Bab 4

1738 Words
Dalam hati Gibran mengakui bahwa Elsa adalah gadis yang sangat cuek. Apalagi ekspresi wajahnya itu, yang menurutnya sulit sekali untuk membentuk sebuah senyuman manis. Bahkan di saat gadis itu berhadapan dengan lelaki sepertinya, yang bisa dibilang adalah lelaki tampan idaman para kaum hawa. Dan entah kenapa dirinya juga semakin percaya diri bahwa dia lah yang nantinya akan menjadi pemenangnya. Pikirnya, Indra tak akan pernah bisa mendapatkan cinta dari gadis cuek seperti Elsa, dan Iqbal juga tak akan pernah bisa menjadikan Nessa sebagai pacarnya. Itulah yang ia yakini. Tinggal dia bisa mendapatkan hati Riani atau tidak saja nantinya. Dan jika bisa, maka dialah pemenangnya. Di hari siang menjelang sore itu keadaan langit sangatlah cerah. Ada setitik dua titik awan putih, namun tak dapat menjadi penghalang yang nyata bagi sinar mentari untuk menerangi bumi. Gibran mengendarai motornya, melaju ke arah jalan pulang. Ia sendirian. Dua sahabat laknatnya telah pulang terlebih dahulu meninggalkan dia. Padahal bisa dibilang arah rumah dia dan mereka itu sama. Dalam perjalanan ada satu hal yang memenuhi pikirannya. Itu adalah tentang bagaimana cara dia untuk mendapatkan cinta dari seorang Riani. Ini memang pengalaman pertamanya dalam hal percintaan. Kalau saja bukan karena ejekan teman-temannya, ia tak sudi untuk memulai dunia percintaannya di usia yang bahkan masih menginjak kelas 3 SMP. Pikirnya, dia barulah seorang manusia yang baru saja memasuki masa transisi dari anak-anak menuju remaja. Aneh saja jika tiba-tiba dia langsung membentuk suatu ikatan yang disebut dengan pacaran. Tapi, apapun itu sekarang dia sudah terlanjur masuk ke dalamnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, bisa tidak bisa, ia harus terus menjalankannya. Setidaknya hanya sampai tantangan yang ia buat itu ada pemenangnya. "Hadeh, sialan! Mereka enak udah tahu rumah cewek yang mereka suka. Lha gue? Cih, kayaknya gue harus cari info di mana rumah si Riani ini," kata Gibran masih dalam posisi berkendara. Tak butuh waktu lama bagi Gibran untuk sampai ke rumahnya yang megah. Karena memang, jarak antara rumah dan sekolahnya tidaklah terlalu jauh. Maka dari itu dia diizinkan bawa motor sendiri oleh orang tuanya. Seperti anak sekolah pada umumnya, yang ketika sampai rumah setelah pulang sekolah, hal pertama yang ia cari adalah makanan. Ya, ia langsung menuju ruang makan. Di sana cuma ada pembantunya, karena memang ayah dan ibunya sedang bekerja. Ayahnya yang bekerja kantoran mengharuskannya untuk jarang berada di rumah, sedangkan ibunya yang bekerja sebagai guru juga seringkali pulang sore hari. Jadi, cuma ada Gibran dan pembantunya saja di rumah mewah itu saat ini. Mungkin itu juga risiko anak tunggal. "Eh, udah pulang Nak Gibran?" tanyanya. Tak aneh jika asisten rumah tangga Gibran memanggilnya seperti itu, karena memang dari Gibran kecil sampai sebesar ini, dia sudah bekerja di rumah Gibran. Bahkan dia juga yang sudah mengasuh Gibran sewaktu masih balita. Wajar saja jika Gibran diperlakukan seperti anak sendiri. Begitu juga sebaliknya. Meski Gibran adalah lelaki yang tengil dan tergolong tidak punya rasa malu dan sopan, tapi ke pembantunya itu dia benar-benar sangat sopan. Dia juga sangat menghormatinya layaknya ibunya sendiri. "Hehehe .... Iya, Bi," jawabnya. "Masak apa, Bi?" tanyanya kemudian. "Itu ada ayam, telur, dan lain-lain, lah," kata asisten rumah tangganya itu. Gibran mengangguk paham. "Bibi ambilin, ya," ucapnya kemudian. "Eh, enggak usah, Bi. Biar Gibran aja yang ngambil sendiri. Masa udah gede masih manja, sih. Hahaha. Mau makan aja harus diambilin," kata Gibran. Asisten rumah tangganya itu juga tertawa pelan. Itulah jati diri seorang Al Gibran Ramadhana yang