In A Doubtful Meeting

1602 Words
Suara bariton itu terdengar menggelegar, sehingga tak hanya membuat Algie maupun Gross menoleh terkejut –keduanya juga buru- buru berdiri dari sofa dengan sopan. Seorang pria yang tak kalah parlentenya dari Gross masuk dengan jas lengkap. Wajahnya yang seakan dipahat halus dengan rahang kokoh persegi –namun jelas memberi kesan licik –terselamatkan oleh model pakaiannya itu. “Bos,” sapa Gross dengan kepala menunduk. Orang yang disapa bos itu menoleh sedikit pada bawahannya, lalu menatap tajam ke arah Algie. “Aku tidak suka ada keributan di rumahku, apalagi keributan yang disebabkan oleh orang asing.” “Aku tidak asing,” tegas Algie. Matanya menantang ke dalam sumur mata pria parlente bersuara bariton. “Aku Algernon, anak angkat Don Boschzitto.” Pria tadi menyerukan ‘Oh’-nya, lalu duduk di sofa. Ia meminta Algie untuk ikut duduk bersamanya, sedangkan kepada Gross ia menginstruksikan sesuatu. “Tolong kau minta pada pelayan dapur untuk membawakan minuman dan kue- kue.” “Aku tidak butuh minuman,” Algie berujar lagi dengan keras kepala, sementara Gross sudah menunduk tanda patuh dan berjalan ke dalam rumah. “Aku ingin bertemu dengan B-125 dan tidak ingin membuang- buang waktu denganmu.” Pria itu tergelak. “Aku suka orang yang efisien sepertimu,” dia berkomentar, “Bila kau mencari B-125, maka orang itu sudah di depanmu.” “Benarkah? Bagaimana aku bisa percaya dengan kata- katamu?” B-125 menatap Algie dengan tajam. Rahang perseginya berdenyut- denyut. “Kau hanya perlu mempercayai saja, tanpa perlu bertanya ‘bagaimana’. Dan kini akulah yang bertanya padamu: bagaimana pendapatmu, Algernon? Apa kau akan yakin bahwa aku orang yang kaucari dan menyampaikan tujuanmu, atau pulang tanpa membawa apa- apa?” Sebersit keraguan membayang di wajah Algie. Ia tampak berusaha menilai setiap sudut dari pria parlente berjas itu, dan menerawang apakah memang ia memang benar B-125. Tapi si Gross licin itu tadi memanggilnya ‘Boss’. Selagi ia berpikir, seorang pelayan rumah membawa baki penuh berisi dua cangkir penuh kopi dan dua tadah berisi potongan kue tart bermahkota mawar whipped cream. Pelayan itu membungkuk hormat pada kedua orang yang berbicara sebelum pergi dari ruang tamu. Si pria parlente bangkit dari sandarannya, lalu mengambil salah satu dari dua cangkir kopi. “Sementara otakmu menimbang apakah ingin mengatakan sesuatu atau tidak, kau bisa menikmati kopi dan kuemu dulu,” tawarnya dengan nada ramah. Ia sendiri mengambil sendok kecil, memotong kue tart­ dan melumerkannya di dalam mulut. “Wah, nikmat sekali,” puji pria seakan kue itu adalah satu- satunya fokus dalam hidupnya sekarang. Algie terus mengamati gerak- gerik si pria, yang dengan acuh tak acuh menandaskan kuenya. “Baiklah,” kata Algie setelah bermenit- menit panjang dalam diam, “Aku akan menceritakan semuanya padamu.” *** Danish duduk menyetir mobilnya dengan kening yang terus berkerut. Salah satu siku ia topangkan ke sisi jendela mobil seraya terus berpikir. Di sampingnya, Miss Daphne Faltzog memutar- mutar ponsel di atas pangkuan. Saku jasnya menggelembung oleh persegi solid yang ia ambil dari gawai tadi, dan sesekali ia keluarkan juga persegi itu. Sebentuk rumit dari gabungan jutaan sirkuit mini yang direkatkan satu sama lain, bertumpuk- tumpuk. “Mr. Durrant?” “Hm?” sahut Danish yang terbangun