November 11th

1564 Words
"Bila perang tidak menghabiskan uang, ia tentu telah melipatgandakannya."- Rabu, sebelas November. Pagi hari pukul sebelas tepat, ketika semua barang dibereskan dan perlengkapan selesai dibenahi. Matahari setengah tinggi menyinari bangunan abu- abu itu, membuat kesuramannya makin kontras. Bata- batanya sebagian sudah berlumut, disokong beton gelap yang kokoh. Lapangannya luas, membuat bangunan suram itu tepat berada di tengah- tengah. Beton yang sama kokohnya setinggi sepuluh kaki melingkupinya, dengan kawat berduri yang dialiri listrik di bagian atas. Tempat itu terlihat sepi dan menyeramkan sekilas, jika saja dari dalamnya tak terdengar derit pintu besi yang didorong keras. Pintu itu adalah satu di antara beberapa pintu yang dijaga oleh para sipir berwajah kaku, yang dibukakan khusus untuk seseorang. Seseorang yang akhirnya bebas untuk selamanya. Ia adalah seorang pria dengan tubuh agak ramping. Kulitnya kering keriput, tapi tampak liat, seakan seperti karet yang mampu menahan sayatan pisau  –mungkin karena kerasnya kehidupan di penjara dan penjatahan makanan yang ia dapatkan selama dua belas tahun terakhir. Tak ada lemak tak berguna pada dirinya, melainkan hanya otot keras yang mulai ia bangun sejak awal mula menempati sel suram di sana. Rambut pria dipotong pendek rapi, serapi pakaiannya saat ini. Ia menyandang sebuah tas kecil yang ia sampirkan di bahu. Pria itu berjalan dengan tegap dan penuh wibawa melewati sipir- sipir yang sekilas mengangguk padanya. Beberapa penjaga ikut mengantarnya hingga depan. Pengawas penjaranya sendiri yang sudah putih kepalanya oleh uban, berdiri di gerbang depan. Ia menyalami pria yang baru bebas itu dengan senyum kebapakan. “Selamat menikmati kehidupan bebasmu, Nak. Jaga dirimu baik- baik.” Pria itu tidak menjawab namun hanya memberi tatapan yang sudah terbilang ramah untuk pria berpotongan seperti dia. Dia berjalan lurus, keluar dari gerbang yang sudah dibukakan untuknya. Jalan menuju kebebasan. Jalan kembali pada keramaian lalu lintas, kendaraan, dan kesibukan daerah itu –The Misk. Tiba- tiba pria berotot keras dan kuat itu merasakan ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Insting bahaya pada tubuh manusianya terbangun. Ia langsung berbalik ke belakang. Lengan berototnya hampir saja ia layangkan demi mendapati seseorang yang sudah ia kenal baik dari belasan tahun yang lalu. “Ah,” seru pria berotot itu, terkejut senang. Itu adalah satu- satunya suara yang ia keluarkan sejak pagi tadi, sebab memang pria di depannya itu layak membuatnya kaget. Cepat- cepat pria berotot itu berdiri sopan dengan anggukan isyarat minta maaf. Pria di depannya itu berperawakan sedang dengan rambut pirang tersisir ke belakang. Ia mengenakan setelan jas lengkap tanpa kerutan dengan topi bundar. Wajahnya begitu ningrat, berpendidikan. Tingginya mungkin hanya sebahu pria kekar berotot liat tadi, tapi ia memiliki sesuatu yang membuat orang tunduk dengan keberadaannya. Dia menatap pria berotot itu lekat- lekat sebelum berbicara, seolah- olah menilai. “Welcome back, Ash,” sambut pria necis itu seraya merentangkan lengannya dengan tiba- tiba. “How’s your life?” (*selamat datang kembali, Ash. Bagaimana hidupmu?). Pria berotot yang dipanggil Ash itu kemudian menggeram tidak jelas. Matanya berkilau cerah begitu mendapat sambutan hangat. Dan sepertinya si necis paham apa maksud geraman itu. “Ah, kau sudah menderita banyak selama ini, Sobat,” sambutnya lagi dengan halus seraya merangkul bahu Ash dengan agak susah payah. “Kau ingin makan enak? Restoran? Full course dengan wine ?” Ash menggeram senang. “Baiklah, Ash, temanku yang baik,” ujar pria necis itu lagi tertawa. “Apalah harga Gross yang lemah ini tanpa kekuatan darimu. Aku telah berhutang banyak padamu. Ayo,” ajaknya sambil menepuk punggung Ash. Ash dan Gross berlalu dari depan pagar bangunan penjara. *** Pria tua itu duduk di kursi goyangnya sambil mengisap pipa. Asap bergulung dari pipa itu beraroma tembakau manis yang diterbangkan angin. Pria yang sudah beruban itu duduk dengan menghadap ke arah jendela, tepat di depannya. Ia terbatuk- batuk sejenak, membuat pria muda di dekatnya melangkah ragu. Mendekati. “Anda tidak apa- apa, Tuan?” Sang Tuan tersenyum menyeringai. “Bukan masalah apa yang ada padaku, Nak,” tukasnya sambil kembali mendekatkan pipa ke mulut. “Ceritakan. Apa yang telah kau lakukan tadi.” Pria muda itu berdehem sedikit sebelum memulai. Suaranya dingin dan teratur, seperti keluar dari mesin robot. “Beberapa pekerjaan yang direncanakan selesai hari ini sudah beres siang tadi. Beberapa anggota lama juga sudah dijemput.” “Ah, itukah sebabnya kau baru bisa menghadap padaku sore ini?” “Ya, Tuan.” Pria tua itu menggumamkan ‘Ah’-nya lagi dengan penuh kelegaan. Matanya menembus jendela, melihat tempat pencucian mobil yang berada di kejauhan. “Kau pasti sibuk sekali tadi memberi pidato penyambutan.” Pria muda itu merasa tertohok dengan kata- kata barusan. Ia hanya diam, mendengarkan. Ngomong- ngomong, aku sekarang butuh Fiat yang bagus,” tambah pria tua itu lagi. Pria muda mengangguk perlahan, namun kelihatannya ragu. Sampai sekarang ia memang tidak benar- benar paham perubahan suasana hati pria tua di dekatnya itu. Akan tetapi, pria tua yang diajaknya berbicara itu melihat keraguannya meski matanya masih tertuju pada bengkel pencucian mobil. “Kau paham maksudku, Nak? Aku senang dengan intuisimu, tapi aku butuh Fiat yang benar- benar bagus. Aku tidak ingin hanya sekedar tenaga kuda.” Pria tua itu beranjak dari kursinya. Tangan kiri yang keriput itu masih memegangi pipa coklat yang keriput. Ia menghadap lurus- lurus pada pria muda di dekatnya, menunjukkan senyum kebapakan. Wajahnya bulat dan riang, seperti seorang tua yang suka membagi- bagikan hadiah pada anak- anak. Tapi jarang sekali orang melihat langsung ke matanya, sehingga banyak yang mengira sosok tua itu memiliki kebaikan hati yang berlimpah. Mungkin begitu pula pikiran pria muda ini. Ia hanya menatap pada titik rendah, dimana ia hanya dapat melihat senyum bergerak- gerak di antara janggut yang tebal di depannya. “Nak,” kata pria tua itu, “Kau sudah lihat beberapa tahun terakhir bahwa semua barangku jatuh ke sungai kala aku mengandalkan kuda- kuda untuk menarik kereta. Mereka tergelincir, dan tercebur saat melewati sungai. Kerugian bukan ada padaku, namun pada kuda- kuda itu. Mereka saja tak sanggup menghela kereta barangku, apa lagi bagal biasa.” Kata- kata itu cukup memukul si pria muda, tepat di tengkuknya. Wajahnya berubah merah padam. “Saya… saya…” kata pemuda itu tergagap- gagap. Tapi pria tua lawan bicaranya tidak menghiraukan kegagapan itu. “Aku akan lebih memilih apapun yang menghemat waktuku, yang cepat dan lebih maju. Tapi bukan berarti aku akan menyingkirkan kuda- kudaku begitu saja. Cara tradisional memang masih kita perlukan, kadang- kadang.” Ia menepuk bahu pria muda