres. Udahlah, gak jadi emosi gue. Dipending aja," kata Iqbal sambil beranjak pergi dari hadapan Gibran. "Oi mau ke mana Lo, penakut?" tanya Gibran sambil sedikit berteriak. "Bukan urusan Lo," jawab Iqbal tanpa menoleh. "Alah, bilang aja Lo takut berantem sama gue," kata Gibran. "Udahlah, males gue," ucap Iqbal. Tanpa memperdulikan lagi ocehan dari Gibran, Iqbal pun pergi begitu saja. Lagipula, tak mungkin juga kalau dia akan benar-benar berantem dengan Gibran yang merupakan sahabatnya sendiri. Selepas Iqbal pergi, Gibran pun memasang senyum penuh kemenangan. Perlahan senyum itu pun berubah menjadi tawa yang semakin lama semakin kencang. Dia sudah seperti orang gila dadakan yang tanpa ada hal lucu pun tertawa secara tiba-tiba. "Hahahaha. Rasain tuh. Siapa suruh nyari masalah sama gue duluan," kata Gibran. "Kayaknya gue yang akan menang. Hahaha. Tinggal terus mepet ke Riani, udah deh, semua beres," lanjutnya. Memang, tidak seharusnya tantangan aneh itu ada. Gibran yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali dalam hal dunia percintaan diharuskan untuk mendapatkan cinta dari seorang gadis dalam waktu yang sangat singkat. Akan tetapi, tampangnya yang tampan mungkin saja bisa memudahkan dia dalam mendapatkan satu saja cinta dari sang gadis. Ya, paras tampannya itulah kunci utamanya. Selain itu dia juga cerewet layaknya perempuan dan tergolong tidak mempunyai rasa malu atau sungkan. Pastinya itu juga merupakan suatu kekuatan yang sangat penting untuk mewujudkan semuanya. Dengan cerewetnya itu ia tentunya bisa dengan mudah berkomunikasi dengan gadis yang ia pilih. Dan dengan tidak mempunyai rasa malu, dirinya tak akan peduli dengan orang-orang yang bisa saja melihat aksi dia dalam mendekati seorang gadis. Entah itu aksi yang memalukan atau bahkan yang keren. "Lah, tuh si curut datang. Baru juga kita omongin." Seseorang berkata seperti itu di kala Gibran masuk ke kelasnya. "Apaan curat curut? Lo berdua habis ngomongin gue, ya?" tanya Gibran tak santai. "Cih, percaya diri amat Lo, Rut," kata seseorang itu yang tak lain adalah Indra. Di depannya ada seorang lelaki yang juga merupakan sahabat Gibran yang beberapa menit lalu sempat berantem dengannya. Siapa lagi kalau bukan Iqbal. Entah kebetulan atau apa, keadaan kelas juga nampak sangat sepi. Selain mereka berdua, cuma ada satu orang lelaki yang kini sedang tidur di lantai, tepatnya pada pojok belakang kelas itu. Lelaki yang sehari-harinya memang menjadikan tidur sebagai salah satu kegiatannya di sekolahan. Nama lelaki itu adalah Billy. "Halah, emang kenyataannya gitu," kata Gibran. "Woi, Lo katanya ngajak baku hantam, tadi. Jadi gak?" tanya Gibran kemudian ke Iqbal. "Kan udah gue bilang kalau gak jadi," jawab Iqbal. "Takut ya, Lo? Hahaha," ejek Gibran. "Iya. Gue takut," kata Iqbal. "Nah kan? Akhirnya ngaku," kata Gibran. "Hmm ... iya, gue takut banget deh, Bran. Takut kalau buat Lo nangis dan Lo ngadu ke ayah Lo. Hahaha," ucap Iqbal. "Woi, nantang berantem beneran Lo? Berani-beraninya ngomong kayak gitu ke gue," ucap Gibran tidak terima. Syutt! Di sela-sela perkelahian mereka, Indra tiba-tiba bertindak sebagai penengahnya. Ia yang tak tahu secara langsung masalah apa yang telah terjadi antara Gibran dan Iqbal pun merasa bingung. Dan menurutnya, hal terbaik yang harus ia lakukan adalah menengahi perkelahian itu. "Apa?" tanya Gibran dan Iqbal bersamaan dengan nada tak santai. "Nggak, nggak apa-apa. Cuma mau bilang. Lanjutin aja berantemnya," kata Indra. "Oke," kata Gibran. Dan setelah itu, kembali terjadi adu mulut antara Gibran dan Iqbal. Bahkan hanya karena suara mereka berdua saja, kelas yang sepi itupun mendadak menjadi seperti pasar. Ramai sekali. Ah, lebih tepatnya bising. Apalagi ketika suara itu masuk ke telinga Indra. Namun, tak lama berselang Indra kembali bertindak. Kali ini dia lebih berani. Dipukulnya kepala dua sahabatnya itu agak keras untuk menghentikan ocehan demi ocehan tidak berguna dari mereka. "Aduh! Apaan sih, Lo?" tanya Gibran tidak terima. "Makanya diam! Lo gak lihat tuh di pojokan, ada yang tidur," kata Indra sambil menunjuk ke arah Billy. "Lah, iya," kata Gibran. "Ya makanya itu. Kasihan kalau dia kebangun nanti. Mending Lo berdua diam," ucap Indra. "Hmm. Si Kahlil Gibran tuh yang gak bisa diam," kata Iqbal. "Lo juga sama aja, woi," balas Gibran. "Hei, sudah hentikan! Kok berantem lagi, sih. Kasihan kalau Billy kebangun. Dia kurang tidur. Semalam tidurnya jam 8 katanya," ucap Iqbal. "Itu bukan kurang tidur, woi. Malah kelebihan tidur," kata Gibran tak terima. "Gue belum selesai ngomong. Maksud gue, tidur jam 8 terus dia bangun jam 1 malam," kata Indra. "Oh, sholat tahajud, kah? Alim juga tuh anak," kata Iqbal. "Bukan," jawab Indra. "Lah, terus?" tanya Iqbal penasaran. "Nonton," jawab Indra. "Waduh! Parah. Berdosa sekali dia. Hahaha," kata Gibran sambil tertawa. "Nonton bola maksud gue. Streaming. Kan Real Madrid main tadi malam," ucap Indra. "Emang Lo kira apa?" tanyanya kemudian. "Oh, enggak. Nggak apa-apa," jawab Gibran. Indra hanya memandangnya malas. Sejenak mereka bertiga saling diam. Tak ada percakapan apapun. Bahkan panggil memanggil pun tidak. Mereka sibuk mengedarkan pandangan ke segala arah. Kelas masih sangat sepi, padahal bel masuk pun sebentar lagi akan berbunyi. Berbeda dengan kedua sahabatnya yang lebih cenderung untuk mengamati suasana kelas, Indra malah mengamati apa yang dilakukan oleh kedua sahabatnya itu. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba ia memasang senyum di wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD