Aku, Erly Natasha. Kita sudah berkenalan di awal, kalian juga sudah tau aku bukan seorang pengecut. Lelaki ini, aku pasti bisa menghadapinya.
"Aku ingat. Apa itu...." Sebaiknya kamu katakan tidak, Hans!
"Ya. Itu aku. Diriku yang pengecut. Aku suka namamu... Early, aku memikirkan tentang pagi, embun yang sejuk dan segala yang suci. Kadang Pearl, mutiara putih, utuh dan berharga dari butir pasir yang membungkal dalam cangkang kerang yang kuat. Lalu, Natasha... entah asumsi gila apa yang merasuk otakku, aku merasa itu sebagai kelembutan dan manja."
Bulu kudukku meremang, aura horor sedikit menjamahku. "Aku menghargainya Hans, meskipun kamu terdengar seperti psikopat."
Hans Abdul Abdillah. Lelaki yang melamarku, memintaku sebagai istrinya, lelaki ini malah menunjukkan banyak hal yang membuatku semakin yakin, bahwa aku tidak ingin bersamanya.
"Kamu memang istimewa, masih terus menginjak hati yang sudah retak ini," katanya tersenyum sinis.
"Ya, itulah keistimewaanku. Aku agak mengerikan Hans, kamu masih beruntung tidak gila," balasku tanpa ragu. Aku sudah mengakui hal itu dengan sedikit memelas, tapi tertawa, Hans tertawa sebagai reaksi. Lelaki ini sungguh mencurigakan. "Hans Abdul Abdillah! Terimakasih atas semuanya." Aku sungguh bersyukur bisa dicintai seberharga itu.
"Aku masih akan mengagumimu, Erly. Kamu tidak takut sama sekali meskipun cerita ekstrim yang kulakukan padamu." Dia menunjukkan dengan lepas, senyuman yang sangat disayangkan itu, terlalu tampan.
Hamparan sungai menyambut kami, melewati jembatan Batu Rusa. Kenapa aku sangat menyukai air? Padahal mungkin saja mereka akan menenggelamkan aku. Aku memang bisa berenang, tapi bukan termasuk ahli. Pemikiran itu tiba-tiba saja singgah. Aku melirik Hans, "Apa kamu punya akun yang lain juga. Sepertinya kamu stalker yang handal."
"Ya. Aku selalu meng-like statusmu. Mungkin kamu tidak memeriksanya?"
Biasanya aku akan mengecek profil mereka yang meng-like statusku dan memberikan like balik, tapi aku tidak tahu kalau salah satu dari mereka adalah stalker sungguhan. “Hmm... aku lupa,” sangkalku.
"Akun Natasha Abdillah."
Aku melotot ke arahnya, "Kamu?! Si teman misterius yang sering chat denganku?"
Hans tersenyum sambil mengangguk. Aku gemas sekali dan tanpa bisa dicegah tanganku terulur, lalu menyubit pipinya yang terasa lembut. Perasaan canggung segera membuatku merona malu. "Mmm maaf. Aku terbawa suasana."
Aku bercerita banyak kepada Natasha, karena kukira, dia gadis sepertiku. Hans sungguh keterlaluan, bahkan sampai memalsukan gender juga. Aku sangat menikmati obrolan dumay bersamanya, Natasha seorang teman bagiku.
"Itulah mengapa aku tau kamu di pantai kemarin."
Hans tidak membahas cubitanku, juga tidak menunjukkan senyum senang ataupun mengejek. Aku juga tidak ingin mengulang ketidak-sengajaan itu. Kemarin, seperti biasanya, Natasha mengirimkan pesan dan bertanya apa yang sedang kulakukan. Tentu saja aku menjawab jujur pada Natasha, gadis itu sedang di Jogja, seperti itulah yang dikatakannya dan dipercayaiku.
"Jadi, Natasha... apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku berniat mencairkan suasana.
"Mendengarkan curhatmu sahabatku, kita punya nama yang sama."
Aku cukup menyukai perjalanan pulang ini, yang tidak membahas perasaan di antara kami. Rasanya tidak nyaman bagiku, mengingat lelaki ini sebagai orang yang paling tidak kusukai. "Mulai sekarang aku akan berhenti membalas chat sembarangan!" tekadku. Hans terkekeh. "Foto siapa yang kamu gunakan?"
"Semuanya identitas palsu, kecuali foto-foto gadis itu. Dia adikku, namanya Hera Anastasia."
"Jadi, pertanyaan apakah aku sudah menikah kemarin hanya klise?" Aku perlu mengetahui semua informasi darinya hari ini juga. Mungkin saja kami tidak akan saling bertemu lagi.
"Tidak. Aku berpikir kamu mungkin saja tidak menceritakan hal itu kepada Natasha."
"Kenapa kamu mengaku?" Apa karena sudah selesai? Aku hanya penasaran, sungguh.
"Karena kamu jujur kepadaku. Aku merasa patut mengenyahkan segala kebohongan yang mungkin membuatmu risih."
Aku terharu. Sedikit saja. "Waw, kamu sangat berani." Aku bertepuk tangan untuknya dan lelaki ini tersenyum malu. Aku bertanya dalam hati, apa tindakan ini benar? Hmm... tentu saja. Akan lebih baik bagi hatiku untuk tidak terlalu dekat dengannya. Aku takut membenci, hanya itu yang paling mungkin sebagai akhir hubungan kami.
***
Kami sampai di rumah dan disambut Abi juga Umi. Hans dipaksa singgah dan kali ini aku tidak keberatan.
"Kamu mau teh spesial dariku?" tawarku dengan senyum ramah.
Abi dan Umi menatap kami heran sekaligus curiga.
"Tentu saja." Hans membalas dengan senyuman pula.
Aku kembali dan mendapati mereka sedang mengobrol, juga sosok Ayuk pun ikut nimbrung. Sepertinya percakapan mereka tidak serius, karena ada suara tawa terdengar menyela pembicaraan mereka.
"Abi, Umi,... kami berdua tidak jadi melanjutkan ta’aruf," Hans tidak melirikku sama sekali.
"Kami akan jadi sahabat saja," tambahku melirik ke arahnya. Hans sepertinya cukup terkejut, tapi dia kembali tersenyum. Aku bisa menganggapnya sebagai Natasha, lagipula kami berdua sudah banyak bercerita, BUKAN! Lelaki ini sudah banyak mengetahui rahasiaku sebagai Natasha, tapi belum banyak yang kuketahui tentang Hans Abdul Abdillah ini.
"Ya. Kami akan jadi sahabat," Hans menyetujui.
Umi dan Ayuk tampak lega, tapi Abi sedikit berbeda. "Padahal Abi berharap kamu sebagai menantu."
Maaf, Abi. Erly bukannya ingin mengecewakan Abi. Tapi jodoh Erly mungkin bukan lelaki ini, dan lelaki aneh ini juga, barangkali bukan seperti calon menantu idaman Abi.
***
Sudah lebih 2 bulan berlalu. Aku masih sering berhubungan dengan Hans, katanya dia juga sudah menghapus akun-akun palsu miliknya. Kadang dia juga ikut makan malam bersama kami. Penilaianku tentangnya juga mulai berubah. Hans Abdul Abdillah sebenarnya tidak terlalu aneh, mungkin kita kategorikan saja dia langka, unik dan sedikit... hanya sedikit aneh. Hans ternyata adalah seorang tour guide di-travel agent miliknya dan mobil itu miliknya juga. Dia tinggal bersama Amang dan Bik-nya, sementara saat ini adiknya, Natasha yang asli sedang kuliah di Jogja. Orangtua mereka sudah meninggal dalam kecelakaan lalulintas beberapa tahun yang lalu.
“Aku akan datang besok, boleh?”
Itu bukan percakapan. Itu sebuah pesan yang sedang k****a. Kali ini aku sungguh tidak bisa menghindari virus merah muda itu. Syukurlah tidak ada yang bisa melihat langsung wajah meronaku yang muncul hanya dengan sebuah pesan singkat darinya. Aku menekan tanda panah untuk mengirim pesan balasan setuju.
Aku sudah berjalan mendekati ruang tengah, bermaksud memberitahu Umi, Abi dan Ayuk tentang si pengirim pesan barusan. Kami memang sering nobar (nonton bareng) setelah selesai makan malam, biasanya di ruang tengah inilah pertukaran cerita dan informasi terjadi. Aku merasa sangat deg-deg dalam hati. Pelan, pelan, aku menarik napas sembil membawa langkahku mendekat, lalu duduk dengan santai di samping Umi. Semoga saja mereka tidak terlalu shock mendengar berita ini.
"Abi....” Aku memanggil beliau dengan suara lembut.
Tiba-tiba aura horor meremangkan bulu-bulu kecil di lenganku. Bukan cuma Abi, Umi dan Ayuk pun ikut menolehkan kepala ke arahku secara serentak. Apalagi dengan tatapan penuh tanya dan kesan terganggu di wajah mereka. Erly Natasha, status terdakwa!
“Ada apa Nak?” tanya Abi dengan suara biasa.
Oh, syukurlah! Jantung Erly hampir lepas Abi. “Erly... sedang dekat dengan seseorang. Katanya dia akan datang besok malam Abi."
