Hujan masih turun di luar, menampar atap seng gudang dengan ritme monoton. Fandi berdiri di balkon sebuah gedung tinggi, menatap jauh ke arah lampu kota yang berkelip-kelip. Ardan muncul dari balik pintu, berdiri setia di belakangnya. “Mereka sudah kau bebani misi pertama,” ucapnya datar. Fandi tidak menjawab langsung. Asap rokok perlahan keluar dari bibirnya, melayang di udara dingin. Matanya tajam, seolah bisa menembus kabut dan menemukan musuh bahkan sebelum musuh itu menyadari keberadaannya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Fandi akhirnya, suaranya pelan. Ardan menautkan tangan di belakang punggung. “Yang satu congkak, terlalu banyak bicara. Yang satu terlalu dingin, sulit percaya. Dan bocah itu… setengah takut mati, setengah ingin membuktikan diri. Campuran yang aneh, tapi…” ia berhen

