2. Evan Doyan Balap

1689 Words
Pagi yang dingin dan berkabut tak menyurutkan semangat Evan untuk mengantar kue buatan ibunya ke warung tetangga, sebelum Evan berangkat ke sekolah. “Assalamualaikum ....” suara ketukan pintu di ruang tamu diiringi salam dari Evan. “Wa ’alaikumsalam ... udah selesai, Jang?” suara Widya terdengar dari ruang makan. Terdengar pula suara piring dan sendok yang terdengar beradu memecah kesunyian pagi itu. “Sudah, Ma.” sahut Evan yang berjalan ke arah dapur untuk mencuci tangannya. “Sarapan dulu atuh! Hayuk! Udah Mama siapin sarapannya ... Mama mau ngasih lauk dulu ke Ambu ya! Sebentar!” Widya terlihat membawa rantang susun dua yang berisi lauk untuk dikirim ke Ambu dan Abah. Rumahnya bersebelahan dengan rumah yang Widya tempati saat itu. “Iya, Ma ... kita sarapan bareng! Evan mau nyiapin tas dulu.” Evan bergegas membereskan perlengkapannya dan memasukkannya ke dalam tas ransel berwarna hitam miliknya. Evan pun menyisir rambutnya dan tersenyum di depan cermin. “Hmmm ... anak bujang Mama meni ganteng kieu ... hahay ... nu Kasep tea, Evan gitu lho!” Evan masih bercermin sambil tersenyum memuji diri sendiri. “Kasep! Hayuk sarapan dulu!” Widya menghampiri Evan yang sedang bercermin. “Eh ... Mama ....” Evan meringis dan tertawa geli dalam hatinya. Mereka sarapan bersama di meja makan sederhana yang terbuat dari kayu. Terhidang di atas meja tempe goreng dan sayur kacang panjang. Tak lupa sambal terasi yang menambah nafsu makan. Mereka hidup bahagia dalam kesederhanaan. Evan pun tak pernah lagi mengungkit tentang ayahnya, karena Evan mengerti ibunya akan terluka jika mengingat ayah Evan. “Ma ... Kue buatan Mama laris manis di sekolah, besok ditambah ya, Ma!” Evan senang bisa membantu ibunya. “Kamu kan udah kelas dua SMK, Jang! Apa enggak malu sama teman-teman kamu? Kalau harus bawa dua kantung berisi kue seperti itu?” Widya tersenyum pada putranya. “Ngapa mesti malu? Bantuin Mama gak akan melunturkan ketampanan Evan, Ma.” Evan pun meringis geli karena memuji dirinya sendiri. “Syukurlah kalau gitu!” Widya sangat terharu. “Ya udah, Ma ... Evan berangkat dulu ya!” Evan mencium punggung tangan Widya. “Hati-hati, ya! Jangan ngebut-ngebut! Jangan lupa motor Mang Angga diisi bensinnya!” “Iya, Ma ... Assalamualaikum.” Evan tersenyum semangat. Setiap hari Evan ke sekolah dengan mengendarai motor milik pamannya. Lantaran Widya belum memiliki cukup uang untuk membelikan motor untuk Evan. Sehingga Angga meminjamkan motornya pada Evan. Hasrat ingin menjadi seorang pembalap Muncul dalam hati Evan, sejak dirinya sering berada di lingkungan otomotif. Semua bermula ketika Evan berada di bangku sekolah menengah pertama. Evan yang menyadari bahwa ibunya sudah bersusah payah untuk mencukupi kebutuhannya. Membuat Evan tidak tinggal diam. Sepulang sekolah, Evan membantu mencuci motor di bengkel Mang Ujang. Biasanya motor-motor yang sudah diservis akan dicuci sebelum diambil oleh pemiliknya. Melihat peluang itu, Evan yang masih remaja mengajukan diri untuk ikut kerja paruh waktu di bengkel Mang Ujang. Dari sanalah Evan dapat uang tambahan dan sedikit meringankan beban ibunya. Awalnya Widya melarang Evan untuk bekerja paruh waktu, karena Widya takut kalau akan berpengaruh pada kegiatan belajar Evan. Namun kenyataannya Evan bertanggung jawab dan tetap berprestasi seperti biasanya. Sehingga tidak ada lagi alasan Widya untuk melarang Evan. Widya tetap memantau pergaulan Evan, agar tidak kebablasan. Semenjak Evan berada di lingkungan itu, ia sering berinteraksi dengan banyak anak muda yang menceritakan tentang kejuaraan balap nasional. Sehingga Evan berkhayal dan memiliki impian menjadi pembalap motor profesional. Widya hanya bisa mendukung Evan selama hal itu positif. Lantaran Widya pun merasa Evan adalah segalanya untuk Widya. Evan dibesarkan oleh dirinya yang berstatus single parent, tanpa ayah yang ikut mengiringi perjalanan hidup Evan. Sehingga Widya berusaha selalu mendukung impian Evan selama hal itu baik. Selama di sekolah, Evan memiliki sahabat karib bernama Tatang. Ia anak seorang buruh di perkebunan. Persahabatan mereka sangat tulus. Sejak kecil mereka sudah dekat. Bahkan makan, minum, hingga bertualang bersama. Bagi mereka persahabatan adalah bagaimana menghargai arti ketulusan. Itulah yang Evan dapatkan dari Tatang. Mereka berdua memiliki hobi yang sama, menyukai balap motor. Bedanya Tatang justru lebih tertarik menjadi mekanik tim dibandingkan menjadi pembalap. Sedangkan Evan sangat berhasrat menjadi seorang pembalap profesional. Saat jam istirahat mereka sering membahas impian mereka di masa yang akan datang. Evan duduk di atas lantai di salah satu sudut kelas bersama teman-temannya termasuk Tatang. Mereka sedang membahas tentang kejuaraan moto GP yang sering ditayangkan di televisi. “Kemarin di rumahku mati listrik, Bro! Atuh aing gak bisa nonton moto GP ... parah emang!” ujar Evan pada teman-temannya. “Derita lu emang! Ahahahah... Kemarin rame banget! Beuuuh... Valentino Rossi tancap gas nyalip dua motor sekaligus!” Tatang terlihat sangat bersemangat. “Menang?” Evan sangat penasaran. “Ya kagak masuk podium... sayang banget emang! Om Rossi ada di urutan lima.” Sahut Tatang meredup. “Yah! Aing mah ... terus yang menang siapa, Bro?” Evan kembali menatap Tatang. “Biasa ... Mark Marquest yang menang di sirkuit itu.” Tatang kembali bersemangat. "Tapi Maneh nonton di mana?" Evan mengernyitkan dahinya, karena mati lampu menjalar ke satu RW. "Nonton di kantor perkebunan, Van! ha ha ha ...." Tatang tertawa melihat ekspresi Evan. "Ih teu ngajak-ngajak!" Evan yang kesal terlihat menggemaskan. “Oh, iya, Bro! Hari Minggu nanti mau ada kejuaraan balap di Cimahi lho! Mau pada nonton apa gak?” Salah seorang teman Evan memberi informasi. “Mau sih ... tapi ....” Evan meringis kuda sambil menggaruk kepalanya. “Ngarti banget gua! Pasti lu kagak punya doku alias ga ada duit? Udah gue traktir tiketnya!” Ega salah satu teman Evan akan mentraktir Evan yang memang berasal dari kalangan sederhana. “Alhamdulillah ... serius, Ga? Asiik ieu mah ... Gas keun!” Evan merasa sangat bahagia, karena akan menonton kejuaraan balap motor. "Ega! atuh jangan Evan hungkul yang ditraktir! Tatang hoyong atuh!" Tatang melirik ke arah Ega yang memang anak seorang PNS yang sama-sama doyan balap. "Kalem wae atuh! gas keun!" Ega akan mentraktir tiket untuk Evan dan Tatang dalam perjanjian mereka menonton balapan bersama di Cimahi. *** Setelah jam pelajaran terakhir usai, Evan langsung pulang ke rumahnya. Jarak rumah Evan ke sekolahnya lumayan jauh, karena sekolahnya berada di pinggiran kota. Evan harus melalui jalanan perbukitan yang berkelok-kelok dan sepi. Udara sejuk dan hamparan pemandangan asri dengan kebun teh yang terbentang berbukit-bukit membuat Evan sangat betah tinggal di desanya. Lingkungan tetangga yang ramah dan kekeluargaan membuat Evan semakin bersyukur di kelilingi orang-orang baik. Sepanjang jalan, Evan menikmati setiap tikungan terjal yang dilaluinya. Ia menganggap aktivitasnya itu sebagai sarana latihan demi meraih impiannya. Lantaran Evan tidak memiliki cukup uang untuk mengikuti latihan balap di sirkuit Gelora Olah Raga. Namun Evan pun tetap berhati-hati dan mematuhi setiap peraturan lalu lintas demi keselamatan bersama. Dari kejauhan, Evan melihat ada motor bebek dua tak, yang terparkir di depan rumahnya. Ia berpikir ada tamu yang sedang menemui ibunya. Setelah Evan memasuki rumah, ternyata tidak ada tamu seperti yang ia duga. Evan pun langsung bertanya pada Ibunya. “Assalamualaikum ... Ma ... Evan pulang!” Evan duduk di kursi ruang tamu dan mencopot sepatunya. “Wa’ alaikumsalam....” Widya menghampiri Evan dan Evan mencium tangan ibunya. “Ma ... itu teh motor saha? Aya tamu?” Evan masih bertanya-tanya tentang hal itu. “Teu aya ada tamu ....” Widya tersenyum sembari menatap putranya. “Lah terus saha, Ma? Punya mandor perkebunan?” Evan kembali menoleh pada motor bebek dua tak yang masih bertengger di halaman rumahnya. “Bukan, Van ... udah buru ganti baju, Salat zuhur, makan siang sama Mama!” Widya tersenyum dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan siang Evan. Evan yang penasaran masih melihat sekelilingnya untuk memastikan pemilik motor dua tak yang berada di halaman rumahnya. Ia melihat tidak ada tanda-tanda pemilik motor tersebut. Sebenarnya Evan sangat mendambakan memiliki motor sendiri, tapi dia hanya menyimpan dalam hati saja. Karena Evan mengetahui bagaimana kondisi keuangan ibunya. Ibaratnya bisa makan saja sudah bersyukur. Sehingga Evan tidak banyak berharap jika ibunya membelikannya motor. Evan pun bertekad akan rajin menyisihkan uang jajannya untuk masa depannya. Widya yang sudah menunggu Evan di meja makan, terlihat tersenyum pada putranya yang berjalan menghampirinya. “Ma ... motornya masih ada di depan?” Evan masih penasaran tentang pemilik motor dua tak itu. “Masih ... ayo, makan dulu, Jang!” Widya tersenyum kembali. “Ma ... perasaan Mama senyum-senyum terus? Ada yang aneh sama Evan?” Evan terlihat bingung. “Ni buat anak Mama.” Widya menyodorkan sebuah kunci motor pada Evan. “Kunci motor?” Evan masih melongo. “Iya, lah memangnya kunci inggris?” Widya kembali meledek Evan dan tertawa ringan sambil menatap putranya. “Oh ... ini ... Astaga ... Mama? Jadi itu teh ... motor Evan?” Raut wajah Evan terlihat sangat terkejut sekaligus bahagia, hingga membuatnya tak bisa banyak berkata-kata. “Serius, Ma?” Evan memastikan sekali lagi pada Widya. "Hiiyuuuyyy!!" Sekali lagi Widya hanya mengangguk dan tersenyum melihat ekspresi putranya. Evan yang sama sekali belum menyentuh makanan, langsung menggeser kursi dan berlari ke halaman depan rumahnya. Evan langsung memegang motor yang dibelikan ibunya. Dengan sesama, Evan melihat setiap detail motor itu. “Hanya motor bekas, Van!” Widya menghampiri putranya di halaman depan rumahnya. “Ma ... buat Evan, ini sangat berkesan, bener-bener terharu, Ma!” Evan masih melihat motor itu. “Mama ....” Evan langsung memeluk Widya. “Makasih, Ma ... Evan sayang Mama.” Evan menatap Widya dan kembali memeluknya. “Mama senang kalau lihat Evan bahagia ... tapi hanya itu yang bisa Mama berikan sama Evan.” Widya memeluk erat putranya. 'Evan, Maafkan Mama... mungkin Mama tidak bisa membahagiakan Evan seperti orang tua teman-teman Evan... tapi Mama akan berusaha untuk selalu memberikan kasih sayang sepenuhnya pada Evan... karena Evan sangat berharga buat Mama... pelipur lara untuk Mama... maafkan Mama, karena mungkin selamanya Evan tidak bisa bertemu Papa,' Widya berbicara dalam hatinya, sembari memeluk putranya. “Ma ... kok nangis? Atuh Mama jangan nangis, ah! Mama yang bahagia ya, Ma! Evan janji akan menjadi yang terbaik untuk Mama.” Evan tersenyum pada Widya. “Iya, Kasep.” Widya mengusap kepala Evan. Mereka pun kembali ke meja makan. Selama mereka makan siang, Widya menceritakan bagaimana dirinya membeli motor bekas itu untuk putra tercinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD