Aku akan menikmati belaian angin ini di seluruh diriku. Aku bukan lagi anak SMA, masa itu telah pergi dan tidak akan kembali, yang kutakutkan ini hanya kenangan, hanya bayangan. Benar-benar tidak ada yang akan menghalangiku dari kebebasan ini. Surat terkutuk dari masa lalu itu, kedatangan Hans yang masih misteri dan juga alasan kami berdua tiba-tiba terdampar di Pantai Matras di siang seterik ini. Aku tidak akan menyesali apapun. Angin ini sungguh segar, tapi lengket. Memang seperti itulah angin pantai yang kukenal.
“Maaf.”
Beberapa kali aku mengulang nada suaranya, tapi belum juga kutemukan sesuatu yang terselip di memoriku tentang rahasia suara tersebut. Bisa jadi itu suara yang tidak kusuka, jadi aku sulit menemukan petinya dalam kepalaku, belum lagi kuncinya yang entah di mana. Sudahlah!
"Kalau kamu benar menyesal jangan lakukan lagi," kataku lembut masih menutup mata. Aku tidak ingin melukainya lebih jauh. Lelaki ini pun punya hak atas perasaannya dan hak juga bagiku untuk menolak, jika perasaan itu memang untukku.
"Laki-laki seperti apa yang ingin kamu jadikan suamimu?"
Aku membuka mata, bukan karena pertanyaannya, tapi karena angin itu berhenti menerpaku, yang ternyata dihalau Hans dengan tubuhnya. Dia memiliki tubuh proposional. "Yang bukan sepertimu," jawabku ke arah dadanya yang sejajar dengan mataku, karena pasir di bawahku lebih tinggi daripada yang dipijaknya. Hans mengenakan kaos hitam berkerah yang kontras dengan pasir putih pantai ini. "Lelaki berkulit sepertiku, tidak terlalu tinggi, tidak menyebalkan, tidak tampan, berkacamata dan bermata coklat," jelasku lebih rinci.
"Itu sekedar fisik Erly. Aku tidak bisa merubah hal itu menjadi diriku."
"Itulah maksudku. Aku tidak menginginkanmu, Hans." Aku tidak merasa kesal, aku meyakinkannya dengan lembut.
"Aku memberanikan diri terlalu lama untuk mendapatkan penolakan darimu."
"Aku tidak memintamu melakukannya. Dan kamu bisa meminta orang lain yang bisa menerimamu." Aku tidak menutupi bahwa aku pun menyayangkan waktu yang dihabiskannya secara percuma untuk dekat denganku.
"Tapi tidak ada orang lain seperti dirimu, Erly Natasha."
Aku tahu. Memang tidak akan ada yang sepertiku dan aku juga tidak akan bertemu lelaki lain sepertimu, Hans Abdul Abdillah. Kita hanya satu orang di dunia ini, yang tidak pernah ada diri kita yang lain di sini. Itu alasanku menyebut Erly Natasha ini istimewa. "Memang tidak, tapi kamu bisa memilih mereka yang lebih sesuai kriteriamu dibanding aku," bantahku tanpa perasaan bersalah, tapi tidak bisa tersenyum melihat ekspresi kesalnya.
"Kamu bodoh! Dan naif... dan spesial. Apa salahnya menerimaku?" Hans bersikeras, gerakannya absurd, mungkin perasaan kesal yang terlalu berlebihan.
"Karena ini hidupku." Jawabanku kontan membuatnya diam tidak bisa menyangkal.
"Dulu banyak hal yang kamu sukai dariku. Kenapa hal itu menguap seperti ini?"
Aku juga penasaran. Apa hal-banyak-yang-kusukai dari Hans Abdul Abdillah? Apa lelaki ini salah orang? Tapi dia tidak salah mengenal namaku dan tidak mungkin seorang yang tampan sepertinya sambarangan menargetkan seorang yang istimewa sepertiku. Lupakan!
"Karena waktu tidak bisa kembali." Aku tidak ingin memikirkan masa itu, tapi semuanya memang berawal dari surat itu dan kalau dulu, kalau dulunya seorang Erly Natasha pernah berharap lebih dari seorang Hans, maka aku tidak ingin mengingatnya. Biarkan saja dulu itu jadi kenangan, yang bahkan sudah kulupakan.
"Kamu tidak ingin mengenalku, kan? Kamu hanya meyakinkan aku untuk berhenti memintamu." Akhirnya Hans mengungkapkan, bahwa lelaki ini sudah peka atas kodeku.
"Ya." Aku tidak perlu menyangkal, meskipun rasanya sangat tinggi hati menolak seorang lelaki yang sepertinya sangat menginginkanku.
"Kalau saja aku orang lain tanpa surat itu. Seperti apa diriku di matamu?"
Aku menatapnya dan Hans memalingkan muka. Karena malu? Memangnya dia masih punya? "Secara wajar kamu sempurna, tapi aku tidak menerima hal-hal biasa dalam hidupku. Aku takut menjadi normal atau biasa, karena jika seperti itu aku tidak merasa sebagai diriku lagi."
"Aku tau, kamu seperti itu. Saat MOS berakhir dan diwajibkan menulis sesuatu dari kalian untuk para panitia, aku mendapat surat paling banyak, tapi hanya satu yang kusuka. Surat dari Erly Natasha, yang dengan terang-terangan membubuhkan namanya dan apresiasinya. Surat yang masih kusimpan hingga detik ini."
Aku tercengang, bukan karena alasan tidak logis itu, tapi karena tindakannya. "Kenapa kamu menyimpannya? Mungkin kamu dikutuk karena menyimpannya," kataku dengan nada canda yang juga bermaksud serius.
"Gadis itu berani, percaya diri dan aku... menyukainya."
Aku hanya diam dengan kata 'suka' memenuhi kepalaku.
"Kalau kamu menikah denganku, aku berencana memberikan surat terkutuk itu kembali padamu."
"Surat terkutuk?" Aku tidak bisa menahan senyum. "Kamu membawanya? Mari kita membakar surat itu supaya kutukannya hilang."
Hans menggeleng pasti, "Kamu mungkin tidak akan percaya. Surat itu sudah sejak lama dibingkai lebih baik daripada piagam manapun yang kumiliki, menghuni kamarku lebih lama dari diriku sendiri," katanya dengan senyum masam.
Sekali lagi, aku ingin tersenyum, tapi mencegah diri. "Sepertinya surat itu memang terkutuk," komentarku santai. "Musnahkan segera."
"Tidak. Tidak akan. Itu milikku," ucapnya posesif. "Kamu sudah menolakku dan juga ingin merebut milikku? Dasar serakah!"
Aku membalas senyuman itu, "Aku akan menggantinya dengan yang lebih baik." Sebuah ide singgah di kepalaku. Mata Hans meredup. Aku harus mematahkannya, menunjukkan jalan lain tentang diriku yang terlalu sempurna di matanya, sisi burukku. "Aku mungkin akan memberimu do'a dalam tulisan berbingkai ketika kamu menikah."
"Jangan lakukan itu. Aku masih harus berpikir cara menyembunyikan surat terkutuk itu dari istriku nanti." Hans memaksa tersenyum.
"Kita sudah menyelesaikan ini. Ayo, pulang!" Aku berbalik, tapi merasa tidak cukup baik. Perasaan janggal tiba-tiba datang.
"Erly!" Hans memanggilku.
Aku berbalik melihatnya dan lelaki itu menatap mataku.
"Izinkan aku!"
Kalimatnya ambigu. "Tentang apa?"
"Memeluk dan menciummu sekali saja."
Aku merasa menggigil seketika. Tidak sepenuhnya karena kalimat yang barusan mampir di gendang telingaku, tapi unsur pantai juga mulai terasa di tubuhku. Selama kehidupan hingga usia 22 tahun ini, aku tidak berpikir lelaki akan meminta izin melakukan itu dan tidak pernah menyangka, aku yang akan mengalaminya secara LIVE.
Lelaki itu berjalan perlahan ke arahku dan ketika tangannya merentang, aku melangkah mundur sambil memeluk diri. "Maafkan aku. Aku tidak ingin siapapun melakukan hal itu kepadaku selain suamiku nanti, sekalipun aku telah menyakitimu," kalimat penolakanku tidak terdengar lembut, malah suaraku bergetar karena dingin.
Tangannya terjatuh lunglai. "Aku mengerti."
Dia berjalan cepat melewatiku dan memungut heels-ku, lalu membersihkan pasirnya dengan wajah sayang. Rasanya aku ingin menangis, dadaku sesak melihat itu, tapi aku tidak akan mencemari diriku untuknya atau siapapun. Ini prinsipku. Erly Natasha bukanlah anak remaja yang menyerahkan diri pada hal romantis seperti di sinetron-sinetron atau setingkat diatas remaja yang menyalahkan khilaf atas tindakan yang mereka inginkan, seperti yang biasa Erly dengar dari kasus dalam berita di TV.
Kami pulang dalam diam. Aku tidak berani membuka suara karena itu mungkin akan jauh lebih menyakitinya. Aku tidak mengingat dengan jelas isi surat itu karena aku, sangat berusaha melupakannya. Tapi percayalah, itu bukan surat berisi pernyataan cinta seperti yang diocehkan siswa-siswi saat itu. Itu hanya pernyataan suka, hanya sebuah apresiasi biasa. Jadi ini lebih membingungkan, jika surat itu membuat Hans melamarku. Juga alasan dia membacakan surat cinta dan menuding aku, Erly Natasha sebagai pemiliknya, di hari bersejarah itu.
"Erly! Bahkan namamu sangat istimewa bagiku. Maafkan aku tentang semuanya." Hans bersuara lagi. Namun, matanya masih menatap lurus jalanan di depan kami.
"Aku juga perlu minta maaf karena kasar kepadamu." Ya, mungkin ini perpisahan. Aku harus meringankan hatiku. Sudah kukatakan sebelumnya, aku tidak suka membenci apalagi kalau sampai dibenci. Baiklah, kalimat yang sebelumnya memang berbeda, tentang mengecewakan dan kebohongan.
"Kamu mungkin ingat sebuah akun f*******: bernama Mutiara Embun," Hans melirikku.
Kenapa lelaki ini ketika menjawab singkat, dia menyakiti. Ketika kalimatnya banyak malah ambigu. Dia bertanya tanpa nada bertanya dalam suaranya. Aku coba mengingat, "Aku menyesal. Aku tidak ingat." Aku malas mengingat. Pikiranku sedang bertumpuk, tumpang-tindih tidak jelas.
"Akun yang menulis satu pesan lalu langsung memblokirmu. Isinya Aku mencintaimu. Selalu ada aku yang akan mencintaimu meski dirimu sendiri tidak mencintaimu lagi."
Kali ini kalimatnya jelas. Aku tercekat dan gemuruh di dalam dadaku bak badai. Susah sekali tenggorokanku menelan ludah yang tiba-tiba terasa membungkal. Siapa yang akan melupakan hal aneh seperti itu? Bayangkan saja, tanpa ada sebab yang jelas sebuah pesan masuk dan ketika akan mengirimkan balasan, akun tersebut sudah memblokirmu. Entah dirinya hacker, stalker atau malah seorang psikopat. Yang sangat jelas adalah malam bagi Erly jadi mimpi buruk dan siang berbuah keringat khawatir. Kalimatnya bisa dianggap romantis, tapi hal romantis dari seseorang yang tidak kita kenal itu sungguh menggelisahkan. Secret admirer? Demi apapun! Aku tidak menyukai mereka. Meskipun aku tidak pernah mengira akan ada orang yang bersusah payah seperti itu untukku. Aku sekarang sadar, Erly Natasha tidak benar-benar buruk. Lihat lelaki yang sedang bersamaku, kita bisa mengkategorikan wajahnya sebagai pangeran dari negeri dongeng, tapi, lelaki ini sungguh tak terduga. Seperti kantong Doraemon atau juga bisa disamakan Pandora Boxs. Ada banyak kejutan darinya untuk diungkapkan kepadaku. Entah apa lagi yang selanjutnya setelah kalimat pengakuan yang baru saja dikatakannya dengan senyum surprise.