sesungguhnya. Manja adalah sebuah hal yang sangat tidak ia sukai. Bahkan mungkin dari dulu. Hanya saja, untuk menolak dimanja oleh orang yang sangat menyayangi dan juga sangat ia sayangi itulah yang sulit untuk ia lakukan. Alhasil ia hanya mengikuti alurnya saja. Akan tetapi untuk kali ini ia mulai bisa mengubahnya. Selesai makan pun dia bahkan mencuci piringnya sendiri. Padahal sudah dilarang oleh asisten rumah tangganya tapi dia bersikeras untuk melakukannya sendiri. Memang, di balik sikap tidak jelasnya, ternyata tersimpan sikap yang sangat mengagumkan. Ia seolah-olah telah memuliakan sang asisten rumah tangganya. Meski di mata orang lain itu cuma pembantu, tapi di mata Gibran tidak. Oh ya, asisten rumah tangga Gibran itu bernama Bi Irah. Dia adalah wanita yang kira-kira sudah berumur 50 tahun lebih. Wajahnya yang keriput menandakan bahwa dirinya memang sudah memasuki usia senja. Tapi, semangatnya untuk bekerja benar-benar luar biasa. Tak heran juga, dia memang tidak mempunyai anak. Maka dari itu, tidak ada yang bisa menjamin kehidupan di hari tuanya. Perut sudah kenyang, terpenuhi dengan butiran nasi dan lauk pauknya. Lidah pun telah merasakan sesuatu yang dinamakan lezat. Kini saatnya Gibran menuju tempat paling nyaman di muka bumi ini. Apalagi kalau bukan tempat tidurnya. "Huff ... Riani. Gue harus nanya ke siapa tentang rumah dia?" tanyanya pada diri sendiri. "Iqbal sama Indra tahu gak, ya? Apa gue nanya ke mereka saja?" pikirnya. "Eh, tapi gak mungkin juga. Mereka gak akan mendukung, pastinya. Bisa-bisa gue malah disasarin, entar," lanjutnya. Setelahnya ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Baru kali inilah ia merasakan rumitnya membangun cinta dengan seorang wanita. Padahal ini baru awal, dan rasanya sungguh sangat berat. Kring! Kring! Ponsel milik Gibran berbunyi. Ia dengan cepat langsung mengambil ponselnya dan segera mengangkat panggilan telepon yang ternyata adalah datang dari sahabatnya, Iqbal. "Apaan?" tanya Gibran tak santai. "Main PS yuk!" ajak Iqbal. "Lah. Baru juga pulang sekolah, langsung ngajak main PS," kata Gibran. "Udah, nggak usah banyak omong Lo! Ini si Indra sudah ada di rumah gue. Lo juga cepat ke sini!" pinta Iqbal. "Emang mau main PS ke mana?" tanya Gibran. "Ya ke tempat rental PS lah," jawab Iqbal. "Kalau itu gue juga udah tahu. Maksud gue, ke tempat yang mana? Kalau ke tempat biasanya gue gak mau," ucap Gibran. "Hahaha Lo takut, ya, saat itu udah ngerusakin stiknya. Pasti takut disuruh ganti rugi," kata Iqbal. "Syut! Diam Lo! Itu rahasia pribadi, jangan dipublikasikan!" ucap Gibran. "Hahaha. Ya sudah deh, enggak. Jadi Lo mau ikut nggak, nih?" tanya Iqbal sekali lagi. "Ya ikut itu lho ikut ke mana?" tanya Gibran balik. "Main PS, woi! Banyak nanya Lo," jawab Iqbal tak santai. "Sumpah deh, kesel gue. Udah, gue gak mau nanya lagi. Gue harap Lo peka dan menjawabnya sendiri," ucap Gibran. "Hmm ... Oke, oke. Ada tempat rental PS baru. Eh, nggak baru sih, sebenarnya. Cuma kita aja yang gak pernah ke sana. Kayaknya tempatnya juga strategis dan nyaman. Ditambah lagi dengan adanya rumor kalau anak si pemilik PS itu sangat cantik. Masih kelas 2 SMP katanya," ucap Iqbal panjang lebar. "Ha? Di daerah mana tuh?" tanya Gibran. "Ke sini aja, ke rumah gue. Nanti gue kasih tahu di sini aja," kata Iqbal. "Oke, siap, segera meluncur ke sana," ucap Gibran. Begitulah persahabatan mereka. Baru saja di sekolahan tadi mereka saling berantem satu sama lain, tapi sekarang sudah akrab seperti sedia kala lagi. Seolah-olah tak pernah ada masalah di dalam ikatan itu. Dan kalau sudah berhubungan dengan main PS, malas pun bisa langsung berubah menjadi semangat bagi Gibran. Ia yang tadinya ingin merebahkan diri di kasur empuknya pun terpaksa harus mengurungkan niat akibat ada panggilan untuk melaksanakan tugas negaranya. Dengan mengendarai motornya ia pun menuju ke rumah Iqbal yang letaknya juga tak terlalu jauh dari rumahnya. Bahkan dalam waktu kurang dari 5 menit saja dia sudah bisa mencapai tempat tujuan. Bangunan yang tak begitu mewah, tak begitu besar namun juga tak begitu jelek dan kecil itu telah nampak di depan mata. Itu adalah rumah yang dihuni oleh Iqbal sekeluarga. Gibran tak perlu masuk ke rumah itu untuk mencari orang-orang yang sedang ia cari, karena kini mereka berdua sedang berada di kursi teras depan rumah. Duduk sambil minum kopi. "Wih, ada kopi, nih. Bal, gue gak dibuatin?" tanya Gibran dengan tidak sopannya. "Sialan! Datang-datang langsung ngerampok," kata Iqbal. "Udah, cepat buatin! Tamu itu harus dimuliakan. Tamu adalah raja," kata Gibran. "Hm. Nggak usah dibuatin, Bal!" ucap Indra ikut-ikutan. "Lah, siapa Lo berani-beraninya memerintah?" kata Gibran. "Gue tamu, dan gue tentunya juga raja. Sekarang kalau Lo raja, gue juga. Kita kan sama-sama tamu. Jadi raja memerintahkan si tuan rumah untuk duduk di sini saja, tidak usah ke mana-mana," kata Indra. "Dan raja yang sebenarnya sedang memerintahkan si tuan rumah untuk membuat kopi. Lo yang raja palsu bisa apa?" balas Gibran. "Woi, gini aja terus sampai subuh," ucap Iqbal di sela-sela perkelahian mereka. "Oke," ucap mereka berdua bersamaan. "E buset, malah oke," kata Iqbal. Sungguh, sifat kekanak-kanakan masih menempel jelas di dalam diri mereka bertiga. Belum ada yang sepenuhnya bisa berpemikiran dewasa. Ya meski terkadang dalam suatu momen mereka bisa, tapi kebanyakannya adalah masih menampilkan sifat kekanak-kanakan itu. "Sudah! Bran, duduklah! Gak usah kopi-kopian. Gue minta Lo ke sini bukan mau ngajak ngopi, tapi ngajak main PS," kata Iqbal. "Huff ... Ya sudahlah. Apa boleh buat," ucap Gibran yang kemudian mengambil duduk di kursi yang tersedia. "Oke, ayo kita berangkat!" ajak Indra. Lelaki itu berdiri dari tempat duduknya dan mengajak untuk langsung berangkat ke tempat tujuan tepat ketika Gibran baru saja duduk. Gibran yang mendapat perlakuan demikian pun tentunya kesal. Ia menggertakkan gigi atas dan bawahnya. Ingin sekali kepal tangannya yang sudah gatal itu meluncur ke wajah si Indra, tapi sayangnya Indra masih terselamatkan oleh sebuah pertahanan yang sangat kuat, yaitu pertemanan. Ya, Gibran tentunya tak bisa memukul temannya sendiri. Ah, tidak, bahkan sahabatnya. "Perasaan Lo ngajak baku hantam gue mulu, deh," ucap Gibran dengan tatapan tidak sukanya. "Lah." "Gak usah lah leh. Duduk! Gue baru duduk malah ngajak berangkat," ucap Gibran. Indra tertawa pelan, tapi kemudian menuruti permintaan Gibran. "Hahaha. Bosen gue lihat Lo berdua berantem," kata Iqbal. "Udah, udah, gak usah dibahas. Katanya Lo mau memberitahukan tentang rental PS itu," kata Gibran. "Ah, iya, lupa. Jadi sebenarnya tempat rental PS itu kalian juga udah tahu. Letaknya di jalanan yang selalu kita lewati setiap kali berangkat dan pulang sekolah," kata Iqbal. "Di jalanan! Kok gak ditabrak mobil?" tanya Gibran dengan polosnya. Iqbal memutar-mutar bola matanya malas. "Udahlah, males," kata Iqbal. "Nah, kan, kesel?" ucap Indra. "Hahaha. Oke, gue ngerti. Maksud Lo rental PS yang deket bengkel itu, ya?" tanya Gibran serius. "Nah, itu," jawab Iqbal. "Gue juga pernah oi, main PS di situ. Tapi cuma sekali. Habisnya stiknya gak ada yang bener," kata Gibran. "Lah, sialan! Sama siapa Lo main PS di sana? Nggak ngajak-ngajak," protes Iqbal. "Sama si Ali. Dia nantangin gue main PS di sana. Stiknya gak ada yang bener. Rusak semua. Tapi udah lama sih itu. Gue juga lupa. Mana tahu sekarang udah diganti dengan yang lebih bagus," kata Gibran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD