Matahari mulai bergeser ke arah barat. Semburat jingga terpancar menghampar di cakrawala. Sore itu Evan yang sedang sayang-sayangnya pada motor pemberian ibunya, langsung ia cuci sampai kinclong. Ketika Evan sedang mengelap motor kesayangannya itu, Imas datang menghampiri sembari membawa singkong goreng yang masih hangat.
“Aduh ... Aduh ... Epan cucu Ambu anu Kasep tea, keur naon eta teh? Motor meni digosok sampai kinclong kitu? Yuk, makan singkong goreng dulu atuh, Pan!” Imas menyodorkan satu piring singkong goreng yang masih hangat buatannya.
“Ari si Ambu teh kayak nggak ngerti aja? Evan kan sudah lama mengidam-idamkan motor. Iya atuh Evan rawat dengan sepenuh hati, Ambu.” Evan tersenyum ke arah neneknya yang juga merasa bahagia melihat semangat Evan.
“Geus kinclong atuh, Sayang! Sekarang makan singkong goreng buatan Ambu dulu, ya! Hayuk, Pan!” Ambu kembali mengajak Evan untuk makan singkong goreng yang masih hangat bersama.
Kebiasaan Imas tidak bisa mengucap kata Evan. Sehingga yang keluar dari mulutnya adalah kata Epan. Sampai detik ini pun Ambu memanggil Evan dengan sebutan Epan, pakai huruf P bukan V.
“Yuk, atuh! Kita makan bareng-bareng sama Ambu!” Evan yang sudah berhasil membuat kinclong motornya, mengajak neneknya masuk ke dalam rumah untuk menikmati bersama singkong goreng hangat buatan neneknya itu.
Perbincangan mereka semakin hangat ketika Abah Mus atau yang biasa dipanggil Aki oleh Evan datang membaur bersama dalam perbincangan mereka. Kehidupan sederhana yang penuh akan kebahagiaan tengah dirasakan keluarga Evan. Motor yang dibeli oleh Widya adalah uang urunan dari Abah, Angga, dan Widya. Mereka mengerti kalau Evan memang mendambakan motor sudah sejak lama. Namun, karena keterbatasan ekonomi, membuat mereka harus menabung ekstra demi bisa membelikan motor untuk Evan. Motor bekas yang dibeli dengan harga empat juta rupiah dari salah satu pemilik warung bakso di Desa sebelah. Motor bebek dua tak yang menggunakan kopling. Motor itu harganya sudah murah karena memang usianya kurang lebih 10 tahun, sejak pertama kali dibeli oleh pemiliknya.
Sekolah yang cukup jauh harus ditempuh Evan. Hal itu membuat Angga meminjamkan motornya untuk keponakannya. Karena dia takut kalau Evan akan terlambat masuk sekolah. Lantaran setiap pagi sebelum Evan berangkat sekolah, dia harus mengantar kue-kue buatan Widya ke warung-warung tetangga. Rutinitas itu dikerjakan Evan dengan hati penuh suka cita. Tidak malu atau pun gengsi demi membantu ibu yang sangat dia cintai.
***
Hari ini adalah hari pertama Evan berangkat ke sekolah menggunakan motor miliknya sendiri yang dibelikan oleh Widya. Motor dua tak standar dirasa masih butuh polesan agar bisa menjadi lebih kencang. Namun lagi-lagi Evan begitu terkendala biaya untuk memoles motor miliknya.
Dengan kecepatan antara 40 km/jam sampai 60 km/jam, Evan melajukan motornya membelah jalanan kota Bandung. Dia merupakan salah satu siswa Sekolah Menengah Kejuruan yang mengambil jurusan TSM atau yang biasa dikenal dengan jurusan Teknik Sepeda Motor. Lantaran sejak kecil dirinya seakan berhasrat ingin terjun ke dalam dunia otomotif, terlebih menjadi seorang pembalap profesional. Impiannya itu terlalu jauh jika melihat keadaan Evan saat ini. Evan hidup sederhana bersama ibunya yang merupakan seroang single parent. Evan juga memiliki seorang paman atau yang biasa dia panggil Mamang Angga, juga nenek yang ia panggil Ambu dan Kakek yang ia panggil Aki. Jika kalian bertanya di mana Ayah Evan? Jawabannya ikuti kisahnya sampai tamat.
***
Evan sudah memasuki wilayah parkir sekolahnya. Dari kejauhan Evan melihat Tatang yang berangkat menggunakan motor Vespa warisan dari kakeknya.
Tatang begitu tercengang melihat Evan yang tengah memarkirkan motor yang baru dilihat oleh Tatang, selain motor yang biasa Evan pakai. Sontak Tatang menghampiri Evan sembari memarkirkan motor Vespa warna biru itu di sebelah motor dua tak milik Evan.
“Aduh ... aduh ... Gebetan baru nih?” Tatang menyebut “Gebetan” untuk motor baru yang dikendarai oleh Evan.
“Kumaha, nya? Berasa Alhamdulillah! Dapat rezeki nomplok!” Evan merasa senang dengan motor barunya itu. Walau bukan baru tapi second alias bekas.
“Meni kinclong pisan eta, Van! Baru?” Tatang begitu penasaran sembari melihat-lihat motor dua tak milik Evan yang sangat kinclong.
“Second atuh, Tang! Mana ada duit buat beli motor baru!” Evan tersenyum sembari menyenggol Tatang menggunakan sikut tangan Evan.
“Walau second yang penting kinclong!” Evan kembali tertawa melihat Tatang yang masih terpukau.
“Mantap euy! Atuh Aing diboncengin, Van! Nyobain motor baru Evan! Pas kita nonton balap motor tea! Kumaha?” Tatang mengangkat kedua alisnya sembari tersenyum.
“Gas waelah, Aman!” Evan menyetujui ajakan Tatang.
Perbincangan mereka di tempat parkir sekolah berhenti seketika Evan mengajak Tatang untuk masuk ke dalam kelas. Di sana pun teman-teman sekelas Evan heboh karena Evan memiliki motor baru. Tidak terkecuali Ega yang hari Minggu nanti akan mentraktir Evan dan Tatang dalam membeli tiket menonton balap motor di daerah Cimahi.
***
Siang ini sepulang sekolah, Evan duduk termenung di tempat parkir sekolahnya. Tatapannya nanar melihat motor dua tak yang baru dia miliki. Evan memikirkan sesuatu hal tentang rencananya untuk memoles motor miliknya yang masih dalam keadaan standar.
‘Kira-kira ... Kalau mau dibikin motor balap, habis berapa duit ya?’ Evan berbicara dalam hatinya sembari mengernyitkan dahinya. Dia berharap akan menemukan sebuah jalan keluar.
“Dor!” suara Tatang mengagetkan Evan yang tengah melamun di depan motor miliknya.
“Ngagetin wae, Tang!” Evan melirik ke arah Tatang yang baru saja datang setelah dirinya pergi ke kamar mandi.
“kumaha atuh ngalamun wae? Aya naon, Van?” Tatang penasaran dengan lamunan Evan yang terlihat begitu nyata dan mendalam.
“Ini, Tang! Ada keinginan pengen moles motor. Tapi abis berapa duit ya?” Evan kembali menyangga dagunya.
“Wah kalau masalah itu aku juga nggak tahu, Van! Mendingan kamu cari info aja, bengkel yang bisa moles motor jadi motor balap!” Tatang memberi saran kepada Evan agar dirinya mencari bengkel yang biasa mengoprek motor standar menjadi motor balap.
“Oke lah! Pas banget besok hari Minggu kita bisa nyari informasi! Kan kita mau nonton balap! Jelaslah, kalem wae atuh!” Evan tersenyum ke arah Tatang.
“Nah kitu atuh, Bro!” Tatang menepuk bahu Evan. Mereka memang saling mendukung satu sama lain, sejak dahulu kala.
Akhirnya Tatang mengajak Evan untuk pulang ke rumah masing-masing. Karena memang saat itu hari sudah mendung. Jarak antara sekolah mereka ke rumah lumayan jauh memakan waktu.
***
Awan mendung mulai menyelimuti wilayah itu. Widya resah menanti Evan pulang dari sekolah. Suara gemuruh mulai terdengar walau rintik hujan belum turun membasahi Ibu Pertiwi. Widya berdiri di balik jendela ruang tamu rumahnya. Rumah sederhana yang begitu berarti untuk Widya. Karena di sanalah Widya berusaha untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Kelahiran Evan memberikan warna baru dalam kehidupan Widya yang sempat begitu kelabu.
Lamunan Widya seakan meresap ke dalam sanubarinya. Dia masih mengingat rasanya kehilangan orang yang begitu dia sayangi. Namun Widya tidak bisa melawan takdir. Inilah yang terbaik untuk Widya dan juga Evan. Widya berusaha untuk melupakan hingar-bingar perkotaan dan memilih untuk membuka lembaran baru bersama keluarganya yang pindah ke sebuah wilayah di kabupaten Bandung.
Rintik hujan mulai turun siang itu. Namun Evan belum juga kembali dari sekolahnya. Widya berdoa dan berharap bahwa putranya selalu dilindungi oleh Allah SWT. Sembari menunggu Evan pulang, pikiran Widya berkelana mengingat kembali masa lalunya yang merasakan kebahagiaan walau berada di antara luka batin yang sulit untuk dilupakan.
‘Sampai detik ini pun aku masih mengingat sambutan hangat darinya. Namun kebahagiaan itu harus pupus karena takdir memang menggariskan kenyataan itu untuk aku lalui. Perpisahan ini rasanya begitu menyakitkan. Walau hati ini sulit untuk mengikhlaskan semuanya,' ujar Widya dalam hatinya sembari menatap rintik gerimis yang semakin deras bagai air mata yang tidak tumpah namun terasa begitu menyakitkan di dalam d**a.