Unseen Path

1681 Words
Sosok itu tampak gemetar, setelah dengan susah payah menutup sebuah peti berat dari logam. Napasnya masih sesak, akibat tenaga yang telah ia keluarkan secara berlebihan mengingat usianya yang sudah lanjut. Tapi itu sebanding dengan apa yang mesti ia selamatkan. Apa yang mesti ia kunci mati di dalam peti itu. Si pria tua mengatur napasnya, lalu memutar beberapa kenop untuk suhu dan tekanan. Dia juga memutar kenop- kenop lain yang tidak berlabel, lalu mengakhirinya dengan menekan sebuah tombol. Setelah mengecek ulang bahwa segala sesuatunya tepat sesuai yang ia perkirakan, pria tua itu lalu keluar dari ruangan steril, tempat peti tadi berada. Ruang itu kosong melompong, kecuali hanya peti tadilah satu- satunya barang yang ada di sana. Si tua mengambil sebuah remot kecil dari saku jasnya dan memastikan pintu besi otomatis pada ruangan itu benar- benar menutup. Ia menunggu beberapa saat hingga kedua pintu besi yang kokoh saling mendekat dan menutup celah terkecil ruangan. Begitu suara logam yang bergesekan itu berhenti dan pintu tadi menyatu seakan sebuah dinding tanpa lekukan, ia bergerak ke sampingnya –mendekati sebentuk pemutar berbentuk setir bundar. Si pria tua mengatur angka- angka di bagian tengahnya, dan memutar setir itu ke kanan. Dari dalam ruangan steril, ada suara ribut—pertanda bagian dalamnya telah dikunci otomatis secara berlapis. Ya, sampai sekarang semua rahasianya aman. *** Miss Daphne Faltzog adalah kepala laboratorium sekaligus riset di Durrant Technology. Ia memiliki gerak- gerik seseorang yang cerdas, dan garis- garis wajahnya menunjukkan bahwa ia juga gadis yang tegas. Gadis itu hanya menerima segala hal yang bisa dibuktikan dan bersifat fisik, bukan hal- hal abstrak dan tahayul yang tidak bisa diproses dengan sains. Ia tidak tertarik pada hal apapun selain dunia riset, dan seluruh kepribadiannya itu jelas berguna di bidang yang ia geluti. Dan kini, ia mesti menegaskan sebuah masalah pelik pada pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Sebuah masalah yang bahkan belum bisa dipercayai nalarnya. Miss Faltzog membuka pintu lab yang terbuat dari kaca tebal, diikuti oleh Danish Durrant yang mengekor di belakangnya. Lab terlihat begitu ramai, namun ada ketegangan. Orang- orang yang berada di dalamnya seakan tengah memperbaiki sesuatu yang begitu penting, yang tidak bisa diremehkan. “Mr. Durrant, saya akan menunjukkan sesuatu terlebih dahulu pada Anda.  Mari,” ajaknya sembari menuju deretan ruangan lain tanpa menunggu persetujuan Danish. “Ini, adalah ruangan khusus yang dimiliki untuk ahli- ahli riset top di Durrant Technology.” “Baiklah,” angguk Danish. “Tapi apa gunanya kau menunjukkan ini padaku?” Daphne Faltzog tidak menjawab, melainkan masuk ke salah satu ruangan ahli riset yang pada emblem pintunya bertuliskan nama ‘Aaron Chua’. Danish –dengan bingung –mengikuti kepala lab itu. Namun apa yang ia ketemukan di dalam ruangan membuatnya terkejut. “Apa ini?” tanya Danish menatap ruangan yang berantakan. Ada folder berisi kertas yang sudah dibakar, serta potongan- potongan sirkuit dan layar monitor yang sengaja dirusak –sepertinya berasal dari sebuah komputer yang dulunya utuh. Lagi- lagi Daphne Faltzog mengabaikan kekagetan Danish, namun terus melanjutkan penjelasannya. “Aaron Chua adalah salah satu ahli riset terpandai di sini. Dari data karyawan, beliau adalah seorang anak yang diadopsi keluarga Chua, sementara keluarga asalnya masih belum diketahui.” “Jadi? Apa ini ada hubungannya dengan masalah mendesak yang