Aku mendapati mata yang terkejut sekaligus tertarik atas kalimat itu tertuju lebih intim padaku. "Apa dia akan melamarmu?"
Beliau memang Abi-ku. Tentu saja aku belum pernah mengenalkan seorang laki-laki secara spesial kepada keluargaku. Hans? Kita anggap dia sebagai surprise. "Dia akan datang sendirian besok, setelah itu dia akan membawa serta orangtuanya." Aku memerah menahan rasa senang bercampur malu.
"Kamu ingin kami menerimanya Nak?"
Umi sungguh bertanya yang tidak perlu, tapi aku mengangguk sebagai jawaban.
"Bagaimana kamu mengenalnya Dek?"
"Dia dulu teman berlatih silat Erly, Yuk."
"Dia sekelas denganmu?" Abi bertanya lagi.
Sepertinya keluargaku cukup antusias dengan hal ini. Syukurlah. Aku sempat khawatir tidak mendapatkan dukungan mereka, karena Ayuk yang cantik sejagat Bukit Baru atau bunga kompleks ini saja belum pernah dilamar. Mungkin sudah banyak yang ingin melamarnya, tapi Ayuk yang belum ingin menerima mereka. "Bukan Abi. Dia dulu di STM, tapi kadang ikut latihan bersama di sekolah Erly, Bi."
Beliau mengangguk, Umi juga mengangguk mengerti atas penjelasanku barusan. Ayuk pun tersenyum senang.
"Aisyah, bagaimana denganmu Nak?"
Sekarang kami akan mendengar cerita Ayuk, yang beberapa bulan ini sering, menangis-tertawa-cemberut-agak gila. Seperti itu saja rotasi emosinya beberapa bulan ini dan entah kenapa dia tidak menceritakan apapun kepadaku, padahal biasanya kami akan saling berbagi cerita. Meskipun Ayuk yang lebih banyak bercerita kepadaku.
"Aisyah baik Umi. Besok insyaallah Aisyah akan mengenalkan calon kepada Abi dan Umi."
Ada senyum di akhir kalimatnya. Ini pertanda baik. Aku langsung mendekatinya dan memeluknya. "Syukurlah, ternyata Ayuk ingin menikah. Sebab dari keanehannya beberapa bulan ini."
"Nampaknya kita bisa menikahkan kalian bersama," ucap Abi bersemangat.
"Insyaallah," sambutku dan Ayuk suka cita.
Malam ini aku merasa sulit untuk tidur. Meskipun dia tidak mengirimkan pesan ucapan selamat malam atau membalas pesan terakhirku, aku masih saja membaca ulang riwayat pesan kami. Arif Gunawan. Aku mengenal lebih dekat dia dari tempatku mengajar. Kami dulu memang sempat bertemu beberapa kali saat latihan silat bersama dan tampaknya dia lelaki yang cukup baik. Kami sering berkisah tentang agama bersama. Aku mengajar di TPA dekat daerah sini dan Arif ternyata bekerja di Departemen Agama. Beberapa urusan yang berkaitan di antara TPA dan Departemen akhirnya juga menyatukan hati kami. Dia lelaki yang seperti kusebutkan kepada Hans di pantai waktu itu.
Aku menatap langit-langit kamar, merasa cukup penasaran dengan calon ayuk. Aku juga memikirkan Hans. “Besok malam datang ke rumah, ya....” Aku mengetik kalimat itu dalam badan pesan yang akan dikirim ke kontak Natasha. Sebelumnya aku menamai kontaknya dengan ‘Weird’. Sedetik kemudian aku menggantinya lagi, “Natasha!!! Aku di-la-ma-r!!!”
Aku tersenyum masam kepada layar ponsel. Persis! Aku persis anak alay yang bertindak konyol seperti dalam drama Korea. Aku sangat ingin memintanya datang besok malam, tapi aku agak malu memberitahunya.
"Bagaimana kalau dia mengolokku?" tanpa sadar aku bergumam, lalu cepat-cepat menghapus pesan itu dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Aku akan melihat besok sebagai kejutan dan gerbang baru dalam hidupku. Kali ini saja, aku tidak ingin bercerita dengan Natasha. Ya. Aku menganggap Hans masih Natasha dan kita semua tahu, Hans sedikit aneh, lelaki itu tidak keberatan asal tidak memanggilnya Natasha di depan orang lain. Satu hal lagi. Surat itu tidak lagi aku anggap terkutuk, karena aku dicintai dan sekarang memiliki seorang sahabat karenanya. Hans? Entahlah, aku tidak bertanya dan dia tidak menyinggung surat itu sama sekali.
Good night and have a nice dream.