3. ERLY NATASHA

1908 Words
Masih dengan pemandangan yang sama, deretan rumah yang saling berdekatan dan cahaya yang mengintip malu-malu dari balik dedaunan rindang pohon di bibir jalan. Ibu-ibu yang nampak segar duduk bercengkrama di teras rumah, tidak lupa pula kehadiran penjual sayur yang juga membawa serta ikan segar dalam gerobaknya, melayani pembeli dengan suara ramah dan sesekali ikut bergosip. Ciri khas desa umumnya. Pemandangan itu lebih menyenangkan daripada seonggak daging berbungkus kulit di sisiku sekarang. Pergi bersamanya, membahas pernikahan, ditambah pula dengan ungkit-mengungkit surat terkutuk itu. Erly Natasha perlu moodboster! "Kamu membuatku terpesona melalui surat itu. Kenapa malah disebut surat terkutuk?" Oh, benarkah? Kamu pandai berbohong Hans. "Karena surat itu membuatku merasa terkutuk, menyengsarakan masa remajaku..." Tunggu! Kenapa aku malah berkata jujur kepadanya? Dia tidak perlu tau itu. Hans mungkin sedang tertawa di dalam hatinya. Beberapa detik kemudian aku mendengarnya. Dia tertawa, bukan di dalam hatinya. Nah, ini sangat lucu baginya. Memang, aku memang pandai menghibur orang dengan merendahkan diri sendiri. "Maaf. Erly, kamu dikagumi banyak lelaki karena surat itu, kenapa pula kamu merasa disengsarakan?" "Begitukah? Lalu ke mana para lelaki itu saat aku dibully?" Aduh, keceplosan lagi! Sekarang aku juga membutuhkan seorang untuk mendengar dan menampung masalahku. Tapi kumohon Erly, jangan lelaki ini! "Entahlah, tapi aku pengecut saat itu membiarkanmu dibully." Dia menyesal? Kalau iya, harusnya dia dikutuk karena terlalu tak tau malu, masih berani menemuiku, meskipun pengakuannya kali ini tidak buruk. "Nah, kalau kamu berpikir ide menikahiku karena permintaan maaf, kamu tidak perlu melakukan sejauh ini Hans. Aku lebih suka melepas dan jauh darimu, daripada menyiksamu dan melupakan kebahagiaanku. Ini hanya akan jadi pengikhlasan kita atas masa lalu, berbahagialah." Aku tersenyum kepadanya dengan perasaan lega. Aku belum pernah ingin berbicara kepadanya, tidak pernah mencari tahu alasan dibalik tindakan tidak biasanya hari itu. Hari terakhir MOS dan alasan kenapa surat biasa yang kutulis menjelma jadi surat cinta. Apa salahku kepadanya? Apa hal menguntungkan dari menjadikanku bahan bully-an? Apa hal penting yang bisa disebut sebab hal itu terjadi? Demi apapun! Tidak ada k********r, tidak ada kalimat hinaan, tidak ada baris kata yang salah dalam surat itu. Itulah alasan aku tidak ingin mempertanyakannya, karena kesalahan itu bukan dariku dan aku tidak ingin mendengar hal konyol apapun sebagai alasan. Aku hanya tidak ingin punya alasan untuk membenci. Aku sungguh tidak menyukai perasaan membenci. "Apa ada yang mengatakan padamu, kalau senyumanmu sangat cantik?" Hans mengucapkannya sambil tersenyum. Wajahku mungkin merona karena senyum Hans terlihat makin lebar. "Tidak ada. Orang lain biasanya mengatakan senyumanku manis." Aku mulai merasa perjalanan kami ini akan sedikit menyenangkan. Jujur saja lelaki ini cukup menyenangkan ketika dia tidak membahas pernikahan dan surat ter--, ah sudahlah! "Bagus, aku tidak suka disamakan." Aku hanya sedikit melirik, memperhatikan Hans yang entah mengapa, tiba-tiba menjadi diam, lalu Hans memberhentikan mobil di depan warung makan di daerah kota Sungailiat. "Tunggulah sebentar." Dia langsung menutup pintu mobil setelah mengatakan hal itu tanpa melihatku. "Egois, keras kepala, pemaksa dan, kurasa... tampan. Dia tidak bertanya kepadaku ingin makan dengan lauk apa dan dimasak yang bagaimana. Semaunya saja!" Aku mengotak-atik tombol-tombol di dashbor sementara menunggu Hans. Lalu suara favoritku mulai terdengar bersama lantunan surah Ar Rahman yang merdu. Aku hanya diam mendengarkan dengan seksama. "Ini tidak akan jadi hari terakhir kita bersama," Hans kembali dan tersenyum geli, sementara aku merengut karena kehadirannya jadi mengganggu. Aku menekan tombol power off. "Apa tidak ada yang mengatakan padamu kalau kamu menyebalkan?" Tampan dan menyebalkan itu tidak bersangkut paut. Tampan rupa, menyebalkan itu sikap. Hans Abdul Abdillah ini memiliki keduanya. "Ada banyak." Hans kembali menyetir. "Dan kamu masih juga ingin diingatkan hal itu olehku? Jangan sengaja membuatku kesal." "Aku ingin mendengarnya darimu. Aku merindukanmu, Erly Natasha." Guntur di siang bolong. Apa ini? Kenapa rasa deg-deg ini muncul? Dia menyampaikannya dengan tampang seserius itu. "Aku tersanjung. Pasti menyenangkan sekali untukmu menggodaku. Gadis lain mungkin akan mengatakan 'miss you too' tapi bukan aku. Huh! Aku malah lupa segala hal tentangmu." Jelas aku meremehkannya, tapi dia juga tersenyum. Aku memang melupakan lelaki ini. Seingatku dia dulu tidak banyak bicara dan sopan. Apa mungkin kadar ketampanan mempengaruhi sikapnya? "Aku tidak menggodamu. Aku sedang membujuk supaya kamu menerima lamaranku." Hans tersenyum. Seyum aneh itu lagi. "Mendengarmu terus mengatakan itu membuatku sangat ingin membenturkan kepalamu ke stir, hanya kemungkinan kita akan kecelakaan yang mencegahku saat ini. Jangan memprovokasiku, Hans." Aku memintamu untuk peka Hans. Sikap diammu barusan sudah bagus. "Oke. Aku tidak lupa kalau kamu pernah ikut ekskul silat." Dia tersenyum lagi. Apa pergi bersamaku sangat membuatnya bahagia? Tapi aku tidak senang, Hans! Karena terlalu sepi aku kembali memutar murottal. Beberapa surah lain menyertai perjalanan kami. Aku ikut sebisaku, dan Hans juga. Suaranya tidak terlalu bagus, namun ada sesuatu yang berbeda dengan suaranya yang tidak bagus ini. Aku lebih suka mengulang surah bersama suara tidak bagusnya daripada mengobrol dan memunculkan perasaan kesalku sekali lagi. Setidaknya kami punya selera Qori yang sama, untunglah. Pemandangan desa dan rumah warga berganti pepohonan dan jalanan sepi. Kami juga melewati beberapa plang pantai seperti ; Pantai Tongaci, Pantai Mang Kalok, Pantai Tanjung Pesona dan juga Pantai Parai Tenggiri. Aku sebagai seorang penyuka pantai, sudah pernah beberapa kali menunjungi mereka. Begitu Hans memarkirkan mobil di jalan setapak yang lenggang, aku langsung berlari ke arah pantai. Merasa luar biasa menyukai aroma dan desau anginnya, bahkan mengabaikan heels-ku di rerumputan terdekat. Aku bebas! Mengejar dan dikejar ombak adalah hal menyenangkan bagiku. Kekanakan? No. Pleasure! "Aku berharap hari ini aku sudah sah sebagai suamimu, sehingga aku bisa mendekapmu untuk bisa ikut merasakan kegembiraanmu." Hans muncul di sebelahku dan mengatakan hal tidak masuk akal lagi. Lelaki ini benar-benar seorang perusak mood. "Jangan berpikir terlalu jauh. Aku akan memastikan kekecewaanmu, karena kita tidak akan menikah," balasku tanpa amarah. Aku mengatakan yang sebenarnya. Sekali lagi, aku menegaskan. Erly Natasha tidak membenci Hans Abdul Abdillah, itu keinginan tulus hatiku, kalau gagal? Salahkan Hans. Lelaki ini menunduk menatapku, "Kamu sangat percaya diri. Apa alasanmu?” Aku berdiri lurus menghadapnya. Tinggiku 150 cm, itu pembulatan ke atas setelah menculik 4 cm dan lelaki di depanku ini sekurangnya 175 cm. "Hal paling nampak... tinggi. Aku tidak ingin terlihat konyol bersamamu." Memang, bagiku tinggi cukup membuat masalah. Hans malah tersenyum, "Jadi sebenarnya kamu malah merasa tidak percaya diri bersamaku? Aku yakin mereka akan mengataiku lelaki bodoh dan kamu gadis beruntung." Hans melempar pandangan ke arah laut dan langit yang terbentang di depan kami. Aku sedikit penasaran, apa lelaki ini juga menyukai pantai? "Mereka akan menganggapku melakukan pelet dan jampi-jampi. Kenyataannya, kamu memang bodoh." Aku mengatainya dan dia tergelak. Entah apa yang lucu, tapi lelaki ini tertawa. "Belum lapar? Di sini panas," Hans menyipitkan mata karena silau. "Aku takut keturunanku akan berkulit seperti zebra kalau menikah denganmu." Sebenarnya itu alasan konyol, tapi apa salahnya mencoba. Ini juga salah satu faktor penting. Kulit Hans putih bersih dan nampak halus, sementara kulitku sawo mateng, lebih dianggap cokelat bagi sebagian orang. "Aku sudah tau dirimu memang istimewa, tapi pemikiran itu sedikit tidak masuk akal Erly," Hans menarik tanganku, menjauh dari bibir pantai. Genggamannya kuat, tapi tidak menyakitkan. "Gamismu akan basah kalau terus di sini. Abi tidak akan mengizinkan aku membawamu lagi kalau kamu sampai demam." Aku segera menarik tanganku. Terngiang dalam ingatanku tentang QS. Al Israa : Jangan dekati zina! “Ada apa?” tanya Hans pucat. "Ide bagus!" kataku menghindarinya langsung berlari ke air. "Jangan Erly!" Hans menangkap tanganku. Biar kuperjelas, ini bukan adegan romantis yang akan membuatku jatuh cinta kepadanya. Kalau kalian masih ngotot, Erly akan mengecewakan kalian juga. Erly lebih suka mengecewakan daripada berbohong. "Aku tidak akan demam!" "Kamu akan demam kalau pulang basah-basahan. Perjalanan kita lebih dari 100 menit," Hans memperjelas argumennya. Mata memaksanya itu malah membuatku lebih ingin berontak. "Erly, kalau kamu memaksa... aku akan menggendongmu sekarang! Aku akan melakukannya dengan suka cita, bagaimana?" Aku tau itu ancaman. Lelaki ini cukup mengenalku karena mengatakan hal itu dengan senyum pasti dan yakin akan berhasil. Aku mengibas tangan agar dia melepasku, juga mengibaskan adegan romantis yang terbersit di pikiranku, lalu berjalan menjauh dari bibir pantai. "Pilihan yang mengecewakan," komentar Hans singkat. Aku menangkap nada geli di ujung kalimatnya. Aku tidak perlu berbalik untuk melihat senyum menawan miliknya yang merendahkanku itu. Aku menghempaskan diri, menduduki karung berisi pasir dan ditumpuk sebagai pembatas. Hans mengambil bungkusan, lalu duduk di sebelahku, "Makanlah!" Sebungkus nasi Padang terpampang di depan mataku. Aku mau, tapi memilih melancarkan aksi diam. "Kalau kamu ingin disuapi—" Aku langsung mengambilnya. Aku tidak ingin bayangan romantis bersama Hans lewat di kepalaku lagi. “Lagi-lagi pilihan yang mengecewakan." Aku mengabaikannya dan fantasi istimewa itu harus dikubur cepat-cepat, sebelum virusnya menjangkitiku dan menyihirku jadi gadis remaja yang alay. Aku membuka bungkusan dan melihat ayam kecap kesukaanku. "Aku sudah bertanya kepada Umi tentang makan kesukaanmu," Hans menjelaskan tanpa diminta. "Ini bukan paha!" Sebenarnya tidak masalah, Erly pandai bersyukur dan tidak terlalu memilih-milih makanan. Itu hanya caraku menyembunyikan rasa terimakasih dalam hati. Aku jahat? Tidak, bukan begitu. Lelaki ini sudah membuat mood-ku buruk, anggap saja itu balasan setimpal. "Pahanya habis," Hans membalas di sela kegiatan makannya. Aku makan tanpa menghiraukannya. Aku berharap melakukan hal ini dengan suamiku, tapi malah ada lelaki yang setiap ucapannya membuatku kesal di sini. Tapi tidak mungkin duduk bersama dan hanya diam bukan. "Siapa yang menolakmu hingga kamu putus asa begini?" "Erly Natasha." Jawaban lelaki ini memang singkat, tapi kalimat singkat darinya benar-benar menohok singa kekesalan dalam diriku. Aku ingin menamparnya, tapi sedikit khawatir akan perjalanan pulangku. Tidak akan ada kendaraan umum dari pantai ini hingga kota dan hari ini senin, pantai sepi, apalagi di siang seterik ini. Kalau saja akhir pekan, aku bisa meminta orang-orang yang datang mengantarku hingga kota. Percayalah masyarakat selalu saling menolong, selagi kita bisa meminta dengan beretika. "Oh, Yaa Allah!" Aku berdiri menjauh darinya. "Aku berharap bukan dirimu yang saat ini bersamaku," ucapku sambil memejamkan mata. Terserah dia mendengar atau tidak. "Maaf." Suaranya lebih enak didengar saat aku memejamkan mata seperti ini. Segala keindahan dari luarnya yang mempesona sekaligus menyebalkan jadi tidak begitu berarti lagi. Suara yang ketika membaca ayat-ayat suci dan berkata terdengar berbeda milik Hans sekali lagi mengusikku. Apa yang kulupakan tentang suara ini?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD