Malam telah tenang. Lampu di kamar ketiga gadis itu hanya menyala redup — Rora meringkuk sambil memeluk bantal, Rami tidur tengkurap dengan tangan menggantung di tepi ranjang, sedangkan Epi… bahkan dalam tidur pun wajahnya tetap datar, tenang tapi menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Sementara di lantai atas, Fandi berjalan pelan menuju kamarnya. Langkahnya berat, seperti pikirannya yang belum berhenti bekerja. Begitu pintu tertutup, ia menjatuhkan diri ke ranjang, menatap langit-langit yang temaram. Fandi (lirih): “Kenapa sih… kenapa aku terus mikirin gadis itu?” Ia memejamkan mata, tapi yang muncul justru wajah Epi — ekspresi dingin, suara tenangnya, bahkan cara dia menatap tanpa bicara. Fandi mengerang pelan, menepis pikirannya tapi gagal. Fandi: “Hah… dasar. Padahal aku bahkan n