itu. “Aku menunggu kelanjutan darimu, Nak.” *** Rabu, sebelas November. Pukul empat tepat, ketika semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing- masing dan Rick sekali lagi harus menghadapi kenyataan sepi rutinan sebelum jam pulang. Pemuda berambut hitam legam itu terkantuk- kantuk di meja kasir. Hari ini shift­ kerjanya hingga pukul enam sore, namun perut kosongnya sudah mulai menggerutu. Flatnya kosong tanpa makanan, persediaan alat mandinya juga habis, dan dia sudah tidak mencuci pakaian seminggu lebih. Sementara matanya menatap ruangan luas dengan begitu banyak barang, apapun yang ia butuhkan. Tapi ia baru seminggu bekerja di minimarket ini, bagaimana ia harus membayarnya jika ia membeli kebutuhannya? Gajian pun belum. Berutang? Dia tak akan diberi kesempatan. Tapi gerutuan perut Rick mengalahkan rasa sabar dan pusing yang menyerangnya. Dia mengambil sebungkus roti tawar beserta selai, beberapa keripik, sampo dan deodoran. Rick sama sekali belum memikirkan bagaimana cara membayar semua ini. Mungkin ia akan meminta gajinya langsung dipotong saja nanti. Tak lama kemudian, seorang pemuda yang menggantikannya sore itu datang. “Hai, Rick,” sapa Bryan ramah. “Mau kugantikan lebih awal?” “Wah! Terima kasih!” seru Rick. Ia bergegas mengambil ranselnya dekat gudang barang yang remang- remang, sementara Bryan menempelkan jempolnya pada mesin absen karyawan. Ah, gumam Rick dalam hati. Keremangan gudang membuatnya teringat kalau ia belum membayar tagihan listrik. Hidupnya payah sekali. Dengan ransel disampirkan di bahu, Rick berjalan lesu ke arah ruangan luas minimarket itu, mencari- cari Bryan. Siapa tahu teman kerjanya itu mau berbaik hati meminjaminya uang. Tapi meja kasir tampak kosong. Rick mengedarkan pandangan  di sela- sela rak barang, dan mendapati Bryan jauh di sudut seberang –sedang menata ulang rak deterjen. Tiba- tiba sebuah pikiran muncul di otak Rick. Tapi hatinya berusaha menolak. Mata Rick berkali- kali mengecek keberadaan Bryan yang masih belum berpindah dari rak deterjen. Ada kesempatan. Meski jantungnya berdebar keras, namun dengan gerak cepat Rick menarik laci uang dan mengambil bergulung- gulung kertas nominal ratus ribuan di dalamnya. Sentakan laci itu cukup kuat sehingga membuat Bryan terkejut. Ia menjulurkan lehernya di balik rak. “Rick! Kau sedang apa?” Ini pertama kalinya Rick mencuri, dan teguran dari Bryan membuat jantungnya makin memburu. Ia merasa Bryan mencurigainya, dan dengan panik pemuda itu melarikan diri menuju pintu keluar. Bryan memang mencium ada sesuatu yang tidak beres, apalagi begitu ia melihat keterkejutan di wajah Rick. Dia mengejar teman kerjanya itu, namun ia juga menyadari sesuatu yang datang –yang tidak disadari Rick. “Awas !!!” teriak Bryan yang terus berusaha mengejar ke tengah jalan. Tapi jalanan sore itu terlalu ramai, dan semuanya berlangsung cepat. Rick yang mendengar teriakan Bryan, tidak mengacuhkannya sampai semili detik sebelum sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Rick merasakan hantaman yang sangat kuat, membuat tubuhnya terlempar ke pinggir jalan. Ketika ia melayang, ia sempat melihat uang yang ia curi tadi berhamburan ke udara, bertebaran di atas mata kepalanya. Ya, semudah ini untuk mati. Inilah akhir dari seorang pria yang tak punya masa depan. Kepala Rick terbentur aspal keras, sedang kakinya menggeletak tak simetris. Rick pingsan di tempat.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD