Namanya Hans Abdul Abdillah. Lelaki tampan yang muncul dari negeri antah berantah dan tiba-tiba saja mampir ke rumah orang tuaku dan sekali lagi, entah mengapa lelaki ini melamarku. Sikapnya masih diam, tidak ada tanda-tanda ketengilan atau unsur pengecut yang ditampakkan wajahnya saat ini.
"Maafkan dia, Nak," kata Umi canggung. Beliau bergerak ke arahku dan menuntunku kembali ke dapur.
Ini memalukan, tapi sekali lagi, ini Hans Abdul Abdillah. Lelaki pertama yang melamarku. Bersikap maklumlah kepadaku, ini pengalaman pertamaku di sukai seorang lelaki. Yah, meskipun lelaki itu secara keseluruhan aneh.
"Ada apa Erly?" tanya Umi sambil menatap mataku.
"Apa dia sungguh melamarku Umi?" Masalahnya Umi dan anggota keluargaku tidak tahu-menahu masa silam yang terjadi antara aku dan Si pelamar ini. Aku, Erly Natasha yang tidak suka mengumbar aib termasuk kepada keluargaku yang tercinta sekalipun.
"Ya. Kenapa Nak? Katanya, dia sudah memberitahumu akan datang?"
Aku juga bingung, Umi. Ini aneh dan aneh. Aku tidak bisa mengatakan lebih dari aneh atau kurang dari aneh, karena hanya aneh yang bisa mengambarkan situasi ini. "Tapi, kukira siang tadi. Kenapa dia melamarku Umi?"
Umi bekernyit. Baiklah, pertanyaanku memang terdengar bodoh, tapi yang sekarang berbicara denganku adalah Umi, Google berjalan yang selalu punya jawaban atas pertanyaanku.
"Karena dia ada rasa untukmu?"
Niat Umi mungkin menjawab, tapi aku jelas menangkap tanda tanya di akhir kalimat beliau. Artinya beliau juga masih ragu. Bisa jadi, Hans punya rasa untukku, tapi... entah kenapa aku jadi gelisah. Perasaanku tidak nyaman, seolah ini bukan hal baik. "Tidak mungkin. Apa motif di balik ini?"
"Kenapa kamu malah seperti ini Dek? Dia lelaki yang sudah pasti punya rasa kepadamu, dan kamu sudah pasti akan menyukai lelaki ini. Tampan, tidak ada cacat dalam dirinya. Apa lagi?" Ayuk angkat bicara. Dia baru saja ikut bergabung setelah membersihkan pecahan cangkir yang berhasil memperjelas keterkejutanku atas kehadiran Hans di rumah kami.
Benar. Kalau saja aku normal, aku harusnya tersanjung. Namun ini aku, Erly Natasha! Aku istimewa. Aku akan percaya kalau saja ada hal istimewa antara aku dan Hans itu, selain surat pernyataan itu. "Dia aneh. Aku tidak ingin menikah dengannya."
Umi dan Ayuk saling tatap tidak mengerti setelah mendengar penjelasan singkat dariku.
"Kamu yakin?" Umi memastikan. Aku mengangguk sangat yakin. "Mari kita temui mereka. Hidangkan tehnya. Teh... bukan kopi." Umi tanpa senyum mendahului kami.
Aku sungguh lupa tentang teh, mungkin karena terlalu gugup. Mungkin.
"Dek, kalau kamu memikirkan aku, kamu tidak perlu." Ayuk berbisik saat beriringan di sisiku yang membawa teh.
Aku diam, bukan tidak ingin menjawab, tapi pikiranku sedang menerka jalan pikiran lelaki yang sedang menunggu teh di tanganku sekarang. Kalian jangan berpikir aku akan seperti kasus kopi terkenal itu, Erly memang tidak bagus rupa, tapi Erly juga tidak ingin buruk hati.
"Terimakasih," ucap Hans tegang ketika aku meletakkan teh di dekatnya.
"Jadi kamu sungguh datang? Kupikir kamu tidak tau tempat tinggalku," kataku sinis sambil bergerak duduk. Keluargaku membeku, bukan karena Erly jelmaan Queen Elsa, ah sudahlah.
"Aku tau sudah sejak lama," jawab Hans lebih santai.
Jadi dia penguntit? Stalker? Terserahlah. Ini keputusan finalku yang disampaikan dengan nada lembut. “Hans, aku sungguh tidak ingin menikah denganmu."
"Katakan padaku alasannya." Dia terlalu jelas menatapku, dengan beraninya, di depan keluargaku.
Fine! Aku tidak akan takut. Aku sudah biasa membela diri sendiri dan sudah pernah berurusan dengan lelaki ini sebelumnya. "Aku hanya tidak ingin. Aku tidak suka kepadamu dan juga aku tidak mengenal baik kamu."
"Kalau begitu kalian bisa ta'aruf dulu," Abi menyela.
Ada apa ini?! Aku sungguh menatap beliau dengan amarah. Kali ini Abi tidak membelaku, biasanya beliau selalu jadi tameng untukku. Kali ini aku juga akan membangkang. "Abi... Adek-tidak-mau."
"Nak, bagaimana menurutmu?" Umi bertanya kepada Hans.
"Aku mau ta'aruf dengannya Umi." Hans sepertinya kecewa, tapi dia belum menyerah.
"Jadi, tidak ada yang bersedia mempertimbangkan perasaanku? Baiklah. Kamu hanya akan menyia-nyiakan waktumu, karena aku akan tetap menjawab tidak."
Aku berjalan kembali ke kamar setelah ultimatumku sukses membekukan mereka. Namun sebuah suara menghentikan langkahku.
"Aku ingin pergi bersamamu besok."
Aku berbalik badan, "Tidak mau!"
"Akan kujemput pagi, jam 10."
"Aku masih tidur!" Aku berbohong. Apa saja, asal lelaki ini kembali ke dunianya yang jauh dari kehidupan Erly Natasha.
"Aku akan datang untuk membangunkanmu." Hans tersenyum. Keluargaku membelanya, dengan ikut tersenyum, menambah rasa tidak sukaku terhadap Hans.
Ya. Aku tidak mungkin menyukainya. Bagaiman tidak? Di mana hati nuraninya sebagai manusia, dia sengaja menukar suratku dengan surat pernyataan cinta! Di mana kejantanannya sebagai laki-laki, dia sengaja membacakan surat itu di depan seluruh peserta MOS dan membuatku jadi bahan gosip sejak pertama kali aku menapak masa SMA-ku! Lalu sekarang, lelaki yang sama melamarku. Are you kidding me?
***
Aku melewatkan malam paling buruk gara-gara kemunculan lelaki itu. Kalian mengenal dia, aku tidak suka menyebut namanya. Aku sudah berusaha menyucikan hati ini dari segala penyakit yang membuatnya mati, tapi lelaki itu semaunya datang seperti tsunami, memporak-porandakan pondok-pondok taman bunga hatiku lagi. Dan pagi hari ini, dia sungguh datang, bahkan belum tepat jam 10 pagi, dia sudah mewujud dengan senyum ramah di kursi yang semalam juga didudukinya. Tentu saja disambut baik Abi dan Umi. Buktinya? Di depan sosok tampan itu ada secangkir teh yang masih mengepulkan uap dengan aroma khasnya.
"Aku tidak ingin pergi!" umumku tanpa berniat ikut duduk di ruang tamu bersamanya dan Abi. Aku masih mengenakan setelan tidur dan belum mandi secara sengaja. Dalam hati berkomat-kamit penuh harap, semoga aku tidak perlu pergi bersamanya dan semoga lelaki ini peka atas kode kerasku.
"Aku bisa menunggu. Aku sengaja datang lebih awal untuk menunggumu bersiap." Dia menyesap teh tanpa dosa.
Lelaki ini keterlaluan! Aku tidak ingin membencinya, tapi lihatlah betapa menjengkelkan sikapnya.
"Lekaslah Erly." Abi yang duduk di depan Hans ikut bersuara. Ketika Abi mengucap namaku seperti itu, artinya beliau sedang meminta baik-baik sebelum kemarahannya muncul.
Aku dengan gusar terpaksa memenuhinya. Abi tidak jahat, tapi pengaruh Hans sepertinya cukup kuat terhadap Abi. Lihat, kan? Lelaki ini memang aneh.
***
Aku kembali dengan gamis hijau kesayanganku, aku penyuka warna hijau. Salam go green! Aku berharap hari ini juga akan cepat berakhir. Namun melihat senyuman Hans, menambah rasa curigaku bahwa hari ini akan lebih menyebalkan daripada sekedar syndrom monday biasa.
"Sebaiknya kamu menggunakan kets atau plat shoes." Hans menyarankan dengan lembut saat melihatku memasangkan heels.
Kenapa dia tiba-tiba berubah normal? Berharap suasana romantis? Bersamaku? Haha just in your ekspektasi, bro! Cukuplah perbedaan tinggi di antara kami. Heels bisa membantu, sedikit. "Aku ingin menggunakan ini."
"Baiklah, ayo!" Hans bergerak mendahuluiku dan membukakan pintu mobil.
Dengan perasaan tidak nyaman aku menuruti saja kemauan lelaki ini.
"Hati-hati di jalan," kata Abi dan Umi melepasku dengan senyum manis.
Sumpah! Aku merasa dibuang. Meski aku tau pasti Umi dan Abi selalu menyayangiku, tetap saja Hans ini berbahaya. Ayuk tidak pernah diizinkan pergi berdua dengan lelaki, dan pertama kali Erly diajak seorang lelaki, Abi membiarkannya begitu saja. Kenapa Hans? Dan kenapa dia harus datang lagi di hidupku yang damai ini?!
"Kamu hebat! Keluargaku lebih memihakmu daripada aku," kataku dengan nada sinis, tapi yang kusindir nampaknya tidak terusik.
"Artinya mereka bisa mempercayakanmu kepadaku," Hans menambahkan senyum di akhir kalimatnya.
"Kamu kelihatan bahagia dengan penderitaanku ini," komentarku jujur. Mungkin saja dia belum cukup puas dengan kehancuran masa SMA-ku, makanya Hans Abdul Abdilllah ini datang sekali lagi di masa young adult Erly Natasha ini.
"Erly, aku ingin menjadi suamimu. Aku berharap bisa berbahagia bersamamu."
"Serius sekali. Maaf, aku tidak bisa."
"Setidaknya beri aku kesempatan dulu Erly." Hans menatapku dengan mata berharap.
"Kita akan ke mana?" tanyaku tidak ingin membahas hal itu lagi. Aku sengaja mengalihkan pembicaraan sebelum dia berhasil meluluhkan hatiku dengan tatapannya. Ketika mata hitam itu memohon, aku merasakan tarikan empati untuk memenuhinya. Mungkin ini alasan sikap Umi dan Abi lebih memihak Hans daripada aku.
"Pantai. Ke mana yang kamu inginkan?" Hans mengajukan opsi.
"Terserah." Salah satu rasa syukurku terlahir di Pulau Bangka ini adalah karena ada banyak pantai, aku suka pantai. Aku juga seorang wanita. Ngerti dong, kata terserah dalam kamus wanita.
"Matras?" Hans mengajukan satu nama pantai yang terkenal berada paling ujung di Sungailiat.
Aku langsung membayangkan pasir putih dengan air biru, lalu menyayangkan diri karena tidak membawa baju ganti. Tapi sebenarnya mandi di tempat umum bukan ide bagus untuk muslimah. Satu detik tercebur, maka pakaian selonggar apapun pasti membentuk lekuk tubuh dengan sempurna. "Boleh. Ke mana sebenarnya kamu ingin mengajakku?" Aku sedikit penasaran. Kalau dia sudah punya tujuan kenapa perlu meminta pendapatku?
"Pelaminan," jawab Hans yakin, pasti dan tegas.
Benar yang aku katakan, lelaki ini aneh. "Berhentilah bercanda. Kamu hanya membuatku makin tidak menyukaimu," kataku menginformasikan. Mungkin saja Hans ini masih seperti dirinya waktu SMA dulu. Playboy.
"Aku tidak bercanda, Erly. Aku ingin menikah denganmu, ingin membuatmu jadi bagian hidupku."
"Kamu terdengar memaksa." Aku meliriknya. Dia kesal, aku tidak kesal, tapi memang agak terganggu. "Apa alasannya? Kamu pasti punya sebab menginginkanku." Aku jadi berharap dia mengatakan cinta. Kalimat yang belum pernah kudengar dari lelaki manapun khusus untukku, kecuali Abi. Sebuah perasaan konyol yang ingin kumiliki dari lelaki seperti ini? Apa hatiku juga mulai memberontak? Jangan! Aku tidak butuh satu kebodohan lagi.
"Surat itu."
Jawaban Hans memang singkat, tapi kalian perlu tau makna kata itu. Pengaruhnya hampir bertahun-tahun membayangi hidupku. "i***t! Sudah cukup penderitaanku karena surat itu dan kamu melamarku karenanya? Surat terkutuk!" Aku memaki, bertekad sedapat mungkin membuatnya mengurungkan niat untuk menikahiku. Niat hatiku ketika menulis surat tersebut sangat berbanding terbalik dengan akibat yang harus kurasakan. Kejadiannya memang hanya sekali, tapi lihatlah! Beberapa tahun berlalu, sekian banyak musim bergulir dan aku, Erly Natasha masih harus terikat dengan surat itu lagi. Jadi, kita namai saja dia sebagai surat terkutuk.