Rasa Sakit

1143 Words
Celline melangkahkan kaki dengan kecepatan yang mampu ia lakukan menuju pintu keluar flat. Detik demi detik berlalu dengan lambat. Ibarat sebuah adegan, gerakan Celline seolah memiliki efek slow motion tersendiri. Setiap langkah yang ia ambil mampu bergerak dengan sangat lama, menjadikan gerakannya seolah bisa diabadikan dalam adegan per adegan. Saat Celline sudah hampir mencapai sisi pintu, sebuah sabetan sangat kuat ia rasakan di sekitar punggung belakangnya. Menciptakan rasa perih dan nyeri yang tak terkira. "Aaaarggggggghh!" Kaki Celline tertekuk, membiarkan tubuhnya jatuh berlutut menahan rasa sakit. Kedua tangannya menggapai engsel pintu yang hanya berjarak satu meter. Dia merangkak mengenaskan, mengambil gerakan sekecil apa pun untuk bisa sampai di pintu flat yang saat ini seperti sebuah jalan keluar satu-satunya. Pintu itu adalah penolong bagi Celline menuju dunia luar, sebuah dunia yang bisa menjadi dinding bagi Celline dengan lelaki yang telah ia anggap sebagai monster. Setidaknya, setelah ia keluar dari flat ini dan berlari turun ke lantai dua, Celline berharap seseorang di luar sana tidak akan membiarkan kekerasan John berlanjut. Flat ini merupakan penjara tersendiri bagi Celline. Entah dunia yang sedang bekerja sama untuk memperoloknya, atau nasib yang bekerja sama untuk menjebaknya. Flat yang dihuni Celline merupakan flat sederhana yang sedikit bobrok. John mengambil flat yang paling murah di sebuah kawasan kumuh di pinggiran Washington D.C.. Flat dengan ukuran kecil yang berada di lantai tiga. Kanan kirinya tidak ada penghuni lain. Mungkin, memang tidak ada orang lain selain John yang bersedia menempati flat seperti itu dengan harga miring dan sering kali melalukan tunggakan sewa bulanan. Karena flat ini jauh dari tetangga, dampak buruknya adalah jika terjadi hal-hal apa pun yang tidak baik di flat mereka, tidak ada orang yang cukup peduli untuk mengeceknya. Celline tak memiliki harapan yang cukup tinggi selama ia masih terjebak di flat ini dengan seorang monster seperti John. Dia hanya akan memiliki akhir yang tragis. "Kamu mau ke mana, Sayang?" Tawa John menggelegar, menunjukkan seolah-olah jiwanya memang telah cacat secara permanen. Celline semakin merangkak menjauhi John. Wajahnya pucat penuh rasa takut. Pintu itu semakin dekat, tetapi entah kenapa terasa seperti sangat sulit untuk Celline gapai. Tangan dan kakinya gemetar hebat, campuran antara syok dan rasa nyeri baru yang ia dapatkan dari sabetan ikat pinggang John yang ujungnya dari besi. Celline yakin pasti bagian punggungnya akan memiliki bekas lain lagi dari tindakan John kali ini. "Aaaarrrggggg. Tidak John. Tidaaaaaaakkkkk!" Celline berteriak keras saat kakiknya diseret dengan tiba-tiba oleh John. Lelaki itu semakin tertawa mengerikan. Memberikan efek yang menakutkan di ruangan flat. Seolah-olah aura di ruangan ini berubah kelam secara mendadak. "Kau mau ke mana, hah? Kau mau ke mana? Istri sepertimu harus diberi pelajaran!" teriak John tak kalah keras dari jeritan Celline. Celline mencoba menberontak dan menendang John dengan seluruh tenaga yang ia miliki. tangannya mencoba menahan tubuhnya melalui benda apa pun yang bisa ia gapai. John masih saja menyeretnya, menuju ruang tengah yang berisi satu set sofa usang dengan warna cokelat pudar. Kain pelapisnya telah mengelupas di beberapa sisi. Menunjukkan bahwa sofa ini sama bobroknya dengan flat yang Celline tinggali. "Kumohon, John. Tidak! Jangan!" Celline menggeleng lemah, menolak apa pun semua tindakan John yang kini lelaki itu perbuat untuknya. Bukannya berhenti, John justru kesetanan. Dia tetap menarik kaki Celline dan tidak membiarkan wanita itu memberontak. Tangan Celline berhasil menggapai ujung pembatas ruang tengah. Dia menahan dirinya sendiri dan menendang John dengan tenaganya yang tersisa. John sempat kewalahan. Dia melepaskan Celline dan terjengkang ringan ke belakang. Melihat keadaan ini, Celline mencoba melepaskan diri. Dia berlari semampu tenaganya bisa dan menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan John. Baru saja ia menoleh, sebuah vas dengan ukuran sedang yang terletak tak jauh dari meja televisi di ruang tengah segera melayang ke arahnya. John sudah tidak lagi memiliki akal sehat. Otaknya habis digerogoti oleh minuman keras dan narkotika yang ia konsumsi akhir-akhir ini. Baginya, Celline adalah mangsa yang mau tak mau harus ia lumpuhkan dengan segala cara. Celline mencoba menghindar. Dia menoleh ke samping kiri dan menunduk ke bawah, Melindungi kepalanya. Tetapi gerakannya tak cukup cepat. Vas keramik itu tetap saja mengenai sisi kepalanya sebelah kiri. Rasa pusing baru menyerang Celline degan tiba-tiba. Dia membeku. Melihat vas keramik tersebut jatuh berkeping-keping ke lantai dengan suara nyaring. Ada noda darah yang menyertainya. Kepala Celline terasa berat. Dia berkunang-kunang dan nafasnya menjadi terputus-putus. Secara otomatis, tangannya menggapai sisi kiri kepalanya. Ada rasa lengket yang cukup familier. Bau anyir kemudian menyerang hidungnya dengan aroma yang sangat kuat. Kedua mata Celline berkaca-kaca. Menahan semua rasa sakit yang membuat kepalanya terasa dihantam berkali-kali. Kaki Celline berusaha ia gerakkan dengan sekuat tenaga. Di tengah rasa sakit baru yang menyerang Celline, satu gerakan saja membuat kepalanya merasakan denyut luar biasa yang berulang kali. Gerakannya jadi terhambat dan berhenti di beberapa titik. "Kau mau ke mana, jalang?! hah?!" "Tidak, John. Tidak. Tidak. Jangan lakukan apa pun lagi … padaku …." Suara Celline terpatah-patah. Dia sudah meluruh ke lantai keramik yang dingin, merasakan bau apak di lantai yang sudah lama dibiarkan tak terawat. Beberapa bagiannya ada yang sudah terlihat retak-retak. Ctaaarr Ctaaarr Suara cambukan dari ikat pinggang menembus kain tipis yang Celline kenakan. Membuat ia semakin terpuruk lagi di lantai dengan sangat mengenaskan. Celline menjerit kecil, tersiksa oleh rasa sakit yang seperti tak berkesudahan. Dia mencoba memberontak dan menahan kemarahan suaminya dengan sekuat tenaga. Tetapi sisa kekuatannya telah lenyap. Meninggalkan rasa keputusasaan baru yang menyerang dirinya. Tangan Celline lemah. Gerakannya terbatas. Teriakannya juga tak lagi sekuat dulu. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah melindungi tubuhnya sendiri dengan tangannya, berharap dengam begini bisa mengurangi cambukan John yang kesetanan. John seperti orang gila. Dia tak berhenti mencambuk Celline hingga kemudian istrinya terlihat melemah dan terpuruk seperti kain tipis yang tak berguna. Tubuh wanita itu menarik oksigen dengan gerakan susah payah, mencoba mengisi paru-parunya yang terasa panas dan sakit. "Tunduklah padaku, Sayang! Sudah kukatakan kau tak berhak melawanku!" Suara John terdengar samar-samar di telinga Celline. Wanita itu sudah berada di ambang batas kedaran. Menyerah dengan kegelapan yang terasa lebih menggoda. Di akhir kesadarannya, Celline berbisik lirih dalam rasa sakit yang mendera. Bisikan yang hanya ia dan Tuhan yang tahu. Bisikan kecil yang keluar dari sudut hatinya yang terdalam. "John, kenapa kau tak membunuhku saja sekalian?" Bisikan itu hanya mampu didengar oleh angin dan hilang lenyap tak tersisa. Meninggalkan kata hati Celline hanya sekadar gerakan bibir tak bermakna. Tak jauh dari Celline terpuruk, tampak John yang tertawa puas. Wanita yang menjadi istrinya ini terlalu tak berguna. Dia hanya membawa kesialan saja di hidupnya. Apa untungnya mempertahankan istri seperti itu? Jika wanita itu bisa dijual dengan harga tinggi dan ada lelaki yang cukup bodoh untuk menbelinya, kenapa John harus keberatan? Hidupnya saat ini hanyalah tentang uang. John akan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang yang sangat ia butuhkan. Tak peduli jika ia harus menjual istrinya sekalipun. Sesuatu yang sebenarnya menjadi tindakan paling bobrok dalam hidupnya. …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD