Di antara rintik hujan, Evan begitu bersemangat mengendarai motornya. Rintik hujan yang menerpa kaca helm Evan, membuat pandangannya berembun, sehingga dirinya membuka kaca helm tersebut. Perjalanan yang melalui beberapa tikungan berkelok membuat Evan merasa begitu syahdu. Perjalanan pulang dari sekolah menuju rumahnya, dirasa sangat begitu menyenangkan dalam hatinya.
Evan menikmati setiap perputaran roda sepeda motornya. Membelah jalanan, menembus derasnya hujan yang sedikit berkabut, menambah hikmat suasana yang saat ini Evan rasakan. Perjalanan yang mulai menanjak membuat Evan menarik tuas gas motornya itu lebih dalam. Jalur yang berkelok-kelok di antara rimbunan hijau pepohonan membuat Evan kembali mengingat kerinduan terhadap ayahnya. Sampai detik ini, Evan hanya mengetahui bahwa ayahnya bernama Satya. Seperti nama panjang Evan Damara Satya. Nama belakang Evan diambil dari nama sang ayah. Begitu juga dalam akta lahir dan semua yang berhubungan dengan administrasi, Evan mengetahui bahwa ayahnya bernama Satya.
Evan merasa ada sekeping hati yang hilang ketika hujan turun bersama kesunyian. Karena dirinya memendam kerinduan terhadap sang ayah. Namun Evan tidak pernah berani menanyakan hal itu kepada Widya. Lantaran Widya pernah memarahi Evan ketika Evan menanyakan hal yang menyangkut sang ayah. Sejak saat itulah, Evan sama sekali tidak pernah mempertanyakan ayahnya lagi kepada Widya ataupun keluarganya.
***
Lengkung bibir Widya membentuk senyuman yang begitu melegakan jiwanya. Ketika dia melihat anak bujangnya pulang dari sekolah walau bajunya basah kuyup, yang penting Evan pulang dengan selamat. Dia bergegas untuk membuka kunci pintu rumahnya. Widya menyambut kedatangan Evan dengan senyuman hangat di antara derasnya rintik hujan.
“Kasep! Kumaha atuh kok hujan-hujanan?” Widya berusaha untuk membawakan tas milik Evan yang sudah basah kuyup. Matanya menyipit karena udara dan kabut dingin mulai menerpa Widya.
“Sudah kepalang basah, Ma!” Evan tersenyum walau kedinginan. Bibirnya membiru dan wajahnya agak pucat. Evan mulai menggertakkan giginya karena menggigil. Ujung jemari tangannya juga berkerut karena derasnya hujan membuat Evan merasa kedinginan.
“Ya sudah sana mandi dulu atuh Kasep! Sudah Mama siapkan air hangat!” Widya berusaha untuk membantu Evan yang basah kuyup. Dia berusaha membawa dan membuka tas sekolah Evan untuk menyelamatkan buku-bukunya, Sebelum Widya mencuci dan memeras tas milik Evan.
Terdengar suara deburan gayung yang beradu dengan air di dalam kamar mandi. Sedangkan Widya berusaha mengepel lantai rumahnya yang basah karena Evan baru saja berjalan ke kamar mandi, setelah hujan-hujanan.
Sesudah mengepel lantai, Widya mencuci semuanya. Dia kembali duduk di ruang tamu sembari merenung. Wanita itu masih belum bisa mengikhlaskan masa lalunya. Sampai saat ini pun dirinya merasa iba dengan Evan yang belum pernah melihat ayahnya sejak lahir.
‘Maafkan Mama, Van! Mama tidak bisa menceritakan banyak tentang Ayahmu! Karena Mama takut kalau suatu hari nanti kamu akan mencarinya. Padahal seharusnya kita mengikhlaskannya,' Widya berbicara dalam hatinya, bagaikan luka yang kembali menganga lalu disiram air garam. Pedih terasa ketika dia mengingat masa lalunya.
“Ma?” Evan yang selesai membersihkan tubuhnya memergoki lamunan Mamanya di ruang tamu.
“Ah ... Kasep! Ngagetin Mama wae!” Widya terkesiap dan gelagapan karena dia takut Evan bertanya lebih banyak lagi. Sehingga dirinya berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
“Mama melamun? Tong ngelamun atuh, Ma! Bisi kasambet!” Evan berharap candaannya mampu membuyarkan lamunan Mamanya, karena dia tahu bahwa Mamanya menyimpan sebuah rahasia darinya. Namun, Evan tidak mau menanyakan terlalu jauh tentang masa lalu Widya, karena Evan tidak mau melihat Mamanya bersedih.
“Jurig na heunteu doyan ka Mama, Jang!” Widya pun ingin mencairkan suasana.
“Oh ... iya Mama tuh lagi kepikiran, Mamang kamu, si Angga teh mau kedatangan calon! Katanya teh nanti sore, jadi Mama mau bantuin Ambu buat nyiapin makan malam!” Widya mengalihkan pembicaraan tentang calon istri dari Paman Evan yang bernama Angga, yang tidak lain adalah adik kandung dari Widya.
“Oh ... Mama teh ngelamunin Mamang Angga? Evan pikir Mama ngelamunin ....” Evan menghentikan ucapannya karena takut Mamanya kembali bersedih.
“apa? Hayoo? Naon?” Widya melirik ke arah putranya.
“Ngelamunin Evan, Ma!” Evan berusaha untuk menjaga perasaan Mamanya.
“Hmmm ... Bisa aja kalau ngeles tuh! Udah sana ibadah Zuhur dulu! Mama ke rumah Ambu, nya! Kalau Evan mau makan, udah Mama siapin! Malam kita ngariung bareng di rumah Ambu! Kumpul bareng makan bareng sama calon istrinya si Mamang! Oke?” Widya melirik ke arah Evan.
“Ahsiap atuh, Bos!” Evan berusaha mengulas senyum yang begitu manis di depan mamahnya. Padahal selama ini Evan selalu bertanya-tanya rahasia yang ditutupi oleh mamanya tentang ayahnya. Karena selama ini Evan mengetahui jika ayahnya sudah meninggal, tetapi Evan tidak pernah mengetahui di mana makam ayahnya itu.
***
Malam yang berkabut pun datang menyapa mereka yang sedang bersuka cita menyambut kedatangan calon istri Angga. Wanita itu bernama Endah yang berasal dari tetangga sebelah desa. Malam itu Angga memperkenalkan calon istrinya secara resmi kepada keluarganya. Semuanya merasa bahagia karena selama ini Angga dicap sebagai bujang lapuk. Sehingga ketika Angga memiliki seorang kekasih, Ambu dan Abah yang melihat wanita itu baik dan berasal dari keluarga yang baik pula, maka mereka langsung menyetujuinya. Namun sebelum resmi Angga dan keluarganya melamar Endah, malam minggu ini Angga mengajak Endah untuk makan malam bersama keluarganya.
“Assalamualaikum ....” suara Angga bersama calon istrinya yang sudah datang ke rumah itu.
“Wa’ alaikumsalam ... Geulis! Kasep!” suara Ambu langsung menyahut dari ruang belakang dan menghampiri mereka di ruang tamu.
Terlihat juga Endah mencium punggung tangan Ambu dan juga Aki. Suasana di sana terasa sangat hangat. Evan melihat mereka semua yang sedang berbahagia, hatinya pun ikut merasa bahagia, walau ada sesuatu yang hilang yang terasa kosong di dalam hatinya karena tidak ada ayah di samping Evan.
“Meni geulis pisan atuh! Hayuk kita ngariung bareng! Ambu sudah bikin liliwetan! Tah Neng geulis cobain ya, masakan Ambu!” Ambu terlihat sangat bahagia dan benar-benar antusias karena anak bujangnya baru kali ini mau memperkenalkan calon istrinya.
“Iya Ambu, pasti Endah suka.” Endah tersenyum manis terhadap Ambu yang sangat menyayangi Endah dan juga semua anak cucunya. Begitu juga Aki yang selalu mendukung semua hal positif dalam keluarganya.
Widya dan Evan juga ikut makan di sana. Semuanya terasa begitu hikmat dan perbincangan mereka begitu hangat. Setelah selesai makan malam, Evan membantu Widya untuk membereskan semua yang ada di meja makan. Setelah itu, Evan berpamitan untuk duduk di teras rumah Ambu. Ketika yang lainnya berbincang hangat di ruang tamu bersama calon istri Mamang Angga.
***
Saat ini Evan duduk di teras rumah Ambu yang sederhana. Dia menatap ke arah langit yang mulai menampakkan bintang yang bercahaya setelah siang ini diguyur hujan lebat. Tatapannya jauh menerawang ke atas sana. Dia berharap suatu hari nanti, ibunya mau untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi sebelum Evan dilahirkan ke dunia ini. Evan merasa keluarganya saat ini benar-benar membuatnya betah dan bahagia. Tetapi tetap saja hatinya merasa ada yang kosong karena tidak bisa mengetahui seluk beluk tentang ayahnya. Sehingga untuk mengisi kekosongan itu, Evan menekuni hobinya yang gemar motor. Malam itu dia berpikir untuk mencari sebuah bengkel yang biasa memodifikasi motor menjadi motor dengan performa balap.
‘Ingin rasanya aku memiliki motor dengan performa balap, tapi kumaha nya? Teu boga duit!’ Evan berbicara dalam hatinya sembari berkhayal.
‘Seandainya, Papa masih ada, mungkin keadaannya nggak sesulit ini. Evan enggak mungkin minta uang terus sama Mama. Apalagi Mama, Ambu, Aki, sama Mamang Angga udah urunan buat beli motor ini. Saatnya Evan harus mencari penghasilan tambahan untuk keperluan Evan sendiri dan semoga bisa meringankan beban Mama,' Evan merenung dan berbicara dalam hatinya. Dia bertekad untuk mencari penghasilan tambahan demi membantu mamanya.
***
Hari Minggu yang dinanti-nantikan oleh Evan, Tatang, Ega, dan teman-teman yang lain, akhirnya datang juga. Mereka berboncengan motor pergi ke Cimahi demi menonton kejuaraan balap motor bergengsi tahun ini. Kebetulan Evan dan Tatang ditraktir tiket oleh Ega. Sehingga mereka semua bisa menonton balap motor itu dengan hati yang penuh riang gembira dan semangat.
Hiruk-pikuk penonton membuat Evan dan Tatang merasa sangat antusias. Mereka semua ikut bersorak-sorai dan mendukung tim balap legendaris yang selalu menjadi juara di setiap kejuaraan tahunan. Tim yang selalu menyabet gelar juara itu bernama Devandra Racing Team.
Nama Devandra Racing Team diambil dari nama pembalapnya yaitu Eric Devandra. Seorang pembalap motor yang juga merangkap menjadi di pemilik tim. Karena dia adalah seorang pimpinan di salah satu perusahaan otomotif di wilayah Jawa barat. Dia juga memiliki beberapa cabang bengkel besar yang tersebar di wilayah Jawa. Sehingga segala pengadaan perlengkapan Racing timnya dijamin oleh banyak sponsor.
Muda, tampan, tajir, dan berprestasi membuat nama Eric Devandra mencuat bagai idola. Tidak ada yang tidak mengenalnya. Sehingga Evan dan teman-temannya begitu mengidolakan pembalap yang satu ini.
“Kumaha nya? Biar bisa kayak Eric Devandra tea? Kasep, tajir, berprestasi ... Pasti jadi idola kaum hawa!” Tatang memberikan komentar itu saat mereka mulai menonton balap motor yang sudah dimulai beberapa menit yang lalu.
“Kasep mah 11-12 lah sama aing, tapi sayangnya rentang ketajirannya itu 1 banding 11.” Evan melirik ke arah Tatang yang sudah menahan tawa sedari tadi.
“Ngehalu mah gratis atuh, Van! Nggak apa-apa ngehalu dulu kali aja suatu hari nanti kamu bisa jadi pembalap hebat kayak si Eric Devandra tea!” Ega selalu memberikan dukungan karena dirinya memang tertarik untuk menjadi seorang mekanik dalam sebuah tim racing.
“Amin. Amin dulu aja, kali aja obrolan kita ini dicatat sama malaikat, suatu hari nanti bisa terkabul, benar kan?” Evan mengatakan hal itu seperti sedang bercanda. Padahal dalam hatinya, Dia memiliki keinginan untuk menjadi pembalap seperti Eric Devandra.
‘Ucapanku bukan hanya sekedar gurauan semata. Melainkan sebuah target yang harus bisa diwujudkan suatu hari nanti. Tapi ... Apa iya bisa terwujud?’ gumam Evan dalam hatinya sembari memandang motor yang sedang berada dalam arena balap.