Berita pembantaian

1480 Words
Matahari pagi muncul samar di balik kabut kota. Gedung-gedung pencakar langit berdiri kaku, memantulkan sinar yang pucat. Jalanan di bawahnya riuh oleh kendaraan, klakson bersahutan, namun ada rasa muram yang tak bisa dihapus dari udara. Koran pagi bertebaran di kios-kios. Headline besar menghiasi halaman depan: “Pembantaian di Gudang Pelabuhan: Misteri Sosok Hitam.” Foto kabur terpampang di bawahnya—siluet seseorang, sebagian wajah tertutup bayangan, terekam samar dari kamera ponsel salah satu saksi yang berhasil kabur. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, dua pria paruh baya sedang membolak-balik koran yang sama. Kopi mereka sudah dingin, rokok hampir habis, tapi tatapan mereka terpaku pada gambar itu. “Katanya, dua belas orang ada di sana malam itu,” bisik salah satunya, berwajah tirus dengan mata cekung. “Tapi cuma delapan yang masih bernapas waktu polisi datang. Dan itu pun separuhnya sekarat.” “Ya Tuhan…” yang lain menutup mulut, menunduk. “Lalu siapa yang melakukannya? Polisi bilang mereka nggak tahu. Nggak ada sidik jari, nggak ada jejak.” Pria tirus itu mendecak, mengembuskan asap. “Kau percaya polisi? Mereka cuma boneka. Orang yang melakukan ini… jelas bukan sembarang orang. Lihat caranya. Cepat. Bersih. Seperti… operasi militer.” Suasana kafe riuh oleh suara orang-orang lain yang membicarakan hal serupa. Beberapa dengan nada takut, beberapa dengan nada kagum, seperti mendengar cerita legenda baru lahir di tengah kota. Tak jauh dari sana, di lantai atas sebuah gedung kaca, seorang pria berdiri di depan jendela luas, menatap kota dari ketinggian. Setelan hitam membalut tubuhnya dengan rapi, dasinya terikat sempurna. Sorot matanya tenang, tapi dalam ketenangan itu ada sesuatu yang tak bisa dibaca. Telepon di mejanya berdering. Ia mengangkat dengan santai. “Ya?” Suara dari seberang terdengar berat. “Kau sudah lihat berita pagi ini?” Pria itu menoleh sebentar ke meja, di mana koran dengan headline besar sudah terlipat rapi. Bibirnya melengkung samar, bukan senyum, tapi sesuatu yang nyaris tak terlihat. “Aku sudah lihat,” jawabnya pendek. “Kau tahu artinya, kan?” suara di telepon menekan. “Ini bukan sekadar pembantaian. Ini pesan. Seseorang… sedang bergerak.” Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap kembali ke jendela, ke arah gedung-gedung yang diselimuti kabut. Di sana, di balik kaca yang memantulkan sinar pucat pagi, matanya berkilat dingin. Telepon ditutup dengan klik singkat. Ruangan kembali sunyi. Hanya suara pendingin ruangan berdengung pelan di sudut. Pria itu berdiri lama di depan jendela, seolah sedang membaca setiap gerakan kota di bawahnya. Dari lantai tertinggi gedung Dirgantara Corp., dunia terlihat kecil—orang-orang hanyalah titik-titik yang bergerak tanpa arti. Namun, ia tahu betul, setiap titik punya perannya masing-masing. Dan di balik keramaian itu, ada arus gelap yang selalu mengalir. “Pak…” suara pelan terdengar dari arah pintu. Seorang sekretaris muda melangkah masuk dengan wajah tegang. “Dewan sudah berkumpul. Mereka menunggu di ruang rapat.” Pria itu menoleh perlahan. “Biar mereka menunggu.” Sekretaris itu menunduk, ragu. “Tapi mereka sudah menunggu hampir setengah jam…” Tatapan pria itu menusuk. Sekretaris langsung terdiam, menelan ludah, lalu mundur sambil menutup pintu pelan. Kesunyian kembali menelan ruangan. Pria itu berjalan ke meja kerjanya. Tangannya membuka sebuah laci. Di dalamnya, tersimpan map hitam dengan cap khusus. Ia mengeluarkannya, membuka halaman pertama. Foto-foto wajah terpampang di sana—wajah para mafia yang namanya bergema di lorong gelap kota. Beberapa wajah dicoret tinta merah tebal. Beberapa masih utuh, menunggu giliran. Jari-jarinya berhenti di satu wajah: seorang pria tua berperut buncit dengan senyum licik. Ia menatapnya lama, lalu bibirnya bergerak pelan, nyaris berbisik. “Belum saatnya.” Map ditutup kembali. Laci dikunci. Ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini lebih tegas. “Pak, rapat tidak bisa ditunda lagi,” suara sekretaris terdengar, berusaha tegar. Pria itu menghela napas tipis, menoleh sekali lagi ke jendela. Gedung-gedung tinggi, lalu lintas padat, dan hiruk pikuk kota—semua tampak seperti permainan catur raksasa. Ia meraih jasnya, merapikan dasi, lalu melangkah keluar. Koridor panjang dengan karpet merah menuntunnya menuju ruang rapat. Para eksekutif sudah menunggu, wajah-wajah serius, sebagian gelisah. Mereka menoleh serentak ketika pintu terbuka. “Pak Fandi…” salah satu dari mereka berdiri, setengah membungkuk. Langkah pria itu berhenti sebentar. Sebuah nama akhirnya disebut. Fandi Dirgantara. Senyum tipis, dingin, tersungging di wajahnya. Namun sorot matanya tajam, penuh rahasia masih menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekadar seorang pewaris perusahaan besar. Ruang rapat dipenuhi wangi kopi dan parfum mahal, tapi di balik aroma itu ada hawa tegang yang sulit disembunyikan. Lampu gantung kristal menerangi meja panjang dari kayu mahoni. Dua belas kursi terisi penuh, para eksekutif duduk kaku, sebagian memegang berkas, sebagian sibuk mengetuk-ngetuk pena dengan gugup. Ketika Fandi Dirgantara masuk, percakapan yang tadinya berisik langsung padam. Semua menoleh, beberapa buru-buru berdiri, seakan takut jika terlambat memberi salam. “Silakan duduk,” kata Fandi singkat, suaranya datar namun penuh wibawa. Ia berjalan ke ujung meja, kursi utamanya menunggu. Sekretaris buru-buru menarikkannya, dan Fandi duduk dengan tenang. Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan, tatapannya membuat beberapa orang langsung menunduk. Seorang pria berkacamata tebal membuka rapat. “Pak Fandi, kita harus membicarakan insiden tadi malam di pelabuhan. Media sudah heboh. Saham beberapa anak perusahaan kita sempat goyah pagi ini.” Fandi menautkan jemarinya, menyandarkan punggung. “Lanjutkan.” Pria berkacamata itu ragu sejenak. “Ada rumor… bahwa nama Dirgantara ikut disebut. Katanya gudang yang dipakai mafia itu… dulunya aset kecil milik cabang kita. Jika rumor ini berkembang, citra perusahaan—” “—Citra bisa dipoles.” Fandi memotong dingin, suaranya tenang tapi tajam. “Yang lebih penting adalah siapa yang berani memakai nama kita sebagai tameng.” Beberapa eksekutif saling pandang, gelisah. Seorang wanita paruh baya akhirnya bicara, suaranya pelan. “Pak, dengan segala hormat… kalau ada pihak yang berani melakukan ini, itu berarti mereka tidak takut pada kita. Bukankah lebih baik menyerahkan urusan ini ke pihak berwenang?” Ruang rapat langsung sunyi. Semua tahu kata-kata itu berbahaya. Fandi menoleh, menatap wanita itu lama. Ia tidak marah, tidak membentak—justru senyumnya muncul samar, tipis, membuat bulu kuduk berdiri. “Pihak berwenang?” ia mengulang pelan. “Polisi? Hakim? Kau pikir mereka lebih berwenang daripada kita?” Wanita itu terdiam, wajahnya memucat. Fandi menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu mengetuk meja dengan jari. “Dunia ini tidak berjalan dengan aturan yang tertulis di buku hukum. Dunia ini berjalan dengan kekuatan. Siapa yang berani melawan, harus disingkirkan. Siapa yang berani menodai nama Dirgantara… akan dilenyapkan.” Kata-katanya menggema, dingin, menusuk sampai ke sumsum. Seorang eksekutif muda berbisik pada rekannya, suaranya nyaris tak terdengar, “Dia… bukan cuma pewaris. Dia… lebih dari itu.” Fandi menoleh sekilas, seolah mendengar bisikan itu meski jaraknya jauh. Tatapan matanya membuat eksekutif muda itu langsung terdiam, keringat dingin menetes di pelipisnya. Rapat kembali sunyi. Tak seorang pun berani bicara lebih jauh. Hening panjang akhirnya pecah ketika seorang pria berperut buncit mendorong berkas di depannya dengan kasar. “Kalau begini terus, kita semua bisa kena masalah besar,” katanya, napasnya berat. “Aku nggak peduli siapa yang bunuh siapa di pelabuhan… tapi media sudah mulai menggali. Nama kita bisa tercoreng, Fandi.” Seorang eksekutif lain langsung menyambar, nada suaranya tinggi. “Sialan, kau pikir Fandi nggak tahu itu? Jangan bicara seakan-akan kau satu-satunya yang peduli!” “Diamlah, kau cuma bisa menjilat!” pria buncit itu menepak meja, wajahnya merah. Beberapa orang lain mulai bersuara, tumpang tindih, nada panik bercampur emosi. “Kalau saham terus jatuh, aku tarik investasiku!” “Kau gila? Kau kira bisa keluar seenaknya?” “Sudahlah, jangan ribut di depan—” Brak! Kursi Fandi berderit ketika ia berdiri. Seketika ruangan terdiam. Semua tatapan beralih padanya. Fandi berjalan pelan mengitari meja. Tangannya menepuk-nepuk ringan permukaan kayu mahoni, setiap ketukan membuat detak jantung yang lain ikut berdentum. “Kalian ribut… seperti ayam di kandang,” katanya tenang. “Saling patuk, saling tuduh. Padahal kalian semua masih hidup karena nama Dirgantara ada di atas kepala kalian.” Seorang pria muda memberanikan diri bicara, suaranya bergetar. “Pak… kalau memang begitu… apa yang akan Anda lakukan terhadap orang-orang yang berani menodai nama kita?” Fandi berhenti di belakang kursi pria itu. Tangannya menyentuh sandaran kursi, menunduk sedikit. Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat semua merinding. “Apa yang kulakukan?” Ia tersenyum tipis. “Aku akan lakukan apa yang ayahku ajarkan. Tidak ada ampun. Tidak ada negosiasi. Yang berani menyentuh kita… akan kuhabisi sampai ke akar-akarnya.” Pria muda itu membeku, wajahnya pucat pasi. Tak ada yang berani menatap Fandi. “Rapat selesai.” Kata-kata itu singkat, tapi seolah jadi vonis. Fandi melangkah keluar, pintu besar kayu menutup pelan di belakangnya. Di dalam ruangan, sisa eksekutif saling pandang, sebagian menunduk, sebagian masih terengah karena tegang. Suara bisikan pecah pelan. “Dia… berbeda dari ayahnya.” “Bukan sekadar pewaris.” “Lebih berbahaya.” Seseorang menyulut rokok dengan tangan gemetar, menghembuskan asap panjang. “Kalau terus begini… mungkin kita semua cuma pion. Dan dia… raja di papan ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD