Terms and Conditions

1684 Words
Perlahan mata Rick membuka. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri, ia sama sekali tidak tahu. Matanya menatap langit- langit sementara ia berusaha menemukan kesadaran. Samar- samar hidungnya mencium bau steril yang memuakkan. Tentu saja, ini rumah sakit. Perlahan Rick mulai ingat bagaimana ia bisa sampai di sana. Ya, ia ingat uang- uang minimarket yang terbang di atas kepalanya dan hantaman kap depan mobil tepat di pinggangnya. “Sudah bangun?” sapa sebuah suara dari seberang ruangan. Pelan- pelan, Rick menoleh ke arah suara yang sudah ia kenal lama itu. Ada Danish, sahabat lamanya yang beranjak dari sofa di kamar rawat itu. Di samping temannya itu terdapat sebuah gawai berwarna hitam yang ia geletakkan begitu saja di sofa. “Kamar VIP?” tanya Rick sambil memutar bola matanya ke seluruh ruangan. ‘Tapi ini mahal sekali!” Mendengar itu, Danish terkekeh. “Aku sama sekali tidak mengira kata ‘mahal’ adalah kata yang akan kau ucapkan begitu kau sadar, Rick. Kukira kau akan mengalami amnesia dulu atau semacamnya.” Rick mendengus kesal, tapi sekaligus senang. “Yah, sayang sekali ini bukan di film- film. Kau… meminta aku ditempatkan di sini?” “Ya,” sahut Danish singkat. Seketika Rick mengerang. “Tidak usah cemas, aku yang menangani pembayarannya,” tambah Danish lagi. “Ya, aku sudah menduga kau akan melakukan ini makanya aku mengerang.” “He, kau seharusnya berterimakasih padaku, bocah! Kalau saja kepalamu tidak dijahit tadi.” “Apa?” seru Rick, membelalakkan mata. Ia meraba- raba kepalanya. Oh, benar juga. Ia merasakan perban dan denyutan sakit di balik perban itu. “Kau baru menyadarinya?” ejek Danish. “Biar kutambahkan. Kakimu juga patah, jadi sekarang masih di­-gips dan masih diperban.” Rick melirik ke arah kakinya yang ia abaikan sejak tadi. Sekali lagi ia mengerang. “Jangan banyak mengeluh,” kata Danish. “Lebih baik kau ceritakan apa yang terjadi tadi. Aku kaget begitu teman kerjamu itu, …siapa namanya? Bryan? Dia meneleponku dan mengatakan kau kecelakaan.” “Ya,” kata Rick. “Astaga, memalukan sekali. Aku sempat mencuri di minimarket tadi, dan aku langsung diberi karma dengan kecelakaan ini.” “Kau tadi hendak melarikan diri, ya?” “Ya. Aduh, Bryan masih sempat meneleponmu untuk mengabari keadaanku tadi? Orang baik, dia. Aku jadi menyesal tentang pencurian tadi. Padahal aku berencana melimpahkan kesalahan tentang pencurian itu padanya karena tadi sudah masuk jam kerjanya.” “Kau memang bodoh,” komentar Danish mengangguk- angguk khidmat. “Bryan sudah berjanji untuk tidak memperbesar masalah ini, begitu katanya. Dan untunglah tadi aku berada tidak jauh dari tempat kejadian. Aku sudah mengira kau barusan mencuri begitu melihat beberapa lembar uang menutupi wajahmu. Sejujurnya itu lucu sekali, kalau kau bayangkan.” Rick memasang tampang meringis begitu membayangkan wajah pingsannya sendiri dengan setumpuk uang di atasnya. “Ya, konyol sekali. Astaga, apa yang aku perbuat?” “Aku tahu hidupmu serampangan dan miskin,” kata Danish sejujur- jujurnya, “Tapi kau pasti tahu bahwa aku takkan menolak untuk meminjamimu uang, berapapun yang kau butuhkan. Kau teman baikku sejak dulu.” Rick diam. Ia memang tahu tentang itu. Tapi ia sudah berhutang banyak pada Danish, entah sejak kapan ia juga lupa. Setidaknya ia masih punya harga diri dan masih punya muka untuk tidak mengulanginya. Namun Danish seakan bisa membaca jalan pikiran Rick. “Apa? Kau memikirkan harga diri, buds?” tanyanya. “Memangnya harga dirimu lebih terselamatkan saat menjadi pencuri gagal daripada meminjam uang padaku?” Rick memandang Danish jengkel. “Tidak usah disuarakan begitu kalau kau sudah tahu pikiranku.” “Nah! Sepertinya otakmu sudah berada di jalan yang benar!” kata Danish seraya menepuk bahu temannya. “Beristirahatlah. Kau lebih suka istirahat yang tenang atau berisik?” “Berisik?” ulang Rick dengan kening berkerut. “Maksudmu?” Danish tidak menjawab. Alih- alih ia kembali ke sofa untuk mengambil kembali gawainya, lalu mendekati Rick lagi. “Ini prototipe barang buatan perusahaan kakekku,” kata Danish. “Ada sensor perasanya, dan permainan di dalamnya membuat kau bisa merasakan apa yang terjadi di sana. Kalau kau ditonjok di perut, kau akan sakit perut.” “Virtual reality?” tanya Rick. “Bagiku ya, tapi menurut kakekku tidak. Beliau tidak ingin menyebutnya seperti itu, sebab beliau mengklaim kalau gawainya ini lebih real. Nyata.” Danish memberikan gawai itu ke tangan Rick. Dengan seksama Rick mengamati tiap inci bagiannya. “Aku tidak menyangka perusahaan kakekmu akan membuat benda seperti ini. Maksudku, kukira beliau terlibat dalam teknologi yang lebih canggih, seperti … pemindahan manusia ke Mars? Atau komunikasi dengan kecepatan melebihi pesawat Concorde? Atau apalah itu?” Danish tertawa terbahak- bahak. “Ah, akhirnya! Kata- kata bijaksana yang keluar dari otak yang benar- benar berpikir.” Rick hampir saja berniat melempar gelas tepat ke muka kameradnya itu. “Tapi kau benar,” sambung Danish begitu tawanya mereda. “Permainan ini hanya side project atau proyek sampingan di sana. Kakek memang lebih fokus pada teknologi kecerdasan buatan dan otomatisasi. Tebakanmu hampir tepat sebenarnya, karena sekarang beliau diajak bekerjasama dengan pemerintah tentang misi ke Mars.” “Pemindahan manusia?” “Lebih tepatnya menjadikan Mars seperti bumi. Tidak cuma Mars saja, tapi juga planet terdekat yang memiliki kandungan air cukup banyak dan berpotensi menjadi seperti Bumi.” “Untuk apa?” “Sebagai pemukiman sementara, sekaligus merevitalisasi bumi,” sahut Danish. Rick menatap Danish dengan suram. “Kau jangan memakai istilah yang membuat kepalaku makin berdenyut sakit.” Danish tersenyum. “Oke, oke. Kau tahu ‘kan, bumi sudah mengalami kerusakan yang cukup besar? Kita akan dipindahkan sementara ke planet lain dan tinggal di sana sampai bumi pulih lagi. Begitulah kira- kira.” Rick mengangguk- angguk. Matanya menatap gawai yang masih ada di tangannya. “Cobalah mainkan kalau kau sedang suntuk,” kata Danish. “Aku sudah mengecek permainan di sana tadi. Standar. Ada permainan semacam peperangan, menyelamatkan kerajaan, zombie, seperti itu.” “Kau sudah memainkannya?” tanya Rick. “Belum. Tadi cuma mengecek saja, sebab aku baru mengambilnya siang ini dari lab.” “Siang?” seru Rick terkejut. “Sekarang sudah siang??” “Tentu, buds. Kau kecelakaan sore kemarin, dan kau sudah tak sadarkan diri hampir sehari penuh.” Rick termenung sejenak. Waktu cepat sekali berlalu. “Tak usah pikirkan hal- hal lain dulu. Istirahatlah. Dan kalau kau ingin memainkan gawai ini, kurasa kau bisa, ‘kan, tanpa kuajari dulu?” “Eh… lebih baik kauajarkan dulu.” “Sure.” “Ngomong- ngomong,… terima kasih, Danish. Kau sudah banyak membantu.” “Kau! Jangan berbasa- basi begitu lagi sebelum kepalamu benar- benar kutonjok. Aku tidak peduli jahitanmu nanti terlepas atau tidak.” Rick mengabaikan ancaman palsu itu. Matanya menerawang jauh. “Aku jadi berpikir, kenapa hidupmu bisa sempurna sekali begitu. Kaya, pintar. Nah, apa lagi yang kau pinta? Coba bandingkan dengan aku.” Danish tertawa. “Ya, terima kasih untuk pujiannya. Hidupku memang sempurna, tak ada duanya,” kata Danish berlagak. “Jadi mau kuajari cara mainnya tidak?” *** Begitu Danish pergi, Rick memang merasa sangat suntuk. Danish sudah pergi sekitar dua jam lalu, setelah hampir setengah jam ia mengajari Rick cara menggunakan gawai prototipe kakeknya. Tepat setelah itu, dokter masuk ke kamar Rick. Sepertinya Danish memberitahu suster di luar kalau Rick sudah sadar. Dokter itu memeriksa tubuh Rick, memberitahunya bahwa ia akan baik- baik saja. Suster yang menyertainya juga membawakan obat dan makanan, dan begitu Rick menghabiskan semuanya, ia pun tertidur. Ia baru saja terbangun kembali dan merasa bingung harus berbuat apa. Perutnya terasa tidak enak, sebab tadi ia tidur setelah makan. Rick meluruskan tubuhnya, berusaha bersandar pada bantal- bantal tinggi. Ia mencoba sibuk dengan menghitung deretan kayu pada plafon dan pola bunga di dinding kamarnya seraya menyamankan perutnya lagi. Namun bahkan setelah hitungannya selesai, Rick masih saja merasa bosan. Ia menghembuskan napas panjang- panjang. Mata Rick mengitari ruangan yang ia diami, kemudian melirik gawai yang berada di atas mejanya untuk kesekian kali. Meski Danish berkata bahwa permainan di sana biasa saja, tapi Rick cukup antusias sebenarnya. Ia memang ingin sekali mencoba permainan gawai itu, namun tidak dalam keadaan payah seperti sekarang. Tapi apa boleh buat? Ia sendiri tidak tahu kapan akan sembuh total, dan itu pasti memakan waktu yang lama. Tidak ada salahnya mencobanya sekarang, ‘kan? Tangan Rick menggapai gawai di sampingnya dengan susah- payah, lalu ia pun menyalakan benda itu. Ia memasang perlengkapan gawai yang dipasang di kepala dan lengannya dengan hati- hati, lalu mengecek permainan. Benar kata Danish. Tak ada permainan yang cukup baru di sana. Rick membaca ringkasan yang ada di tiap permainan dan memutuskan untuk memilih permainan misi penyelamatan berjudul ”Red Seal”. Ia menyentuh pilihan ‘Masuk’ dan di depannya muncul tulisan berisi Term and Condition (syarat dan ketentuan). Rick tidak suka menghabiskan waktu membaca hal- hal seperti itu, sehingga ia langsung berpindah ke bagian bawah setelah melewatkan berhalaman- halaman tulisan lalu mencentang bagian ‘Saya setuju’. Kemudian muncullah tulisan Upgrade (Pembaharuan). Kening Rick berkerut. Apa permainan ini terkoneksi ke internet? Ia bertanya- tanya dalam hati. Tapi Rick tidak melihat tanda- tanda koneksi apapun. Di pojok kanan atas hanya ada simbol baterai, jadi bagaimana permainan ini akan diperbaharui? Rick berusaha mengabaikan kebingungannya itu dan menekan tulisan ‘Setuju’. Ia terus memikirkan keanehan barusan sementara pembaharuan berlangsung. Namun begitu pembaharuan selesai, lagi- lagi Rick bingung. Yang muncul di depannya adalah Syarat dan Ketentuan yang baru. Apa memang harus dua kali? Ia membaca Syarat dan Ketentuan yang kedua itu. Tulisannya cukup singkat. “Pemain yang memulai permainan ini berarti setuju untuk menyelesaikannya hingga akhir. Pemain menanggung konsekuensi yang ditanggung sendiri bila tidak dapat menyelesaikan permainan.” Pernyataan yang agak aneh. “Oke,” gumam Rick sambil kembali mencentang ‘Saya setuju’. Halaman di depannya tiba- tiba berganti. Ia mulai memasuki bagian pengaturan. Musik latar berdentum- dentum di telinganya, dan alat yang terpasang di lengannya memberi hawa dingin, seperti pendingin ruangan. Tubuh Rick menggigil, namun entah kenapa ia juga merasa tegang. Ia dibawa ke halaman pemilihan karakter, dan Rick memilih karakter sembarangan secara cepat, karena tak ingin berlama- lama kedinginan. Akhirnya Rick benar- benar memasuki permainan.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD