PROLOG
Gadis kecil itu berlari di sekitar rumahnya dan tidak menghiraukan teriakan sang bunda yang sedari tadi mengejarnya. “Alinisya! Sudah lari-larinya nanti kamu jatuh, Nak!” teriak sang bunda.
Sementara gadis kecil yang bernama Alinisya Safira itu terus berlarian tanpa menghiraukan bundanya.
Sampai akhirnya...
Bruk!
Gadis kecil itu terjatuh ketika akan meloncat dari kursi yang ia pijaki. Kakinya yang kecil tidak dapat menggapai kursi di sebrangnya.
“Huaaaaa.. Bunda...”
“Ya Tuhan. Sudah Bunda peringati, kan, Ali?” Sang Bunda pun meraih sang anak ke pelukannya dan menenangkannya. “Sayang, sudah, ya.”
Melihat itu, seorang gadis meneteskan air matanya. Melihat kembarannya digendong oleh sang bunda. Gadis kecil itu, Alesya Safira, memang selalu merasa dibedakan oleh Nada—Bundanya. Kembarannya Alinisya Safira, memang lebih terbuka dibanding dirinya. Alinisya selalu mendapat seluruh perhatian dari orang tuanya. Sedangkan ia, hanya gadis kecil tertutup yang tak ingin berucap satu patah kata pun.
Alesya memang lebih tertutup, bahkan sangat. Entahlah, ia merasa nyaman ketika ia berdiam diri di kamar, untuk anak seusianya, seharusnya ia bermain di taman atau bergaul dengan temannya yang lain. Tetapi tidak dengan Alesya, ia merasa lebih nyaman ketika ia mengurung diri di kamar, membuka buku cerita atau menggambar tentang apa yang ia rasakan.
Kenapa Alesya dan Alinisya harus dibedakan? Itu pertanyaan yang sejak dulu bertengger di kepalanya. Usianya yang telah menginjak 10 tahun membuat ia semakin mengerti sikap orang tuanya yang selalu membedakannya dengan Nisya.
Ketika Alesya terjatuh dari tangga yang licin, Nada tidak menolongnya, padahal bundanya melihat bahwa lututnya berdarah sangat banyak, namun Nada hanya mengatakan, “itu salahmu karena tidak hati-hati, Ale.”
Alesya tidak tahu apa kesalahannya. Dan, dibedakan dengan kembarannya sendiri, sudah sangat menyakitkan untuknya.