“Baiklah, kalau begitu,” kata Algie, pria pirang berkacamata itu. “Tapi sebelum aku mulai menjelaskan, apa yang sudah kau ketahui sejauh ini tentang The Misk ataupun Red Seal ?”
Rick memang mengakui dirinya bodoh, tapi ia cukup yakin bahwa pertanyaan ini hanya pancingan Algernon untuk mengetahui tentang dirinya sendiri. Ia tidak akan terjebak.
“Aku sudah tahu beberapa hal, tapi kau akan menjelaskan padaku tentang semuanya, baik yang sudah kuketahui terlebih dahulu maupun yang tidak.”
Algie melengkung bibirnya dengan angkuh. “Oke, aku akan mulai bercerita. Berjanjilah untuk tidak menyelaku sampai aku benar- benar selesai, Leonard.”
Rick mengangguk, dan Algie pun mulai bercerita.
“Aku akan mulai bercerita tentang diriku sendiri, sebab yang akan kuceritakan ini hanya semua yang kuketahui saja. Aku Algernon, 25 tahun. Aku sampai ke negeri ini –The Misk –secara tak sengaja dengan ditemukan oleh pimpinan Red Seal, Don Boschzitto.”
“Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya aku bisa sampai di sini, sebab aku kehilangan semua memoriku. Aku seperti bayi besar yang tidak tahu apa- apa, tapi aku bisa merawat tubuhku sendiri. Itulah bedanya. Don Boschzitto mengangkatku sebagai anak, dan memperkenalkan aku pada dunia ini dan apa saja yang harus kulakukan.”
Mata Rick membelalak. Ia menduga- duga jika Algie juga mengawalinya dari game dan hendak menanyakan itu, tapi ia mengurungkan niat itu. Algie tampak mengerutkan kening, tepat saat Rick hendak membuka mulut.
“Kau hendak memotong perkataanku, bukan?” tanyanya tajam. “Bukankah sudah kubilang untuk jangan menyela?”
“Ehh… ya. Maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” sahut Rick patuh. Entah kenapa, pertanyaan Algie barusan terasa bagai perintah yang tak bisa ia tolak.
Algie melanjutkan ceritanya. “Don Boschzitto memiliki sebuah perusahaan bernama Red Seal yang bergerak di bidang jasa. Berbagai macam ragam jasa yang mereka lakukan, sehingga perusahaan ini sangat mendominasi di The Misk. Aku tak hanya menganggap Red Seal sebagai perusahaan yang kaya belaka, tapi juga sebuah sebuah organisasi dengan sistem yang sangat teratur. Ia… memiliki atmosfer yang berbeda daripada perusahaan biasa. Karyawan mereka –atau lebih tepatnya kusebut sebagai anggota –sangatlah loyal dan patuh. Termasuk aku,” kata Algie sambil menantang mata Rick yang sepertinya bingung dan heran.
“Aku diajak bekerjasama dengan Don untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan jasa mereka, dan dia membiayai hidupku selama di sini. Hidupku benar- benar dalam kemakmuran. Nah, itulah yang bisa kuceritakan. Ada yang ingin kautanyakan?”
“Apa Red Seal memiliki saingan yang sangat ingin mereka kalahkan?”
“Oh, ya tentu saja,” kata Algie sambil mengambil segelas air di dekatnya. Setelah meneguk sedikit, ia melanjutkan, “Ada banyak saingan di sini, dan salah satunya adalah dari anak beliau sendiri yang sudah mendirikan perusahaan hampir serupa dengan ayahnya. Nama anaknya Matteo, dan perusahaan –atau organisasinya –ia namai Five Mercury. Mereka jauh lebih…,” tiba- tiba Algie menurunkan volume suara.
“….ganas.”
Kata- kata Algie bukannya menjelaskan, namun makin membuat Rick bingung. Apanya yang ganas? Bagaimana mungkin seorang anak bisa lebih ganas? Apa mereka punya serigala dan anjing- anjing liar, begitukah? Sebenarnya persaingan jenis apa yang mereka lakukan?
Akan tetapi Rick berusaha berada dalam sudut pandang dan pemikiran Algie agar ia tidak terlihat mencurigakan. “Apa dia saingan terberat ayahnya, Don Boschzitto?”
“Tidak, tidak. Dia tidak memiliki kekuatan sebesar Don. Dia seperti cabe rawit. Kecil, menggigit. Tapi saingan Red Seal yang lain juga sama kecil dan menggigitnya, dan jika tidak ditangani dengan baik, mereka tentu akan membuat Don bangkrut.”
Rick mengangguk- angguk antara paham dan tidak –sementara Algie terus menatapnya, berusaha menilai pemuda asing di depannya. Semua itu membuat Rick semakin tidak nyaman. Alih- alih, ia menanyai hal lain.
“Bagaimana dengan The Misk ? Apa yang kauketahui sejauh ini tentang The Misk ?”
“Ah,” gumam Algie sambil menyilangkan kakinya. “Aku lupa menjelaskan tentang itu. Sebagaimana yang sudah kusebutkan padamu tadi, aku sampai di sini dengan memori sepenuhnya hilang. Tapi yang perlu kau tahu,” Algie tiba- tiba maju agak ke depan, “Bahwa The Misk memiliki standar kehidupan mereka sendiri. Apa yang kausebut normal, belum tentu dianggap normal di sini, jadi pahami peraturan mereka baik- baik. Selain itu, The Misk adalah peradaban yang benar- benar maju. Manusia di sini bisa mengontrol semua yang ada di sekitarnya, bahkan planet dan angkasa luar.”
Rick mengerutkan alis dengan wajah meremehkan. “Bagaimana mungkin?”
“Ejeklah perkataanku sesukamu, Leonard Baker. Tapi begitu kau keluar dari rumahku ini,” kata Algie menyeringai, “Kau akan mendapati mungkin kau satu- satunya makhluk terbodoh di The Misk.”
Rick mengangkat bahu. “Yah. Aku memang sudah dikenal tidak punya otak pintar sejak dulu, jadi sepertinya itu tidak jadi masalah besar bagiku.”
“Begitukah?” tanya si pirang Algie meragukan. “Aku tidak yakin kau bisa bertahan di sini kalau kau tidak bisa menyamai kemampuan berpikir mereka. Mau tak mau kau harus mengejar ketertinggalanmu. Kau lihat semua ini, ‘kan?” tanya Algie sambil menunjuk rak- rak buku di ruangannya yang penuh hingga langit- langit. “Semua ini adalah buku yang difasilitasi Don bagiku agar bisa mengejar kemampuan manusia di sini.”
“Benarkah?” tanya Rick dengan mata membelalak. “Apa… kau sudah mempelajari semuanya?”
“Tentu saja sudah,” sahut si pirang berkacamata itu dengan angkuh. “Tapi aku tidak menampik ada beberapa orang yang otaknya cukup tumpul juga ada di The Misk. Mereka bahkan bagian dari Red Seal juga. Namun karena Don tidak menganggap mereka sebagai masalah, aku juga tidak menganggap itu masalah.”
Algie menegakkan punggungnya sembari menaikkan kacamata. “Dengar. Kau kuanggap sama seperti beberapa orang yang diperlakukan spesial ini. Kau memang berotak lamban, tapi aku yakin kau mempunyai kemampuan berbeda yang membuatmu bisa sampai di sini, sama seperti alasan Don mempertahankan orang- orang itu. Jadi bagaimanapun, aku tetap akan melaporkanmu pada B-125, tapi dengan alasan mempertahankanmu di sini. Bukan untuk menghukum atau mengusir. Dan jika B-125 memang setuju, kau bisa tetap tinggal di sini.”
“Te- terima kasih,” kata Rick terbata- bata. Di dalam hati ia mulai mengutuk- ngutuk Danish yang sudah memberinya gawai permainan rumit. Siapa yang ingin diperlakukan seperti kacung dan disuruh belajar, meski itu hanya dalam game?
“Sebenarnya siapa B-125 itu?”
Algie menggeleng. “Tidak ada yang tahu. Dia berkomunikasi melalui asistennya. Tapi yang pasti, dia berada di bawah Don. Entah langsung di posisi kedua, ketiga, atau entah berada di lapisan keberapa, aku tak tahu pasti. Namun ia jelas orang penting.”
Rick manggut- manggut. “Dan,” sambungnya, “Aku baru saja menduga- duga. Apa mungkin kau dan aku sampai di sini dengan cara yang sama?”
“Maksudmu?”
“Yah … kau butuh waktu untuk mempelajari semuanya lagi di sini, ‘kan? Begitu pula aku. Kau tidak tahu- menahu tentang apapun di sini saat pertama kali sampai, begitu pula aku.”
Algie makin meluruskan punggungnya dengan angkuh. “Mari kuberikan kau klarifikasi sedikit. Aku sampai di sini tanpa tahu sedikit pun tentang dunia ini dan mempelajarinya dari awal. Itu memang benar. Tapi aku juga sama sekali tidak ingat identitasku.”
“Ah.”
“Kau masih punya ingatan tentang dirimu, bukan?”
“Ya.”
“Artinya kau tidak sama denganku. Kelambanan otakmu untuk tidak memahami semua hal tidak bisa kau samakan dengan orang yang kehilangan memori.”
Rick mulai merasa kesal dengan caci- maki si pirang berkacamata bernama Algie ini. Tapi ia terus menahan diri agar ia bisa mendapat informasi sebanyak- banyaknya. Ia ingin segera menyelesaikan permainan sialan ini.
“Kini giliranku yang bertanya. Kau masih memiliki ingatan lamamu, bukan?”
“Ya.”
“Kalau begitu darimana asalmu?”
“Aku dari kota… oh, aku tidak yakin kau tahu letak kota kelahiranku. Yang jelas aku masih dari Eropa Utara.”
“Eropa?” ulang Algie menaikkan sudut bibirnya. “Apa itu?”
“K… kau … juga tidak pernah mendengarnya?”
“Kau sama asingnya seperti kota asalmu bagiku. Mari kutanyai satu hal lagi. Menurutmu di planet apakah kita sekarang?”
“Bumi, tentu saja!” seru Rick terkejut. “Memangnya kenapa?”
Wajah Algie berubah menjadi suram. “Bukan. Jawabanmu salah. Planet ini, dan keseluruhan dunia inilah yang kami sebut The Misk.”
“Apa?” teriak Rick. Sontak ia berdiri dari duduknya. “Jadi sebenarnya aku di … tempat lain?”
“Aku sudah menduga kalau kau ini asing,” tukas Algie. “Kau sama terkejutnya denganku meski aku tak ingat asalku masa itu.”
Rick tertegun. Matanya terus menatap Algie, sementara mulutnya seakan terkunci untuk sementara. Ketika keterkejutannya bahwa ia sama sekali tidak di bumi mulai mereda, ia kembali bersuara.
“Lalu … tidakkah kau memiliki dugaan tentang kemunculanmu di sini? Atau tentang kemunculanku juga, mungkin? Tidakkah kau berpikir, Algie, kalau kau juga dari bumi, sama seperti aku?”
Algie menyipitkan matanya. “Bagaimana mungkin aku menebak- nebak begitu saja asalku dari ‘bumi’ kalau aku sendiri belum pernah mendengar kata itu? Konyol sekali!”
Rrick membenarkan dalam hati. Dengan wajah agak malu, ia perlahan- lahan duduk kembali.
“Tapi soal dugaan,” ujar Algie, “Aku tentu saja punya. Kau pernah dengar tentang kehidupan paralel?”
Rick menggeleng.
“Tentang Fermi Paradox? Pernah dengar atau baca?”
“Belum sama sekali,” sahut Rick.
Si pirang di depannya lagi- lagi melengkungkan bibir penuh cemooh. “Bacalah. Aku memiliki banyak buku tentang itu di sini, dan dugaanku tak jauh- jauh dari sana. Kita ada di kehidupan lain, yang kurasa benar- benar berbeda dengan kehidupan ‘bumi’-mu itu. Nah, Leonard Baker, sepertinya semua fakta inin cukup mengejutkan bagimu dan aku hampir yakin bahwa sebenarnya kau tidak tahu apa- apa.”
Mulut Rick memang menganga terbuka begitu mendengar bahwa ia berada di kehidupan lain, dan ketika Algie menyinggung soal kekagetannya itu, cepat- cepat ia menutup mulut.
“Aku belum pernah mendengar hal dari sudut pandang lain. Itu saja.”
“Oh,” sahut Algie mencibir. “Jadi, ceritakan apa kelebihanmu yang kau bualkan tak kumiliki dan tidak pula dipunyai orang- orang The Misk. Apa yang membuatmu spesial sehingga aku tidak perlu mengusirmu dari rumahku dan membawamu untuk dihukum.”
“Aku tahan tusukan,” kata Rick dengan dramatis. Dia hanya mengucapkan apa yang dikatakan oleh suara wanita di otaknya tadi, dan belum membuktikannya sama sekali. Jadi bila Algernon sialan ini ingin menusuknya sedikit dengan jarum dan ternyata perkataannya salah, jelas Rick tidak bisa mengelak.
Tapi Algie begitu saja percaya dengan kata- katanya, malah ia terkesima. “Wow! Benarkah?”
“Ya,” sahut Rick setenang mungkin. “Dan karena aku belum bisa mengetahui apakah kau ini kawan atau lawan bagiku, aku tidak bisa memberitahumu hal selain itu. Aku tidak suka dimanfaatkan.”
Algie manggut- manggut. “Fair enough. Aku setuju dengan pendapatmu. Tapi kelebihanmu yang tahan tusukan adalah sesuatu yang memang tidak satupun dimiliki penduduk The Misk.”
Kini, Rick-lah yang memandangi Algie dengan gaya sombong.
“Kau boleh beristirahat di kamar tepat setelah perpustakaanku ini,” kata Algie sambil berdiri dari kursi. “Bebersihlah dan makan. Pelayanku akan menyiapkan air panas dan makanan untukmu. Nanti pukul delapan malam, temui aku lagi di sini.”
“Baiklah,” kata Rick. Ia ragu apakah harus berterimakasih pada pria yang agak kasar dan sombong ini, tapi bagaimanapun ia tetap melakukannya juga.
“Terimakasih, Algie.”
Algie tidak menjawab, melainkan hanya menatap Rick dengan waspada sekali lagi. “Kau tahu, aku sebenarnya memiliki satu dugaan lain tentang kehidupan The Misk.”
“Apa itu?”
Wajah sombong Algie memudar, perlahan berganti dengan sikap serius. “Aku kehilangan ingatan lamaku saat muncul di sini. Dan dari situ aku berasumsi kalau harus ada yang aku korbankan untuk bisa berada di The Misk. Kau,” tunjuknya pada Rick, “Kau belum kehilangan ingatan, jadi aku pikir ada hal lain yang tanpa kau sadari telah diambil darimu agar bisa berada di dunia ini.”
Si pirang itu melepas kacamatanya. “Pikirkanlah baik- baik, apa yang telah hilang dari dirimu sejak kau muncul di perpustakaanku.”
Algie pun berlalu pergi, meninggalkan Rick yang terpaku sendirian.