04 | Devil

1657 Words
Damian berhasil. Tapi juga tidak. Rencananya untuk mengabaikan sosok mungil itu dari pikirannya hanya berhasil sementara. Kini, Damian kembali dipusingkan oleh kehadiran Sara. Ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang menjadikan Damian uring-uringan setiap sosok Sara hinggap di benaknya tanpa permisi. Damian seolah terlempar ke masa yang bahkan ia tidak mengingatnya dengan jelas. Sudah sebulan berlalu, ia berhasil menahan diri untuk tidak menemui Sara. Ada yang aneh di sini, Damian seolah mengalami kekosongan. Perasaan asing yang ia rasa, hanya Sara obatnya. Oh ayolah! Jangan menjadi t***l hanya karena perempuan! Seumur hidupnya, ia tidak peduli dengan statusnya yang masih melajang hingga kini. Dan sekarang, ia malah gelisah hanya karena Sara? Perempuan biasa yang bahkan baru beberapa kali bertemu dengannya. Damian tidak bisa mengelak. Rasa inginnya untuk dekat dengan perempuan itu semakin hari semakin bertambah. Semakin panjang jarak yang tercipta, semakin melekat kuat sosok itu dalam benaknya. Damian harus mencari tahu semua hal tentang Sara... Pintu rumah makan sederhana itu terbuka. Masuklah Sara dengan kedua temannya. Damian tidak tahu siapa mereka, tapi sepertinya merupakan karyawan Damian juga. Dari tempatnya yang berada di pojok ruangan, Damian bisa mengamati jelas sosok Sara yang tengah duduk di depan kedua temannya. Perempuan itu tak jarang mengulum senyum dengan pipi merona dan tertawa kecil. Sara dan kedua temannya tidak menyadari keberadaannya. Dan memang itulah yang Damian inginkan. Jangan sampai satu orang pun karyawannya menyadari keberadaannya di sini. Damian yang selalu makan di tempat ternama, bisa-bisanya mau duduk di bangku plastik berwarna-warni seperti ini?! Mereka pasti akan menganga tidak percaya. Damian tidak pantas berada di sini. Gayanya terlalu elegan untuk menyuap nasi dengan jari-jari lentik itu. Penampilannya terlalu mewah untuk memegang sendok dan garpu warung. Damian telah melepas jas dan dasinya. Ia tinggalkan semua itu di dalam mobilnya. Kini ia hanya mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung hingga siku, dan celana panjang bahan berwarna hitam, senada dengan jas yang ia telantarkan sebelum memasuki warung ini. Sara dan kedua temannya itu memang sering makan di sini. Menurut informasi dari kaki tangannya, Sara selalu makan di warung atau resto murah namun menyajikan makanan-makanan yang lezat. Saat Damian bertanya pada Zero, kaki tangannya, apakah Sara adalah perempuan yang kurang mampu hingga perlu repot mencari tempat-tempat murah seperti ini? Namun, Zero hanya menggeleng. Lelaki itu juga belum tahu pasti. CV Sara begitu singkat, padat, dan jelas. Tapi yang sanggup membuat Damian terkejut saat membacanya adalah status Sara yang telah menikah. Menikah. Apa Sara juga telah memiliki anak? Sepertinya tidak. Perempuan itu masih terlalu mungil untuk pernah mengandung dan memiliki perut besar, bahkan untuk melahirkan. Pesaingnya hanya satu, suami perempuan itu. Banyak pertanyaan tak terjawab di benaknya. Apa suami perempuan itu pantas bersanding dengan Sara? Apa Sara bahagia dengan suaminya? Bagaimana sosok suaminya itu hingga Sara mau menikahinya? Bukankah Damian sudah gila? Katakanlah dirinya iblis berlumur dosa. Tapi Damian benar-benar akan merebut Sara dari tangan lelaki mana pun, tak terkecuali suami dari perempuan itu sendiri. Ia pastikan, ia berjanji, Sara akan bahagia bersamanya. Damian sempurna. Damian punya segalanya. Segalanya bertekuk lutut di bawah lelaki itu. Kesempurnaan sudah menjadi nama tengah sang iblis. Apa yang perlu Sara cemaskan lagi ketika Damian sudah menjadi miliknya? Perempuan itu tinggal duduk manis dan melengkapi hidup Damian. Damian akan melakukan semuanya untuk Sara. Di seberang, Sara asyik tertawa. Tawa sederhana yang begitu menggelitik telinga Damian. Perempuan itu sesekali menyuap nasi dengan jemari telanjangnya. Tak jarang pipinya menggembung akibat nasi dan potongan lauk yang kepenuhan di mulutnya. Lucunya perempuan itu. Damian selalu terhibur di tiap detiknya karena Sara. Dering ponsel Sara terdengar hingga ke tempatnya. Meski agak jauh jarak mereka, tapi keheningan di rumah makan sederhana ini sanggup membuat kedua telinganya tetap berfungsi untuk perempuan itu. Pendengarannya menajam saat Sara mulai menjawab teleponnya. "Hallo?" Senyum manis itu tak pernah luput mendengar sang penelepon berbicara di seberang. Damian yakin, yang menghubungi perempuan itu adalah suaminya. Dasar pengusik! "...Iya. Aku sebentar lagi pulang kok... Hmm? Nggak, nggak perlu. Aku bisa naik bus, kamu tenang aja yah..." Apa?! Naik bus?! Angkutan umum?! Keterlaluan. Bila Damian yang menjadi suaminya, tidak akan ia biarkan Sara sedikitpun terancam bahaya, terkena polusi, dan berdesak-desakkan! "...Nggak apa-apa. Aku mengerti, kamu hari ini pasti sangat sibuk." Mau sibuk atau tidak, Sara tetap harus diantar! Mobil pribadi lebih nyaman dan aman dibanding dengan angkutan umum. Sudah tak terjadi tindak kriminal bahkan di tempat ramai sekali pun. Bisa bisanya lelaki itu menyuruh Sara naik bus?! Suami tak berguna. "...pasti, Drian. Pasti aku akan berhati-hati. Akan aku hubungi kamu begitu aku sampai di rumah ya? Kamu juga jangan malam-malam pulangnya. Jangan terlalu kecapaian ya?" Sara mengulum senyum seraya mengangguk. Rona merah di pipi perempuan itu membuat debaran asing di d**a Damian. Sialan! Damian benar-benar merasa seperti remaja yang baru tumbuh dan sedang kasmaran! "...baiklah Adriaaan. Sampai nanti malam. Ingat pesanku ya. Iya iya..." Suara manis itu kembali menyentaknya. Tunggu! Siapa? Nama itu tidak asing baginya. Namun, tidak. Bukankah ribuan orang di dunia ini berkemungkinan memiliki nama yang sama? *** Sudah sejauh ini tapi Sara tidak juga menyadari keberadaannya. Curiga bahwa dirinya tengah diikuti seseorang saja tidak. Sara malah asyik bersenandung kecil sambil menunggu bus datang.  Matahari masih terik, padahal ini sudah sore. Dari posisinya, Damian menggeram kesal karena silau yang membuatnya pusing melihat ke arah Sara. Ia tidak boleh gegabah. Ia harus bersabar, menunggu sampai bus yang Sara tunggu datang. Setelah beberapa menit kemudian, bus yang ditunggu perempuan itu datang. Sara dan beberapa orang di halte bergegas menaikinya, disusul dengan Damian yang berlari kecil mengejar bus tersebut. Lelaki itu naik lewat pintu belakang agar Sara tidak menyadarinya. Sialnya, seluruh bangku telah terisi! Damian harus berdiri di belakang bersama orang-orang yang sudah tidak jelas bentuknya. Wajah mereka lesu, pakaian lecak, dan tak jarang menguap di depan Damian. Tapi untungnya, Damian bisa melihat Sara dari posisinya saat ini. Tidak begitu jelas, tapi ia bisa melihat puncak kepala Sara yang nyaris tenggelam karena punggung kursi yang tinggi. Kondektur bus menghampiri Damian seraya menimang-nimang uang receh di tangannya. Damian yang tidak pernah naik bus dan malas untuk bertanya, memilih untuk mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu dan menyerahkannya pada kondektur tersebut. "Lho, Pak kelebihan nih." "Ambil saja." Damian tidak mau ambil pusing. Selain karena suara kondektur yang lumayan nyaring dan membuatnya takut Sara akan menoleh, Damian tidak pernah mau mengambil kembali apa yang sudah diberinya. Kondektur tersebut berlalu dengan senyuman bahagia, sementara Damian kembali fokus pada Sara yang bergeming. Yaa, memangnya mau melakukan apa di bus seperti ini? Sara tidak suka bermain ponsel seperti kebanyakan orang lakukan saat dalam kendaraan berjalan. Sara pasti akan merasa mual dan pusing. Yang Sara bisa lakukan saat ini hanyalah diam, dan tak jarang mengkhayal. Tidak aneh-aneh, hanya khayalan soal Adrian, suaminya. Sementara asyik memikirkan apa yang malam ini akan ia masak untuk Adrian, Sara tidak juga menyadari tatapan itu terus bertumbuk pada sosoknya. Puncak kepala Sara yang bahkan nyaris tak terlihat saja sanggup membuat Damian ingin menghapus jarak dan menyentuhnya. Lelaki itu termenung, dan tidak menyadari kini bus yang ditumpanginya telah berhenti. Sara, perempuan itu lantas bangkit dan keluar melewati pintu depan. Damian bergegas menyusulnya. Ia mengikuti saja kemana Sara mengarahkan langkahnya. Cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. Sara melewati gang-gang kecil lebih dulu sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besar rumah elit bergaya eropa. Perempuan itu menyapa singkat dengan ramah kedua satpam yang berjaga, kemudian masuk setelah seorang penjaga membuka gerbang besar tersebut. Damian berhenti, tak lupa menyembunyikan dirinya. Ia tidak bisa masuk seperti yang Sara lakukan dengan santai. Halaman rumah terlihat sangat luas dari gerbang, bahkan Damian kehilangan sosok Sara sebelum ia tahu apakah Sara telah masuk ke dalam rumah atau belum. Damian berbalik arah. Ia mungkin bodoh karena telah berjalan sejauh ini, rela naik bus, dan meninggalkan mobilnya begitu saja di dekat warung makan sebelumnya. Namun, ia tidak menyesal. Buktinya, ia bisa mengetahui di mana Sara tinggal, bukan? Perlahan, ia pasti akan mengetahui seluruhnya tentang perempuan penyita pikirannya itu. *** "Jadi apa maksudmu dengan membuntutinya diam-diam?" Zero mengangkat sepasang alisnya. Bukan hal yang tidak mungkin bila Damian bisa mendapatkan semua yang lelaki itu inginkan. Namun, tidak biasanya Damian mau melakukannya sendiri. Damian menggedikkan bahu, tak acuh. "Hanya ingin memastikan dengan mata kepalaku sendiri." "Hmm..." Zero bersedekap dengan dahi mengernyit. "Kau meragukanku?" Damian mengerling tajam. "Jangan tersinggung. Tapi aku lebih percaya dengan apa yang aku lihat sendiri ketimbang dibicarakan oleh orang lain." Zero tergelak. "Astaga, kau benar-benar tidak sabar untuk yang satu ini ya?" Laki-laki itu berdecak lantas bertepuk tangan. "Apa yang membuat perempuan ini istimewa di mata Damian Artadewa, hmm?" Damian melempar pajangan di meja kerjanya yang lantas ditangkap oleh Zero di sela tawa lelaki itu. "Diam Zero. Sudah cukup aku dibuat pusing oleh diriku sendiri." Ucapan itu membuat Zero tertegun sejenak. Tidak pernah sekali pun ia melihat Damian seperti ini. Perempuan mana yang bisa menaklukannya? Damian selalu menolak, menjatuhkan, bahkan memperingati dengan ancaman tak manusiawi pada para perempuan yang tetap mengusiknya. Iblis kenalannya ini tidak tergoda oleh lawan jenis kalangan apa pun. Bahkan Zero pernah mengira bahwa Damian adalah seorang gay. Tapi inilah buktinya. Damian dipusingkan oleh perempuan biasa bernama Sara yang bahkan tidak saling mengenal. Aneh bukan? Zero tersenyum. "Kau jatuh cinta padanya?" Damian terkekeh. Tatapan meremehkan itu ia lemparkan pada Zero yang terdengar sedang bergurau. "Aku tidak yakin. Mungkin ini hanya perasaan tertarik sesaat?" ucapnya, ragu. Zero mengangkat bahu. "Asal kau tahu saja, semua yang cinta berawal dari ketertarikan." "Jangan mengada-ada Zero." Zero mendengus. "Aku punya isteri, kau ingat? Tidak mungkin aku mengada-ada soal cinta. Lagi pula, seberapa kuat dirimu bisa bertahan hidup tanpa hadirnya cinta? Dan kini, Tuhan memperlihatkannya padamu. Kau dipertemukan oleh Sara..." Zero meringis. "Tapi sayangnya, Tuhan mempersulitnya dengan menjadikan Sara telah bersuami." Damian memukul meja kerjanya, membuat Zero sedikit tersentak dan nyaris kabur kalau saja ia tidak mengenal Damian. "Jangan ucapkan itu lagi," tukas Damian. "Ucapkan apa?" "Suaminya." Zero terkekeh. "Kau cemburu, kan?" "Persetan, Zero!" Damian bangkit dan membelakangi Zero. Kedua tangannya yang terkepal, tenggelam di saku celananya. "Aku akan merebutnya." "Kau jahat." Damian tersenyum miring. "Jika sebaliknya, kau tidak akan pernah mengenalku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD