01 | Perfect Husband

2062 Words
Aroma sedap dari dapur tercium hingga ke ruang keluarga. Di balik buku yang dibacanya, Adrian tersenyum. Ia meletakan kacamatanya di meja lantas menyimpan sumber bacaannya kembali pada tempatnya. Adrian berjalan ke arah dapur. Aroma yang membuat perutnya berbunyi kecil ini selalu mampu menghentikan apa pun aktivitas yang tengah dilakukannya. Lelaki itu tersenyum, menghampiri tubuh mungil yang tengah membelakanginya. Perempuan itu masih tidak menyadari keberadaan Adrian karena terlalu asyik menabur bumbu di atas panci sup ayamnya. Seraya bersenandung kecil, kepala itu bergoyang-goyang membuat Adrian terkekeh kecil. Mendengar kekehan tersebut, membuat senandung kecil dari bibir perempuan itu terhenti. Baru saja ingin menoleh ke sumber suara di belakangnya, Adrian telah memeluk perempuan itu dari belakang. Begitu mungil dalam kuasa lengannya. Dikecupnya puncak kepala yang kini kembali asyik pada masakannya. "Kenapa berhenti?" tanya Adrian, lirih. "Mm?" perempuan itu hanya bergumam. Tidak yakin apa yang dimaksud Adrian. "Kembali bernyanyi, Sara. Aku mau mendengarnya lagi..." Perempuan bernama Sara itu terkikik kecil. "Meskipun suaraku seperti tikus kejepit?" guraunya. Adrian tersenyum. Walaupun Sara tidak dapat melihatnya, namun perempuan itu tahu karena setelahnya Adrian mencium lekukan lehernya. "Suaramu seperti burung Kenari. Semerdu itu yang aku dengar." Gerakan mengaduk kuah sup yang Sara tengah lakukan, melambat. Kedua pipinya merona. Dalam hatinya, ia bersyukur saat ini tengah membelakangi Adrian. Meskipun mereka sudah tinggal di satu atap selama tiga bulan lebih, bukan berarti Sara tidak lagi memiliki alasan "malu" dipuji maupun digoda oleh suaminya sendiri. Berada di sisi Adrian, membuat jantungnya terkadang masih berulah seolah mereka baru dipertemukan. Adrian, dengan segala kelebihan lelaki itu dan kekurangan yang bahkan Sara tidak peduli, selalu bisa membuat Sara merasa paling beruntung di dunia! Menikah di usia muda sepertinya bukan suatu hal yang mudah. Namun, siapa yang akan menolak ketika lelaki mapan, tampan, dan nyaris sempurna tiba-tiba datang melamar dan mengatakan bahwa ia telah mencintai sejak lama? Awalnya Sara berpikir, apakah ia dipermainkan? Pasalnya, oh demi Tuhan! Siapa Sara? Ashara Awla Havisa, perempuan biasa yang bahkan termasuk dalam kategori nggak-pantas-dijadikan-isteri atau belum. Di usianya yang baru menginjak 25 tahun, ia harus berperan sebagai isteri. Muda untuknya karena ia bahkan baru resmi menjadi sarjana beberapa bulan sebelum ulang tahunnya yang ke 25 tahun. Di saat teman-temannya sudah wisuda lebih dulu, Sara masih harus bekerja mencari uang demi membiayai dirinya sendiri. Sara pintar, namun tidak secerdas yang lain sehingga belum layak mendapat beasiswa di kampusnya saat itu. Belum lagi, jadwal kuliah yang padat membuatnya harus pulang larut malam karena langsung pergi bekerja setelah jam kuliah. Sara tidak lahir dari keluarga kaya raya, bukan juga dari keluarga serba kekurangan. Namun, peristiwa yang merenggut nyawa kedua orang tuanya saat ia bahkan baru berkenalan dengan skripsi membuatnya tidak punya pilihan lain untuk mengambil cuti kuliah sementara dan mencari uang sendiri. Alhasil, ia begitu iri dengan teman-temannya yang telah menikah namun sempat merasakan indahnya bebas dari segala tuntutan dalam waktu yang cukup lama. "Kamu melamun?" bisik Adrian membuat Sara meringis kecil. "Kamu ngomong apa tadi? Maaf ya?" cicit Sara. Meskipun Adrian tidak marah, tidak pernah sekalipun marah bahkan membentak Sara, perempuan itu tetap takut untuk menyentil perasaan Adrian karena kecerobohan yang sering tak sengaja dilakukannya. Adrian tersenyum seraya mengusap rambut isterinya. "Nggak apa-apa. Tapi lain kali jangan masak sambil melamun. Hampir aja kamu ikut merebus jari-jarimu sendiri." Sara mengulum senyum lantas mengangguk. "Biar aku yang siapkan. Kamu tunggu di meja ya." Sara tertegun mendengar tawaran Adrian. Bukan sekali dua kali Adrian selalu menawarkan untuk menyiapkan makan malam mereka seusai Sara menyelesaikan masakannya. Lelaki itu akan dengan senang hati menghias meja makan mereka menjadi seperti restoran bintang lima. Dan bukan sekali dua kali juga Sara tertegun mendengar penawaran itu karena ia pikir, semua lelaki yang berstatus suami ingin sepenuhnya dilayani. Tidak setengah-setengah seperti ini. Namun, Adrian malah bersedia membagi tugasnya meskipun lelaki itu pun sibuk dengan pekerjaannya, membantu Sara bukanlah suatu hambatan. Hal yang Sara paling sukai ketika ia tengah mencuci piring saat itu. Adrian dengan santainya meraih piring tersebut dan mencucinya. Diiringi senyuman, lelaki itu mengatakan. "Kamu sudah mencuci piring-piring dan semua sendok itu. Biar aku yang mencuci mangkuk-mangkuk ini." Betapa beruntungnya ia memiliki suami penyayang dan begitu romantis seperti Adrian. Pandangan pertama yang mampu membuat Sara tertarik pada Adrian. Jarak yang dekat membuat Sara merasa nyaman dengan kehadiran Adrian. Kehangatan serta romantisnya Adrian pun sanggup membuat Sara semakin mencintai lelaki itu. Setiap hari, semakin bertumbuh perasaannya. Ia menikah tanpa dasar cinta. Meskipun Adrian sendiri mengatakan perasaan cintanya pada Sara saat ia melamar perempuan itu, tapi tidak dengan Sara yang bahkan saat itu takut menatap Adrian. Namun, semua perlahan berubah. Adrian seperti pangeran dalam dongeng kisahnya. Lelaki itu selalu menyenanginya dengan perlakuan-perlakuan manis di setiap harinya.  "Oke." Hanya itu yang bisa dikatakan Sara. Perempuan itu tidak bisa membantah Adrian. Kelembutan dan kehangatan lelaki itu adalah kelumpuhannya. *** Tinggi Sara hanya setinggi d**a Adrian. Hal itu membuat bibir Sara diam-diam mengerucut karena seluruh orang yang bekerja di perusahaan Adrian tersenyum-senyum seolah tengah menertawainya. Selalu seperti ini setiap ia berkunjung ke kantor Adrian. Tidak jarang memang, ada yang menyapanya dan melempar senyum ramah, namun ia jadi merasa bahwa mereka semua melakukan itu semata karena statusnya sebagai isteri Adrian Dermaga. Sara tidak kecil! Ia hanya hidup di antara manusia-manusia yang mengidap akromegali! Itu berarti Adrian juga mengidapnya? Tidak! Ugh, baiklah Sara mengaku. Sejujurnya, ia benci menjadi pendek! Susah dapat kerjaan, dipandang anak kecil, dan selalu kesulitan kalau ingin mengambil panci khusus yang tergantung di dinding teratas! Sara mengetuk pintu ruang Adrian sampai lelaki itu mempersilakannya masuk. Adrian tersenyum. Selalu seperti itu untuk menyambut kedatangan Sara. "Ada apa, Sara?" tanya Adrian seraya menghampiri Sara. Perempuan itu terlihat ragu meninggalkan ambang pintu sampai Adrian sendiri yang menuntunnya ke dalam. "Ng..." Sara menggigit bibirnya. "Tapi kamu jangan marah ya?" Adrian terkekeh. Kapan ia pernah marah pada Sara? Lagi pula, siapa yang berani melukai perasaan lembut perempuan polos ini? Adrian kembali duduk di kursi kerjanya. Lelaki itu menepuk-nepuk ringan pahanya sendiri, menyuruh isterinya untuk duduk di pangkuannya. Sara terlihat ragu, namun tetap melakukan perintah itu. Posisi tersebut tentu saja membuat wajah keduanya kini nyaris tidak berjarak. Dagu Adrian begitu pas dengan lekukan hidung mungil Sara, membuat perempuan itu diam-diam menelan ludah. "Mmh, Drian?" Adrian hanya bergumam dengan kedua mata terpejam. Posisi ini membuatnya nyaman. Puncak kepala Sara terasa begitu pas untuk dagunya. Dan lelaki itu selalu suka ketika Sara menyebut namanya. "Aku mau kerja." Kedua mata Adrian kontan terbuka. Menatap Sara dengan pandangan tidak mengerti. "Kamu mau kerja?" Sara manggut-manggut dengan mata membulat. "Aku bosan di rumah. Boleh?" Adrian berpikir sejenak. Lelaki itu kemudian mengeluarkan ponselnya. "Sebentar, aku tanya dulu, apa masih ada lowongan kerja untuk—" Sara langsung menggeleng kuat dan menahan tangan Adrian yang menggenggam ponsel. "Nggak, jangan. Maksud aku, jangan di sini. Aku mau kerja di tempat lain." Adrian semakin mengernyit. Perlahan ia mengangguk paham walaupun tidak sepenuhnya. "Kenapa?" tanyanya lembut. Sara tersenyum. "Aku nggak mau semua karyawan kamu menganggap aku ini KKN." Lelaki itu terkekeh geli mendengar pernyataan Sara. Ditatap isterinya dengan pandangan geli. "Kamu tahu itu nggak akan terjadi, Sara. Aku akan langsung memecat mereka yang berani mengusikmu nantinya." Sara menjentikkan jemarinya. "Justru itu, Drian. Aku takut kalau kamu memecat mereka, mereka akan keluar dari perusahaan ini dengan perasaan benci sama aku. Bagaimana?" Sara menyatukan telapak tangannya. Menampilkan tatapan memohon pada suaminya untuk mengizinkannya bekerja. "Boleh ya, Drian? Aku bosan di rumah." Adrian menghela napas. Meskipun tidak rela Sara ikut bekerja, Adrian tetap mengangguk kecil membuat Sara memekik senang dan memeluknya erat. Bagaimana ia bisa menolak? Keluguan dan senyum perempuan ini adalah kelemahannya. "Aku carikan pekerjaan yang layak untukmu." Sara manggut-manggut semangat. Dibantu Adrian—yang pastinya menyuruh bawahannya untuk melakukannya—pekerjaan yang Sara inginkan akan lebih mudah didapatkan. Sara tidak ingin bermuluk-muluk meminta, pekerjaan apa pun membuatnya sudah cukup bahagia karena merasa tidak perlu mati kebosanan di rumah. Tapi itu tandanya, Adrian akan semakin jarang melihat senyuman Sara ketika ia pulang kerja. Semakin jarang melihat kedua mata bundar yang terpejam dan bibir mungil yang sedikit terbuka karena tidak sengaja tertidur sewaktu menunggu Adrian pulang. Adrian dengan kuasanya, bisa pulang kapan saja. Bahkan bisa menyuruh orang untuk menggantikannya. Namun, lelaki itu tidak percaya siapa pun sehingga mengerjakan semua yang memang tugasnya dengan seorang diri. Setelah sekian dalamnya luka pengkhianatan, tidak akan lagi ia memercayai seorang pun untuk merasakan semenit pun berada di posisinya. Alhasil, perusahaannya kini semakin lama semakin berkembang. "Drian? Aku pulang ya?" lirih Sara membuyarkan lamunan Adrian. Dikecupnya dahi Sara lantas tersenyum. "Kita pulang sama-sama." "Lho, kamu nggak lanjut kerja? Kelihatannya tadi kamu sibuk?" tanya Sara dengan kepala meneleng. Adrian hanya tersenyum membalasnya. Pekerjaan bisa nanti. Tapi waktu bersama Sara mengapa terasa semakin sempit saja? *** Seorang karyawan yang baru saja keluar dari ruangan itu menangis, membuat beberapa temannya bertanya-tanya apa yang dilakukannya hingga membuat bos besar murka? Namun, perempuan itu hanya menggeleng tidak tahu. Beberapa senior bahkan atasan yang melihat hal itu pun merasa iba, tapi mereka tidak dapat melakukan apa pun bila tuannya sudah seperti ini. Ruangan itu memang dingin, di tambah dengan sosok tampan yang mematikan, ruangan tersebut lebih menyerupai neraka panas bagi siapa pun yang berani masuk dan mengusiknya. Tidak berniat mencari masalah, mereka semua menjauhi ruangan tersebut. Pintu tertutup rapat, namun aura dingin masih menusuk semua orang yang menatap ruangan tersebut ingin tahu. Kali ini korbannya adalah karyawannya sendiri yang bahkan baru bekerja tiga minggu lalu. Bisa dikatakan, setiap murka seperti ini, bos besar mereka selalu memecat langsung orang-orang yang dirasa melakukan kesalahan. Sekecil apa pun itu jika mereka berbuat di kondisi yang tidak tepat, bersiaplah terkena semburan api sang tuan. Meskipun begitu, mereka menghormati bahkan menyayangi bos mereka. Siapa yang tidak tergiur dengan jaminan setiap bulan dapat kenaikan gaji? Belum lagi, meskipun dingin dan tidak tersentuh, bos mereka peduli pada nasib para pekerjanya. Tidak perlu ijazah maupun gelar sarjana untuk bekerja dengannya. Yang tuan mereka lihat adalah kemampuan dan pengalaman yang matang. Ya, kecuali ketika mereka tengah sial seperti yang perempuan tersebut alami. Tidak jarang mereka merasa takut bekerja di sini hanya karena dinginnya sang tuan, tapi rasa senang mereka bekerja di perusahaan ini lebih besar dari pada rasa takutnya. Beberapa karyawan perempuan bahkan sempat berpikir, bisakah salah satu dari mereka mengubah bos besarnya dengan sebuah ketertarikan? Tidak jarang dari para perempuan di sana selalu merias diri agar "terlihat" dan menarik di depan bos besarnya sendiri. Meskipun mereka tahu hal itu sia-sia, tapi siapa yang tahu bila kesempatan datang di waktu kapan saja? *** Sara merangkak masuk ke pelukan Adrian yang tengah tertidur. Sadar suaminya belum tertidur, Sara berdeham kecil dan mendongak membalas tatapan Adrian. "Aku sudah mendapatkan pekerjaan." Ucapannya tentu membuat Adrian mengernyit. Belum ada kabar apa pun dari Reno yang menyatakan sudah ada pekerjaan yang layak untuk Sara. Adrian tidak ingin Sara mendapat pekerjaan yang menguras fisik maupun pikiran Sara. Pekerjaan layak yang dimaksudnya adalah pekerjaan ringan, kalau perlu yang di balik meja. "Kamu mencari pekerjaan sendiri?" sepasang alis Adrian bertaut. Sedikit tidak suka mendapat kenyataan Sara diam-diam pergi mencari pekerjaan sendiri tanpa sepengetahuannya. Sara meringis kecil. "Maaf, aku sudah nggak sabar bekerja soalnya." Adrian menghela napas. Mencoba mengerti posisi Sara yang nyaris mati kebosanan di rumahnya. Meskipun semua dapat Adrian berikan, tapi pekerjaan menurut Sara memang lebih baik untuk mengusir rasa bosan. Lelaki itu tersenyum menatap sepasang mata bundar Sara. "Kamu tahu, Sara? Sebenarnya kamu nggak perlu. Aku bisa menghidupimu hingga kita tua bersama, dan setelahnya anak-anaklah yang akan menghidupi kita." Sara tersenyum mendengar ucapan Adrian. Hatinya menghela napas. Belum ada tanda-tanda ia dan Adrian akan segera memiliki momongan. Meskipun mereka telah berusaha... Yah, kalian tahulah apa yang dimaksud dengan Sara dalam "berusaha". Jangan memancingnya! Hal ini membuat wajahnya mendadak matang! Adrian yang melihat perubahan warna wajah Sara lantas menyentuh dahi isterinya. "Kenapa Sara? Kamu sakit?" Sara lantas menggeleng. "B-bukan." Duh, kenapa suaranya sangat kecil dan gugup?! Batinnya menggerutu. Adrian kembali mengernyit, namun tidak bertanya lebih jauh. Ia takut Sara merasa tidak nyaman karena perempuan itu tengah membuang arah pandang ke segala arah. Salah tingkah. Geli rasanya melihat isterinya seperti ini. Tapi dengan menertawakan Sara meskipun itu menghiburnya, bukanlah tindakan yang tepat. Adrian tahu, perempuan ini masih malu dengannya setiap mereka berdekatan. Namun, terkadang tindakan polos Sara seperti merangkak ke pelukan Adrian tadi, justru membuat lelaki itu ingin menggoda isterinya habis-habisan! "Jadi?" Adrian memecah keheningan. Diamnya Sara membuat ia semakin ingin melumat bibir mungil yang tengah mengerucut itu. "Aku bekerja untuk bekerja, Drian." Sara memberikan senyuman manisnya yang membuat Adrian tidak tahan lagi untuk melahap habis bibir perempuannya. Dalam sinar temaram sang bulan, mereka kembali "berusaha".
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD