Bab 3

1306 Words
"Nah, kalau kayak gini kan enak dilihat. Nggak berantem mulu. Dan yang lebih pentingnya lagi, gak ganggu tidur Billy karena Lo berdua bising," kata Indra. "Hmm ... iya, iya," kata Gibran. Lalu mereka saling berdiam kembali. Indra masih melakukan hal yang sama. Senyum kembali menghiasi wajahnya. Seolah-olah dia telah berhasil untuk mendapatkan pencapaian yang amat sangat sempurna. Brakk! "Nah, sumpah deh kalau kayak gini Lo berdua keren," ucap Indra sambil menggebrak meja. Jelas itu membuat kedua manusia itu kaget. Dan ternyata tak hanya kedua manusia itu saja yang kaget. Orang yang sedari tadi tidur di belakang itupun tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Ya, tanpa menunggu nyawanya terkumpul semua, Billy memaksakan diri untuk langsung berdiri setelah sekian lama tertidur. Itu semua karena ulah dari si Indra. Sontak, karena sadar tentang alasan kenapa Billy tiba-tiba terbangun, merek bertiga pun secara bersamaan berlari kecil mendekat ke Billy sambil terus tertawa. Beruntungnya Billy bukan orang yang emosian. Ketika tiga orang yang tidak mempunyai akhlak itu tertawa terbahak-bahak, dia cuma diam dan memandang saja. Seolah-olah memang dia belum sadar sepenuhnya dari tidurnya. "Sorry Bil, gue gak sengaja. Hahaha," kata Indra. "Ooo ... jadi Lo yang udah bikin jantung gue hampir copot?" tanyanya sambil menguap. Nampak betul kalau ia masih sangat ngantuk. "Kan gue udah bilang, Bil. Gue gak sengaja," kata Indra. Billy diam. "Udah, balik tidur aja yuk!" lanjutnya. Tanpa aba-aba, seolah sudah mengerti apa yang ada di pikiran Indra, Gibran dan Iqbal langsung mengangkat tubuh Billy dengan begitu mudahnya. Indra pun tentu saja juga ikut melakukannya. "Eh, mau ngapain kalian?" tanya Billy. "Katanya Lo masih ngantuk. Tidur aja lagi," jawab Indra. Dan benar saja. Mereka bertiga menaruh tubuh Billy dalam posisi berbaring di tempat yang sama seperti tempat yang digunakannya untuk tidur tadi. Billy pun hanya bisa pasrah menerima perlakuan konyol dari tiga manusia itu. "Sialan! Berat juga Lo," keluh Iqbal. Hingga waktu pulang sekolah pun tiba. Di waktu itu, Indra nampak clingak-clinguk seolah-olah sedang mencari seseorang atau sesuatu. Tak tahu apa yang sedang ia cari, yang pasti kalau dilihat-lihat, ia seakan-akan takut kalau seseorang atau sesuatu itu nampak dari indra pengelihatannya. "Huff ... Kayaknya aman. Gak ada si Kahlil Gibran sialan itu. Sekarang saatnya ketemu Elsa. Eh, Elsa sudah pulang belum, ya?' tanyanya pada diri sendiri sambil mengelus janggutnya. "Ah, bodoamat lah. Gue yakin pasti belum pulang," ucapnya lagi. Tanpa sepengetahuan siapapun, Indra pun memulai langkahnya untuk mencari keberadaan Elsa, sang gadis pujaan hatinya. Ini adalah waktunya pulang sekolah. Kecil kemungkinan jika Elsa masih berada di sekolahan. Tapi kalau sudah bertekad, bahkan kemungkinan untuk berhasil cuma 1 persen saja pun pasti akan dijalani. Seperti apa yang dilakukan oleh Indra saat ini. Siulannya terdengar begitu merdu mengiringi langkah kakinya. Siulan yang berirama seperti sebuah lagu yang sangat enak didengar. Indra memang sangat berbakat dalam bersiul. Langkah kaki itu membawa raganya ke sebuah kelas yang sudah sepi manusia. Itu adalah kelasnya Elsa. Ketika masih berada di depan kelas, dalam arti belum melihat bagian dalam kelas tersebut, Indra berharap bahwa gadis yang ia cari masih berada di dalamnya. Dengan begitu ia tidak perlu susah-susah mencarinya lagi. "Bismillah aja. Semoga dia masih di kelas," katanya. Namun, rasa kecewa harus ia rasakan di kala ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau kelas yang ia kunjungi itu benar-benar dalam keadaan kosong. Jangankan Elsa, bahkan satu saja murid penghuni kelas yang tak ia kenal pun tidak ada. Kelas itu benar-benar kosong. Seperti hatinya yang masih terasa kosong dan belum diisi oleh siapapun, bahkan juga Elsa. "Apa mungkin dia udah pulang?" tanyanya pada diri sendiri. "Hmm ... gini amat sih hidup gue. Selalu saja ditinggal," lanjutnya. Ia tetap berdiri di sana walau ia tahu kalau Elsa tidak ada di kelas. Hingga tak berselang lama kemudian, dari arah belakangnya ia mendengar suara seseorang yang seperti sedang menyapanya. "Hei." Suara itu, suara yang sangat dikenali oleh Indra. Suara itu, suara yang mampu membuat jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Ia tak perlu bertanya-tanya lagi, karena ia sudah tahu bahwa sang pemilik suara itu adalah orang yang sedang ia cari-cari. Ia pun menoleh dan benar saja, perempuan cantik itu sedang berdiri tegak sambil menatapnya. Entah kenapa tubuhnya seakan mati rasa. Ia terlalu kaget saat mendapati kemunculan Elsa yang bisa dibilang secara tiba-tiba bagaikan sosok hantu. "Elsa," ucapnya. "Ngapain di sini, Ndra?" tanya Elsa. "Em ... nyari kamu," jawab Indra. "Nyari aku?" tanya Elsa. "Eh, maksudku...." Indra menggantung ucapannya. "Apa, Ndra?" tanya Elsa lagi. "Emm ... iya, nyari kamu. Aku cuma mau nanyain soal yang tadi," jawab Indra. "Yang kamu ngajak aku pergi ke toko buku itu?" tanya Elsa. "Iya," jawab Indra sambil menganggukkan kepalanya. "Kan tadi aku udah bilang, Ndra, tergantung nanti. Kalau aku gak sibuk ya ayo, tapi kalau aku sibuk ya maaf," jawab Elsa panjang lebar. "Kamu terpengaruh kata-kata Gibran yang tadi, ya? Kumohon gak usah dengerin kata-kata dia. Itu semua gak bener kok, sumpah," kata Indra. "Enggak, bukan itu," kata Elsa. "Lalu?" tanya Indra. "Indra .... Aku kan udah bilang tadi alasannya. Masa aku harus mengulangi lagi, sih," ucap Elsa lembut. "Gitu, ya? Ya udah deh. Nanti malam kabari aku, ya. Kalau emang sibuk ya gak apa-apa, sih. Tapi kalau enggak, aku akan jemput kamu langsung," kata Indra. "Hmm ... iya. Semoga nggak sibuk, ya," kata Elsa. "Iya." Dan sial sekali nasib Indra pada hari ini. Tanpa ia duga, gangguan itu tiba-tiba datang dan berasal dari orang yang sama. Ya, si Kahlil Gibran tiba-tiba muncul di hadapan mereka untuk merusuh. "Eh, ketemu lagi dengan Rapunzel. Hei, apa kabar?" tanya Gibran. "Baik kok. Tapi namaku Elsa, ya, bukan Rapunzel," jawab Elsa. "Ya itu maksudku. Hei, Elsa, orang yang berada di depanmu itu sedang ngapain?" tanya Gibran. Yang dimaksud adalah Indra. Elsa diam sembari tersenyum sangat manis. Ia jelas tidak enak untuk menjawab. Lalu, lelaki itupun berbalik badan dan ingin menjawab sendiri apa yang baru saja Gibran tanyakan ke Elsa. "Ngapain sih Lo, ganggu mulu," ucap Indra tak suka. "Eits, di manakah letak mengganggunya? Gue kan cuma menyapa, tadi, sekaligus berbincang-bincang sekarang. Emang apa salahnya?" tanya Gibran. "Nanti kalau lewat tanpa menyapa dibilang sombong. Ujung-ujungnya salah lagi. Heh, dasar laki-laki," lanjut Gibran. "Cih, ganggu mulu Lo," kata Indra masih tak terima. "Sa, aku pulang dulu aja, ya. Soal yang tadi, aku tunggu kabar baiknya," ucap Indra lagi. Kali ini ia berbicara ke Elsa. "Iya," jawab Elsa sambil mengangguk. "Jadi kamu masih diajak buat nemenin dia pergi ke toko buku? Kan tadi aku udah bilang, Sa, jangan! Bahaya banget kalau pergi sama dia," ucap Gibran. "Udah, Sa! Nggak usah didengerin. Aku pulang dulu, ya," pamit Indra. Elsa cuma mengangguk. Tak ada yang mencegah Indra untuk pergi. Elsa cuma mengangguk, sedangkan Gibran malah menertawai Indra. Ia nampak sangat puas dengan apa yang sudah terjadi. Untuk yang kedua kalinya di hari yang sama ia berhasil mengacaukan pertemuan antara Indra dengan Elsa. Dan kini, di tempat itu cuma tinggal ada Gibran dan Elsa. Dua manusia yang bisa dibilang mempunyai hubungan tak terlalu dekat. Hanya saling kenal dan tahu nama masing-masing saja. "Sa, Indra ngajak ke mana, tadi?" tanya Gibran dengan tawanya yang masih tersisa. "Emm ... enggak kok, nggak ke mana-mana," jawab Elsa. Gibran tentunya tahu kalau gadis itu sedang berbohong. Tapi, itu tidak menjadi masalah yang serius. Lagipula pertanyaannya yang demikian itu hanyalah pertanyaan basa-basi yang sejatinya ia sudah tahu jawabannya. "Hmm ... kirain ngajak kamu ke toko buku," kata Gibran. "Emang, ada apa kalau dia ngajak aku ke sana?" tanyanya. "Hahaha. Kan tadi aku udah bilang. Masa aku harus mengulanginya lagi? Nggak mungkin, kan?" kata Gibran. "Hmm. Iyalah, gak usah diulang," kata Elsa. "Ya udah, aku pulang, ya. Kamu gak diantar pulang sama Indra?" tanya Gibran. "Emang kenapa harus dianter dia? Lagian kan nanti aku dijemput ayah," kata Elsa. "Oh gitu, ya? Gak apa-apa sih. Ya udah, aku duluan, ya," pamit Gibran. "Iya," kata Elsa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD