Lelaki itu mengamati perempuan yang baru saja keluar dari Everest putih di depan gerbang besar perusahaannya. Tidak sampai masuk, mobil itu lantas berlalu meninggalkannya. Perempuan itu tersenyum manis seraya melambaikan tangan sebelum ia melangkah masuk ke arah gedung.
Sepasang matanya menajam mengamati Everest tersebut dari kejauhan. Dari dalam mobilnya, ia bisa leluasa tenggelam dalam pikiran tanpa ada yang berani mengusiknya.
Seluruh kaca Everest putih tersebut berwarna hitam legam. Tidak sedikit pun dapat memperlihatkan isi di dalamnya, seolah kendaraan itu milik negara dan begitu rahasia. Perempuan yang sempat mengusik pikirannya kemarin tersebut memang tampak biasa dari luar, namun ada sesuatu yang membuat iblis dalam diri lelaki itu tiba-tiba berbisik, betapa menggiurkannya perempuan mungil itu.
Ia tidak suka bermain-main. Selain menghabiskan waktu, ia tidak sudi menangkap satu pun perempuan meskipun mereka dengan suka rela melempar diri padanya. Mangsanya bukanlah orang-orang yang tidak ada hubungan dengan dirinya. Ia adalah kejam, selalu berhasil merenggut apa pun yang bukan haknya. Dan mendapati sendiri orang-orang tersebut menderita, merupakan kesenangan tersendiri untuknya.
Lelaki itu kembali melajukan mobilnya, memasuki pelataran parkir perusahaannya.
Roda memang berputar. Lelaki itu sendiri telah mengalami dan memercayainya. Mungkin, bukan hal mustahil untuk dirinya akan "terjatuh" dan berada di bawah seperti dulu. Maka dari itu, merampas adalah bentuk pertahanan dirinya. Ia cerdas sekaligus licik. Ia memanfaatkan fakta itu untuk merenggut seluruhnya dari orang-orang yang mengenalnya. Dari kalangan apa pun mereka berasal.
Bahkan, sekalipun orang itu telah berjasa untuk kejayaannya kini.
Balas budi? Lelaki itu mendengus, remeh. Tidak ada yang namanya balas budi. Katakanlah ia tidak tahu cara berterima kasih. Tidak apa. Itu semua memang kebaikan yang malaikat miliki. Bukan iblis seperti dirinya.
***
Sara tersenyum mendapati lift di hadapannya terbuka dan tidak ada seorang pun di sana. Tidak, ini bukan lift khusus yang kemarin ia gunakan. Ini adalah lift karyawan. Entahlah, ia hanya merasa lega karena tidak perlu berdesakan dengan karyawan lain.
Namun, ternyata pemikirannya salah. Ketika dirinya masuk ke dalam, seluruh karyawan yang tengah duduk di ruang tunggu justru ikut memasuki lift, bahkan ada beberapa yang berlari kecil agar mendapatkan ruang di dalam.
Sara yang menjadi orang pertama di lift tersebut tentu saja memundurkan langkahnya hingga punggungnya membentur dinding lift. Sara begitu mungil di antara orang-orang tersebut, menjadikan perempuan ini terhimpit dan sedikit merasa sesak. Beberapa lelaki besar yang berada di belakang bersamanya, bahkan tidak menyadari kehadiran Sara sehingga mereka terus mundur dan menjepit tubuh kecilnya.
Sara memalingkan wajah begitu punggung salah seorang karyawan laki-laki, nyaris menghimpit kepalanya. Ia berjinjit kecil, merapatkan tubuhnya pada sisi lift. Oh ya Tuhan! Perusahaan ini termasuk perusahaan terbesar, tidak sedikit lift untuk karyawan yang tersedia. Tapi mengapa mereka lebih suka menggunakan lift ini?
Ia mengembuskan napasnya, samar. Apa bedanya dengan dirinya sendiri? Sara juga lebih suka menggunakan lift ini. Selain karena letaknya yang strategis, lift ini adalah lift utama yang tentu saja lebih besar dan bagus dari yang lain. Padahal terdapat 4 lift utama, tapi tetap saja menyesakkan seperti ini.
Lift tertutup dan mulai naik. Namun, baru beberapa saat, lift tersebut kembali terhenti.
Lantai dua?
Sara mengernyit mendapati lift berhenti. Ia kontan melirik tombol-tombol lift yang menyala. Tidak ada orang yang ingin ke lantai dua karena lampu tombol tersebut tidak menyala. Huh, pasti ada orang yang ingin menggunakan lift ini juga! Belum tahu saja, betapa sesaknya lift ini karena tidak ada ruang yang tersisa.
Diam-diam Sara tersenyum geli. Pasti orang itu akan melongok melihat betapa padatnya lift ini.
Ting. Lift terbuka. Seluruh yang di dalam, nyaris lupa mengambil napas mendapati siapa yang berdiri di depannya. Ya, kecuali Sara. Jangankan menoleh untuk melihat, melirik saja ia tidak mampu karena terkurung oleh tubuh-tubuh besar karyawan lain!
"Pagi, Pak."
Sapaan yang nyaris serempak itu membuat Sara mau tidak mau penasaran, tetapi kondisinya tidak memungkinkan gadis itu untuk mengetahui siapa yang membuat atmosfer dalam lift ini tiba-tiba menegang.
Sara merutuk kesal. Kesal karena orang-orang ini. Kesal kepada dirinya sendiri yang begitu kecil!
***
Damian tersenyum, namun tidak pada kedua matanya. Dalam batin beberapa karyawan, mereka menggerutu. Lift ini sudah terasa panas karena sesak, membuat beberapa karyawan terlihat berkeringat. Lalu seakan belum cukup, Damian muncul dengan senyum tak bersahabat, membuat mereka semakin berkeringat dingin.
"Saya sedang ingin menggunakan lift ini. Bisa?" tatapannya menajam melihat karyawannya satu per satu.
"Bisa, Pak. Bisa," balas salah seorang karyawan lelaki yang memiliki postur tubuh agak gemuk. Lelaki itu kemudian bergegas keluar dari lift dan mempersilakan Damian masuk ke dalam. "Silakan, Pak."
Damian hanya tersenyum. Namun, ia tidak kunjung melangkah. Sepasang matanya masih menatap tajam beberapa karyawan yang di rasa mengganggunya.
Merasa Damian belum puas dengan penawaran karyawannya barusan, seorang lelaki bertubuh tinggi dan besar di barisan paling belakang akhirnya mengalah. Ia tersenyum dan sedikit membungkuk pada Damian begitu ia berhasil keluar dari ruang lift yang sesak.
Ternyata bukan hanya lelaki itu. Beberapa karyawan pun turut mengikuti jejaknya, keluar dari lift hingga ruangan di dalamnya terlihat cukup lapang.
Dan saat itu pula, Damian bisa melihat perempuan itu.
Damian tersenyum kepada beberapa karyawan yang mengalah. Nyaris setengah pengguna lift yang keluar untuk memberikannya ruang. Ia masuk, lantas menekan tombol penutup pintu.
Damian berdiri di bagian belakang agar semua yang berada di sana tidak bisa mengamatinya—meskipun masih saja ada beberapa yang centil dan melirik-lirik ke arah belakang! Selain alasan tersebut, ia juga lebih leluasa melirik perempuan yang menjadi tujuannya berdiri di sini saat ini.
Lelaki itu tersenyum tipis. Begitu samar hingga siapa pun tidak menyadarinya. Mendapati perempuan itu menghela napas lantas menghirup napas dalam-dalam membuat hati Damian tergelitik untuk lebih mengamatinya.
Sebelumnya ia tidak pernah menginjak lift ini. Selalu lift khusus untuknya dan para tamu pentingnya. Namun, ketika mendapati tubuh mungil itu tenggelam dalam lift yang sesak, Damian bergegas menaiki tangga ke lantai dua. Tentu saja hal itu membuat karyawan yang berlalu lalang menatapnya heran. Untunglah ia sampai di saat tepat. Kalau tidak, mungkin tubuh mungil itu akan semakin kecil karena terhimpit.
***
"Berbuat sesuatu yang mengejutkan kembali, Sara?" Fandhi terkekeh geli saat kedua mata bundar itu menatapnya, tak mengerti. "Aku hanya mendengar dari beberapa karyawan yang membicarakanmu dan Pak Damian."
Sara menghela napasnya. "Aku nggak mengerti kenapa mereka terus membicarakanku, Fandhi. Padahal itu hanya kebetulan," lirih Sara, nyaris tak terdengar kalau saja Fandhi tidak memerhatikannya.
Fandhi mengernyit. "Kebetulan?" Kemudian lelaki itu tersenyum. "Nggak ada kebetulan untuk hari ini, Sara. Mungkin yang kemarin memang kebetulan karena kamu baru di sini. Tapi hari ini, aku meragu."
Sara menelengkan kepalanya. "Aku bahkan nggak mengenalnya, lho."
"Lihat saja nanti. Sepertinya Pak Damian tertarik denganmu." Fandhi mengedipkan sebelah matanya dan mengerling jahil. "Aku penasaran melihat bagaimana cara iblis ketika jatuh cinta."
Fandhi mengigau! Gerutu batin Sara. Bagaimana mungkin teman barunya ini bisa-bisanya menggoda Sara dengan lelaki lain, bahkan yang belum Sara kenal? Apa mungkin Fandhi belum tahu bahwa dirinya ini adalah perempuan bersuami? Fandhi harus tahu, Adrian suaminya tidak tergantikan! Adrian nomor satu di hatinya. Sara bahkan tidak pernah memikirkan lelaki lain sedikit pun ketika mengenal Adrian.
"Kamu tahu, Sara? Mereka semua iri padamu." Fandhi menggedikkan dagu ke arah beberapa staff perempuan yang tengah membicarakan dan mengamati Sara dari kejauhan. "Kupikir akan seru kalau kamu bisa menang dan mengalahkan perempuan-perempuan genit itu."
Sara mengeluh. "Fandhiii, aku sudah pu—"
"Fandhi?"
Seorang perempuan cantik menghampiri kubikel mereka dan tersenyum pada Fandhi. "Aku pikir kamu belum sarapan, jadi aku bawakan roti isi," ucapnya manis seraya tersenyum pada Fandhi.
Fandhi tersenyum lebar. "Kamu pengertian sekali, Hana! Terima kasih ya." Dengan semangat, Fandhi menerima kotak bekal berwarna biru langit tersebut dan membukanya. "Sepertinya lezat. Makan bersamaku, sini."
Perempuan bernama Hana itu mengangguk. Kemudian ia menoleh pada Sara yang lantas gelagapan karena tertangkap basah tengah memerhatikannya.
"Oh iya, perkenalkan ini Hana, Sara. Dia tunanganku," ucap Fandhi menyelamatkan Sara dari salah tingkahnya.
Hana tersenyum manis seraya mengulurkan tangannya. "Hallo, Sara. Aku Hana."
Sara membalas senyum itu dengan tak kalah manis. "Aku Sara."
Fandhi tersenyum. Senang rasanya dengan kehadiran Sara yang membuat ia memiliki teman untuknya dan Hana. Perempuannya ini tipe introvert hingga Hana tidak memiliki satu teman pun. Hana tidak memusingkan hal itu, menurutnya "tidak ada teman, tidak mati". Jadi, lucu rasanya melihat tatapan antusias Hana saat bersalaman dengan Sara.
Setidaknya, dengan kehadiran teman, keseharianmu lebih berwarna.
Ketiganya berbincang tanpa memedulikan beberapa staff yang sedang bekerja dan merasa terganggu dengan suara mereka. Keseruan Hana dan Fandhi seketika membuat Sara lupa akan niatnya yang ingin memberitahukan statusnya.
***
Sara membuka pintu dan terkejut mendapati Adrian duduk di ruang tamu, menunggunya.
"Kamu udah pulang?" tanya Sara seraya menghampiri Adrian dengan langkah kecil.
Adrian tersenyum. Dikecupnya kening Sara begitu isterinya telah duduk di sebelah. "Coba cek ponselmu, Sara."
Sara menelengkan kepalanya sejenak lantas mengeluarkan ponsel dari tasnya. Kedua mata bundarnya terbelalak mendapati tiga belas panggilan tak terjawab dan lima pesan. Semuanya dari Adrian!
Sara menoleh pada Adrian seraya meringis. "Aku lupa mengnonaktifkan silent mode-nya, Adrian. Maaf ya?" Perempuan itu menatap lelakinya dari balik bulu mata.
Adrian hanya tersenyum lantas memeluk Sara. Mendekap kepala isterinya di depan d**a. "Jangan diulangi. Aku hanya khawatir, Sara. Mulai sekarang, kamu diwajibkan memberiku kabar di mana pun dan ke mana pun. Mengerti?" Adrian mengecup puncak kepala Sara yang menguarkan harum khas bayi. Adrian selalu suka aroma Sara. Adrian selalu menyukai apa pun yang ada pada diri Sara.
Dalam rengkuhannya, Sara terkikik geli, membuat Adrian mengernyitkan dahi. "Kenapa?"
Sara menarik diri dengan lembut. Ia tersenyum manis pada Adrian. "Aku bekerja, Adrian. Bukan ke tempat yang jauh dan berbahaya."
"Aku hanya merindukanmu setiap detik."
Pernyataan tulus itu tentu saja membuat wajah Sara matang tanpa seizinnya. Perempuan itu segera menyembunyikan wajahnya dalam d**a Adrian, membuat lelaki itu terkekeh geli.
"Rona wajah itu tidak dapat menyembunyikannya, Sara. Aku selalu suka karena itulah satu-satunya cara kamu mengungkapkannya, kamu mencintaiku."
Adrian mengusap lembut kepala Sara yang masih menyembunyikan wajahnya. Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguar dari puncak kepala isterinya. Adrian tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi bila perempuan tercintanya dipertemukan oleh iblis itu. Adrian merindukan aroma Sara setiap detiknya. Mencintai Sara sedalam-dalamnya sebuah perasaan.
Tidak. Sara tidak hanya bekerja, tapi juga tengah bermain dalam bahaya.
Diam-diam tangannya mengepal. Kalaupun nyawa taruhannya, ia akan tetap menjaga Saranya. Hidupnya. Meskipun ia telah pergi nanti...
***
Seringai Damian muncul begitu Haris menyelesaikan ucapannya.
"Berapa yang diminta?" tanya Damian.
Haris menyebutkan total suntikan dana yang diminta Charloz untuk perusahaannya yang tengah di ujung tanduk.
Jumlah yang diminta Charloz ternyata tidak main-main. Damian seketika tertarik dengan permainan barunya.
Damian manggut-manggut. "Bagaimana jika dia gagal mengolahnya? Apa kau memberikan syarat tertentu untuknya?"
Haris menegakkan badannya seraya tersenyum. "Tentu, Pak. Saya berikan Charloz satu syarat. Bila Charloz gagal mengolahnya sehingga tidak bisa membagi keuntungan dan malah menciptakan kerugian, Charloz harus menerima apa pun konsekuensinya."
Damian mengerling pada Haris yang tersenyum licik. Lelaki itu menyerahkan sebuah amplop cokelat di atas meja Damian. "Itu adalah kontrak yang saya buat untuk Anda, Pak. Charloz terlalu semangat mendapat suntikan dana sebesar itu, mungkin ia tidak menduga kalau perusahaan ini dengan senang hati membantunya, sehingga ia terburu-buru menandatangani tanpa mengecek apa isinya."
"Untuk saya?"
"Sebentar lagi perusahaannya akan menjadi milik Pak Damian."
"Apa pun yang kau rencanakan, kuharap tidak menjadi senjata makan tuan."
Haris hanya tersenyum dengan penuh percaya diri. Ia sudah bekerja dengan Damian dan menjadi orang kepercayaan lelaki itu cukup lama. Oh, ia benar-benar tidak salah memilih orang kepercayaan.
Damian tersenyum miring. "Kau boleh keluar."
Permainan. Ia teramat suka "bermain" dengan kebahagiaan orang lain. Sepertinya waktu sedang mengerti bahwa dirinya tengah jenuh akhir-akhir ini. Belum lagi, perempuan itu tidak jarang mampir di benaknya saat ia tengah berdiam diri. Damian harus menyibukkan diri. Dan dengan rencana barunya ini, ia yakin sebentar lagi dirinya akan dengan mudah mengenyahkan perempuan itu dari pikirannya.
Bukankah rencana baru itu adalah permainan yang terlihat menyenangkan? Damian tersenyum. Ia tidak perlu lagi dipusingkan oleh perempuan asing yang tanpa sadar telah mengusiknya.