dari lamunan. Untunglah jalan yang mereka lewati cukup lengang. “Saya rasa akan tetap lebih baik jika kita menghubungi kakek Anda untuk menjelaskan semua yang terjadi. Selain karena hal ini di luar tanggung jawab dan kekuasaan Anda, kasus ini juga berhubungan dengan karyawan yang telah ia pekerjakan bertahun- tahun. Beliau akan lebih memahami situasinya. Lagipula semua ini adalah kejadian yang terjadi di perusahaannya, Durrant Technology.” Danish menghela napas. “Ya, kau benar.” “Maaf, saya tidak bermaksud menggurui Anda.” “Saya sama sekali tidak merasa digurui,” ujar Danish. Ia mempercepat laju mobilnya sedikit. “Sebenarnya saya sudah memikirkan hal itu sejak tadi. Dan saya… punya dugaan.” Miss Faltzog menoleh pada Danish Durrant, penasaran. “Boleh saya mendengarkan dugaan Anda itu, Mr. Durrant?” Danish menggeleng. Ia memutar setirnya sedikit saat melewati tikungan. “Saya sebenarnya belum terlalu yakin, Miss Faltzog. Mungkin akan sedikit lebih jelas bila kita menghubungi kakekku dulu.” “Saya mengerti,” angguk wanita muda itu. “Apa Anda ingin menghubungi beliau sendiri secara langsung?” “Apa Anda bisa membantuku untuk menghubunginya?” tanya Danish balik. “Kurasa tidak jadi masalah bila Anda yang menelepon.” Miss Faltzog mengangguk dan segera mendial nomor si pemilik Durrant Technology, Francis Durrant. Beberapa kali ia mendekatkan ponselnya ke telinga dan mendial ulang, namun sepertinya sia- sia. “Beliau masih tidak bisa dihubungi,” keluh Miss Daphne Faltzog. “Sepertinya ponselnya mati.” “Sudah kuduga.” “Apa?” “Oh, maaf. Aku sudah menduganya, Miss Faltzog, seperti yang kubilang tadi. Aku merasa kalau sebenarnya kakekku ada hubungannya juga dengan semua ini.” Mata wanita muda itu terbelalak. “Anda bilang –Mr. Francis Durrant ada kaitannya dengan semua ini?” “Ya, bahkan secara langsung,” tukas Danish. “Karena semuanya terjadi dalam waktu yang bersamaan. Rick temanku dan Aaron Chua menghilang, semua berkas dan peralatan kerja Aaron Chua rusak, dan sekarang kakekku tak bisa dihubungi. Anda tadi juga bilang, bukan? Bahwa kakeklah yang lebih memahami situasi, sebab beliau yang mempekerjakan Aaron Chua. Dengan semua kemisteriusan ahli riset itu.” “Anda benar,” sahut Daphne Faltzog menatap jalan di depan. “Dengan semua latar belakangnya yang sama sekali tidak diketahui itu, mustahil seseorang akan mempekerjakannya. Sejenius apapun itu.” “Dan bisa saja, sebenarnya kakekku sudah tahu tentang proyek rahasia komputer super kuantum yang dikerjakan Aaron Chua.” “Tapi tidak mungkin!” jerit Miss Faltzog tertahan. “Mana mungkin Mr. Francis Durrant menyembunyikan semua itu dari kami. Saya akan lebih yakin kalau ternyata Mr. Francis sama tidak tahunya dengan kita semua.” “Ya, bisa jadi,” sahut Danish. Pemuda itu memelankan kecepatan mobilnya ketika memasuki area parkir Durrant Technology. “Sudah sampai,” katanya begitu mesin mobil mati. “Dan Miss Faltzog, sebaiknya kita segera memeriksa barang yang Anda selundupkan dari Inspektur Emerson itu, supaya kita dapat menyelamatkan Rick secepat mungkin.” Wanita muda di sampingnya mengangguk, sebelum ia melepaskan sabuk pengaman dengan cepat. *** Kedua lelaki itu masih berada di ruang tamu yang sama –yang mengilap dan mewah. Di salah satu sisi meja, isi cangkir dan tadah alas sudah habis, sedangkan di sisi lainnya sama sekali tidak tersentuh. “Well,” gumam pria berahang persegi kokoh yang dijuluki B-125 itu. “Jadi apa yang kau minta dariku untuk bocah itu?” “Perlindungan,” Algie menjawab singkat. “Perlindungan?” “Ya, sama seperti yang kau berikan padaku dulu. Tempat tinggal dan segala kecukupan hidup.” “Hanya karena ia kebal senjata tajam?” tanya si B-125. “Betul. Aku yakin sekali ia cukup berguna. Aku yang akan menjaminnya.” “Apa kau sangat yakin dengan hal itu?” “Ya, aku sudah membuktikannya sendiri,” Algie mengangkat tangan kirinya yang berperban di bagian telunjuk. “Dan hasilnya malah menyerangku.” B-125 diam sejenak. Ia mengeluarkan sapu tangan sutra di saku kiri jas lalu melepaskan penjepit dasinya. “Dengar, anak muda,” katanya tanpa memandang Algie sedikitpun. Ia mulai asyik menggosok penjepit dasi dengan sapu tangan tadi. “Kau hanya orang biasa di sini. Kau tak bisa memberikan jaminan kepada siapapun.” “Kenapa begitu?” protes Algie. “Bukankah saat kau memberiku rumah lengkap dengan pelayan dan segala kemewahan, kau berkata kalau aku telah dijamin seseorang?” “Ah, ya. Tentu saja. Tapi aku tak bisa menolak, Don, bukan? Atau aku akan dikeluarkan dari keanggotaan Red Seal.” Algie terperangah. “Tunggu. Maksudmu –maksudmu, saat itu aku dijamin langsung oleh Don Boschzitto sendiri?” “Ya,” pria B-125 menjawab dengan santai. Ia sudah memasang kembali penjepit dasinya. “Dan bagaimana aku dapat membandingkan jaminanmu dengan jaminan Don? Lagipula dia juga bukan orang asli The Misk, sama sepertimu. Bila ia tak mendapat jaminan siapapun, maka aku harus menginterogasinya secepat mungkin.” “Lalu apa gunanya aku memberitahumu lebih awal bila kau akan tetap melakukan hal itu?” bentak Algie. Ia sudah bangkit dari sofa, menjulang tinggi di depan si B-125. Namun pria parlente berahang kokoh itu hanya bergeming. “Percuma saja aku mendatangimu ke sini bila kau akan menginterogasi! Aku hanya berpikir ia jauh lebih baik dari orang- orang lemah yang dulu kau jebloskan ke penjara bawah tanah, dan dia punya kemampuan spesial! Kenapa tidak kita manfaatkan saja??” “Tanpa sepengetahuan Don?” “Ya!” tukas Algie dengan pasti. “Kau tahu bahwa aku yang menangani semuanya bukan? Aku tak ingin bertanggung jawab untuk kekeras- kepalaanmu.” “Aku,” kata Algie, “Yang akan bertanggung jawab.” Wajah pria parlente itu tampak rumit sesaat –seperti sedang mengalami berbagai emosi yang tercampur- aduk. Ia melipat sapu tangannya dengan baik, lalu menaruh di saku jas lagi. “Algernon,” mulainya dengan suara bariton yang khas, “Kau sudah memikirkan ini masak- masak, bukan? Bahwa suatu saat kau tak akan menyesalinya?” Algie tertegun sesaat. Pertanyaan itu sederhana sekali, namun jantungnya seakan tertumbuk oleh beban berat. “Aku akan mengabulkan permintaan khususmu ini, anak muda,” pria B-125 itu tak menunggu sepatah pun jawaban dari Algie. “Tapi apapun yang kau minta sekarang, aku tidak ingin ada penyesalan. Tapi kau harus tahu sesuatu. Ada masanya sesuatu yang bermanfaat, akan balik menyerang kita tanpa kita ketahui bagaimana itu terjadi. Jangan pernah mengetes kedalaman laut bila tak ingin tenggelam di dasarnya.” Pria itu bangkit dari duduk dengan senyum menyeringai, berhadap- hadapan dengan Algie yang masih berdiri tertegun. “Yah, bisa kukatakan sama seperti saat kau mendapatkan luka di telunjukmu ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD