Bayangan di pelabuhan

1387 Words
Hujan menindas malam, jatuh deras di atas atap seng berkarat gudang tua di pinggiran kota. Air merembes lewat celah-celah bocor, menetes ke lantai beton yang dingin dan berlumut. Bau karat, asap rokok, dan kelembapan bercampur jadi satu, menekan d**a siapa pun yang berdiri di sana. Sebuah truk tua melambat di jalan becek, ban besarnya menyibak kubangan. Lampu depan menyapu dinding gudang yang catnya sudah mengelupas. Suara rem berdecit, lalu senyap. Di dalam, belasan pria sudah menunggu. Mereka duduk melingkar, sebagian merokok, sebagian meneguk minuman keras murahan dari botol-botol tanpa label. Asap rokok melayang pekat, menutup lampu neon yang bergetar di langit-langit. Tawa kasar sesekali pecah, tapi cepat padam—ketegangan terlalu nyata untuk bisa ditutupi. “Cepatlah…” gumam seorang pria berjaket kulit, suaranya serak. Matanya merah, entah karena mabuk atau takut. “Tenang. Santai dulu, bro,” sahut yang lain sambil mengetuk-ngetuk meja kayu dengan jari gemetar. “Kau mau jantungmu meledak sebelum mereka datang?” “Diamlah kau.” Seorang pria gemuk di pojok menyemburkan asap rokok ke udara. “Aku benci menunggu. Apalagi kalau harus di tempat busuk begini.” Ia menggebrak meja, botol berguncang, sebagian isinya tumpah. “Oi, bajuku becek, t***l!” teriak orang di sampingnya. Ia berdiri, menepis noda di bajunya, wajahnya memerah. “Kau sengaja, hah?” “Apa kau mau ribut sekarang?” pria gemuk itu bangkit, kursinya terhantam jatuh. Suasana langsung tegang. Beberapa pria lain refleks meraih pisau lipat dan besi panjang. Tiba-tiba— kreek! Pintu besi gudang berderit. Semua kepala menoleh serentak. Hening. Hanya suara hujan yang mengetuk atap. Langkah-langkah berat masuk. Seseorang menurunkan tudung hitam dari kepalanya. Wajahnya tak terlihat jelas, hanya sorot mata yang dingin, menusuk ke setiap sudut ruangan. Pria berjaket kulit yang tadi resah menelan ludah. “A-akhirnya datang juga…” suaranya hampir berbisik. Tak ada balasan. Sosok itu hanya berdiri, diam, seperti memeriksa satu per satu wajah mereka. Ketegangan menebal. Seakan udara di gudang berhenti bergerak. “Siapa kau?” suara seorang pria pecah, terlalu keras, terdengar lebih seperti cara menutupi rasa takut daripada benar-benar menantang. Sosok itu tidak menjawab. Hanya melangkah pelan. Suara sepatunya menggema di lantai beton yang basah, tap… tap… tap… seakan menekan jantung setiap orang di ruangan itu. “Oi! Aku tanya siapa kau!” pria itu semakin keras, tangan kanannya meraih gagang pistol di pinggangnya. “Kau pikir bisa seenaknya masuk ke sini, hah?” Dentum tembakan memutus kata-katanya. DOR! Pria itu terlempar ke belakang. Kursi yang didudukinya hancur berantakan, darah menyembur membasahi lantai. Suara tawa dan percakapan yang tadi riuh langsung mati, berganti dengan hening yang menyesakkan. “Anjing!” seseorang berteriak panik, kursinya terguling saat ia bangkit. Tangannya gemetar, mencoba mengangkat senjata. Tapi sosok misterius itu sudah bergerak. Cepat, presisi. DOR! lagi. Senjata pria itu terpental sebelum sempat ditembakkan, tubuhnya terjatuh di lantai, mengerang kesakitan. Seorang pria lain memaki, “Gila, orang ini ” tangannya gemetar saat hendak menarik belati dari pinggang. Tapi ia tak berani melanjutkan. Beberapa mundur ke belakang, menabrak meja. Botol-botol jatuh pecah, cairannya meluber bercampur dengan darah. Asap rokok masih menebal, bercampur bau mesiu yang menusuk. “Diam… diam semua,” bisik seorang pria tua, suaranya parau. Keringat mengalir dari pelipisnya. “Kalian mau mati konyol?” Namun kepanikan lebih cepat menyebar. “Lawan saja dia! Ramai-ramai!” seseorang berteriak dari sudut. Tapi tak seorang pun bergerak. Sosok itu berhenti di tengah ruangan. Tatapannya dingin, datar, seperti sedang menimbang siapa yang akan jatuh berikutnya. Tangan kirinya menutup koper hitam di atas meja, jemarinya tenang, tanpa terburu-buru. Tidak ada yang berani mendekat. Pria gemuk yang tadi ribut justru terduduk kembali, wajahnya pucat pasi. Ia menatap pria di sebelahnya, suaranya bergetar, “Ini… ini bukan orang biasa.” Hening panjang kembali menelan ruangan. Sosok itu mengangkat koper, berat, tapi tangannya tidak bergetar sedikit pun. Ia melirik sekeliling sekali lagi, lalu menurunkan pistolnya perlahan. Namun tatapannya dingin, penuh ancaman sudah cukup untuk membuat semua pria di ruangan itu menunduk, tak berani menatap balik. “Jangan… jangan tembak lagi,” suara pria muda di ujung meja terdengar parau. Ia menelan ludah, tangannya terangkat setengah, seperti menyerah. “Kita… kita bisa bicara, kan? Kau… kau butuh apa?” Sosok itu menoleh perlahan. Tatapannya tajam, dingin, seperti pisau yang menusuk langsung ke d**a. Tak ada jawaban. “Oi, jawab lah, b******k!” teriak seseorang dengan nada putus asa. “Kalau kau cuma datang buat bunuh kami satu-satu, kenapa nggak langsung saja, hah?!” Pria tua yang tadi menenangkan segera menepuk meja. “Diam! Kau mau mampus lebih cepat?!” “Dia sudah bunuh dua orang!” pria itu balas berteriak, suaranya pecah. “Kalau kita diam saja, giliran kita berikutnya! Aku nggak mau mati kayak anjing di tempat ini!” Tegang. Suara hujan makin deras di luar, memukul atap seng, membuat setiap detik hening terasa menekan telinga. Sosok itu meletakkan koper di meja. Bunyi logam berat bergema, membuat semua orang tersentak. Perlahan, ia menekan kait di samping koper. Klik. Semua mata membelalak. “Jangan-jangan… bom?” bisik pria gemuk dengan wajah pucat, tangannya refleks menutup kepala. Koper itu terbuka. Bukan bom. Tapi sesuatu yang tak kalah menegangkan: tumpukan dokumen, map cokelat tebal, dan sekilas kilatan logam yang tersembunyi di bawahnya. “D-dokumen? Apa-apaan ini?” gumam seseorang. Tak ada yang berani mendekat. Sosok itu menutup koper kembali, lalu menyandarkannya di sisi meja. Ia menyandarkan pistolnya pelan, suara logamnya berat, menambah beban di d**a semua orang. “Dia… dia nggak bicara sejak masuk,” bisik pria muda itu lagi, suaranya gemetar. “Kau dengar, kan? Dari tadi diam. Kayak—kayak hantu.” Pria tua di tengah ruangan menghela napas panjang, matanya tak lepas dari sosok itu. “Bukan hantu. Dia datang dengan tujuan.” “Tujuan apa?!” suara seseorang pecah, nyaris histeris. “Kalau memang butuh sesuatu, kenapa nggak bilang saja?! Jangan main tebak-tebakan, b*****t!” Sosok itu tiba-tiba bergerak. Kursi didorong ke belakang, kaki-kaki meja berderit. Ia berdiri lebih dekat, bayangannya menutupi cahaya neon yang sudah redup. Semua orang refleks mundur setapak. Napas mereka terdengar, berat, cepat, tak beraturan. Lalu, suara rendah terdengar untuk pertama kalinya. Berat, dingin, seolah keluar dari kegelapan itu sendiri. “Diam.” Satu kata. Itu saja. Tapi cukup untuk membuat ruangan seolah runtuh dalam keheningan. Kata itu—Diam—bergema lama, seakan memenuhi seluruh ruangan. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara lagi. Bahkan pria gemuk yang tadi paling ribut kini hanya bisa menunduk, kedua tangannya gemetar di bawah meja. Lampu neon di langit-langit bergetar, mendesis pelan, seperti hendak mati. Asap rokok yang terperangkap di udara membuat semuanya terasa semakin sesak. Sosok itu melangkah lagi. Pelan, pasti. Setiap langkahnya membuat lantai beton bergetar tipis. Ia berhenti di depan mayat pria yang pertama ditembak. Darah sudah menggenang di bawah tubuh yang membeku dengan mata terbuka. Ia menunduk sebentar, lalu menegakkan tubuhnya kembali. Tatapannya berpindah, mengunci pada satu wajah di antara kerumunan. Pria muda yang sejak tadi gelisah langsung panik. “J-jangan… jangan aku, tolong… aku cuma ikut dipanggil, aku nggak tahu apa-apa!” Ia mundur terbata, menabrak kursi, terjatuh, lalu merangkak mundur sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Sosok itu tidak bicara. Hanya menatap, lama. Tatapan itu lebih mematikan daripada peluru. “Kenapa kau lihat dia begitu…?” gumam pria tua dengan suara bergetar. “Apa yang kau mau darinya?” Tak ada jawaban. Hanya desis napas yang pelan, teratur. Pria muda itu menangis, suaranya pecah. “Aku… aku janji nggak akan buka mulut! Aku… aku nggak akan bilang ke siapa-siapa, sumpah demi Tuhan!” Lalu tiba-tiba—brak! Pintu gudang terhempas tertiup angin. Hujan deras dan kilatan petir masuk, membuat suasana makin kacau. Semua orang menoleh refleks, tapi sosok itu tetap diam, tak bergeming sedikit pun. Petir menyambar lagi, cahayanya sesaat memperlihatkan wajahnya lebih jelas. Bukan sepenuhnya, hanya potongan garis rahang tegas, mata yang tajam tanpa ampun, dan kilatan dingin yang membuat darah siapa pun membeku. Beberapa orang menutup mulut, tak berani bernapas keras. Pria tua akhirnya bicara, suaranya pelan, nyaris hanya bisikan. “Kau… bukan orang biasa. Kau… siapa sebenarnya?” Sosok itu menunduk sebentar, seolah menimbang. Hening panjang menggantung, waktu serasa berhenti. Lalu, ia mengangkat pistolnya sekali lagi, menodong ke udara, dan DOR! Peluru menembus lampu neon. Gelap total menelan ruangan. Hanya tersisa suara hujan, petir, dan detak jantung orang-orang yang masih hidup—berdegup liar, kacau, tak terkendali. Dan di kegelapan itu… terdengar langkah menjauh. Tap… tap… tap… Lalu hening.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD