Jeep merah meluncur pelan sampai depan gerbang yang tak mencolok. Lampu rem menyala sebentar, lalu padam. Di antara bayang-bayang besi dan beton, Epi dan Rami turun tanpa bicara. Mereka masuk, menanggalkan jaket tebal, mengganti pakaian—serba hitam, hood ditarik, topi dan masker menutupi wajah. Langkahnya ringan, terlatih. Di sebuah ruangan sempit yang hanya dipakai mereka berdua—sofa lapuk, meja kecil, satu lampu redup—Epi merebah, pandangannya terarah ke langit-langit. Rami duduk, memutar pulpen di jarinya. Rami: “Menurutmu apa yang harus kita lakukan?” Epi: (menoleh, menatap langit-langit) “Lebih baik kita habisi saja Alvaro. Kak Fandi terlalu mengulur waktu—kalau kita terus diam, dia akan terus mencari kekuatan itu. Sangat merepotkan.” Rami: “Kau ada rencana?” Epi: “Tentu. Hanya k