kausebutkan tadi?” “Sangat berhubungan, Mr. Durrant,” kata Miss Faltzog dengan pandangan tajam. “Mr. Chua adalah perancang prototipe gawai yang Anda bawa sebelumnya. Akan tetapi, yang ia lakukan sebenarnya telah jauh melampaui semua itu.” Miss Faltzog menelan ludah, lalu melanjutkan, “Secara diam- diam, Mr. Chua telah merakit komputer super kuantum sendirian. Perlu Anda tahu, Mr. Durrant, komputer kuantum dengan kemampuan super adalah sesuatu yang masih jauh dari jangkauan perusahaan teknologi manapun, dan Mr. Chua malah mampu membuatnya sendiri.” “He must be a genius!” seru Danish antusias (*dia pasti orang jenius!). Dia tidak terlalu mengerti apa gunanya komputer kuantum, tapi ia tahu dari kakeknya bahwa pengembangan komputer kuantum masih dalam tahap bayi saat ini –dan siapapun yang mampu membuat versi supernya bukanlah orang sembarangan. “Saya tidak akan membuat Anda pusing dengan detil- detil lainnya, Mr. Durrant. Tapi jika sebuah komputer super kuantum berhasil dibuat, artinya kita bisa menganalisis informasi tentang suatu atom atau objek besar sekalipun, lalu melakukan teleportasi.” Danish menyimak penjelasan itu baik- baik, dan ia tak bisa menahan rasa tertariknya mendengar kata terakhir Miss Faltzog. “Teleportasi? Menghilang dan muncul secara tiba- tiba di tempat lain, begitu?” “Ya, kira- kira begitulah, Mr. Durrant. Meski sebenarnya agak kurang tepat karena yang kita lakukan adalah hanya pengiriman informasi. Tapi memang, apa yang tampak adalah menghilang dan muncul tiba- tiba.” “Mr. Durrant, sejak awal niat Mr. Chua sama sekali bukan untuk membuat prototipe gawai semacam virtual reality. Sejak awal, ia hanya ingin menyambungkan dimensi di bumi dengan suatu dimensi lain. Saya tahu ini bukanlah ketidaksengajaan, karena dari sisa- sisa kertasnya yang belum terbakar, Mr. Chua menjelaskan detil rencananya dan menjurnalkannya.” “Maksudmu… Mr. Chua sudah mengenali dimensi lain ini sebelumnya?” “Ya, atau minimal ia sudah mengetahui. Saya tidak mengerti bagaimana dia bisa melakukannya, dan dalam rencananya ia ingin memindahkan dirinya ke dimensi lain itu. Atau bisa juga untuk berjaga- jaga tentang sesuatu.” “Berjaga- jaga tentang sesuatu?” ulang Danish dengan muka tegang. “Benar sekali. Anda bisa bayangkan dua ember berisi air dan dua- duanya ditutup? Lalu Anda meletakkan sebuah selang, dimana ujung yang satu berada pada suatu ember dan ujung lainnya pada ember yang satunya lagi. Apa menurut Anda yang akan terjadi?” “Keduanya akan terhubung, tentu saja,” sahut Danish. "Dan karena ember itu tertutup dan tidak punya akses berpindah selain melalui selang, ya artinya air akan berpindah melalui selang itu.” “Dan menurut asumsi saya, itulah yang terjadi.” “Oh!” seru Danish. Ia membelalakkan matanya, sebab asumsi Miss Faltzog kini bisa ia pahami. “Apa Mr. Chua menghubungkan dimensi kehidupan bumi dengan dimensi kehidupan lain agar ia bisa perbindah- pindah dengan mudah? Tanpa diketahui orang lain?” “Ya,” kata Daphne Faltzog. “Dan katakan pendapat Anda, Mr. Durrant: jika jurnal Mr. Chua tidak menuliskan rencana apapun tentang langkah yang akan ia ambil begitu ia mampu berpindah, untuk apa ia bersusah payah menciptakan lorong dimensi yang mampu memindahkannya dengan sekejap mata?” Miss Daphne Faltzog menggeleng, “Tentu ia ingin mengawasi sesuatu, atau berjaga- jaga, entah apa itu. Ini masih benar- benar di luar akal sehat saya. Mungkin saya tidak akan percaya dengan apa yang terjadi jika teman- teman lab tidak meneliti potongan- potongan bagian komputer itu.” “Ya, dan saya yakin dia punya alasan untuk menghancurkan semua hasil kerjanya,” sambung Danish kaku. “Tidak bisakah kalian merakit ulang komputer yang sudah hancur itu?” “Tidak,” kata Miss Faltzog. Seberkas garis kerutan bertambah di keningnya, menandakan ia juga khawatir dengan apa yang terjadi. “Kami tidak tahu bagaimana rancangan awal Mr. Chua, dan menebak- nebaknya hanya akan menghabiskan waktu. Prototipe yang ia buat hanyalah sebuah misinya berkedok permainan.” Untuk sedetik, Danish berkedut dan tubuhnya menjadi kaku. “Miss Daphne Faltzog,” panggilnya cemas, “Apa yang akan terjadi jika seseorang telah memainkan gawai itu?” “Saya tidak tahu pasti,” kata gadis cerdas itu. Ia keluar dari ruangan Mr. Chua, diikuti langkah Danish. “Apa Anda sudah memainkannya, Mr. Durrant?” “Belum. Saya hanya mengecek, tapi –teman sayalah yang memainkannya. Apa akan ada pengaruh padanya?” Daphne Faltzog menggeleng suram. “Kemungkinan terbaiknya adalah metode teleportasi Mr. Chua gagal, dan teman Anda tidak akan terkena pengaruh apapun. Tapi kita juga harus memikirkan kemungkinan terburuknya, bukan begitu?” Wajah Danish makin tegang. “Artinya metode teleportasi itu berhasil, dan…” “Dan mungkin teman Anda secara tak sengaja berpindah dimensi. Dan itu akan menjelaskan semua yang terjadi di sini, Mr. Durrant.” “Maksudmu —maksudmu temanku memang terbawa ke ‘dimensi lain’ itu?” “Benar, dan itu artinya: proyeknya bocor, sebab teman Anda sudah mengetahui semua ini dan terseret ke dalamnya. Mr. Chua tidak punya pilihan lain selain membakar semua file dan merusák komputer super kuantum itu. Dan itu juga jadi lebih masuk akal, sebab sejak dua hari yang lalu, Mr. Chua menghilang.” “Menghilang?” tanya Danish, terpana. Ia benar- benar shock –seakan ia sedang berada di negeri dongeng. “Dan kami masih belum bisa menghubunginya, Mr. Durrant. Pun tidak bisa menemukan keberadaannya sampai sekarang. Kami sempat bertanya pada keluarga Chua tentang ini, tapi mereka mengaku bahwa Mr. Aaron telah berpisah hidup dari mereka sejak usia 21 tahun –sekitar 15 tahun lalu." “Kami menyelidiki latar belakang keluarganya –kalau- kalau memang hal itu ada hubungannya dengan perbuatan beliau. Dan bahkan setelah kami menghubungi pihak kepolisian dan pemerintah tentang data kewarganegaraannya pun, hasilnya nihil. Negara tidak punya info apapun tentangnya. Dia –misterius.” Danish tidak mampu berbuat atau berkata apapun, selain hanya memandang gadis kepala lab itu dengan tatapan kosong. Di tengah keterpanaannya akibat berita itu, Danish dikagetkan oleh deringan ponselnya. Ia mengambil ponsel dari saku dan mendapati sebuah nomor tak dikenal memanggilnya. “Halo?” “Halo?” sahut suara wanita dari kejauhan. Napasnya terdengar terengah- engah, seperti baru berlari. “Apa… benar ini dengan Mr. Danish Durrant?” “Ya, saya sendiri. Saya sedang berbicara dengan siapa?” “Saya Nathalie Gregson, perawat di rumah sakit kota,” sahutnya lagi, masih dengan napas sesak. “Anda mengenali saya sebagai perawat yang bertanggung jawab atas bangsal tempat teman Anda dirawat.” “Oh, ya, saya ingat. Ada apa, suster?” “Saya mohon maaf sebelumnya,” kata suster itu mendadak dengan suara terpekik. “Saya sama sekali tidak menduga ada orang yang berani masuk, tapi saya sama sekali tidak melihat orang yang berkeliaran dengan gelagat mencurigakan. Resepsionis pun tidak. Dokter juga memarahi saya, dan …” Danish agak jengkel dengan cerita yang berbelit- belit ini, meski ia tahu suster itu tengah panik. “Kendalikan dirimu, suster! Sebenarnya ada apa?” Suster itu mulai terisak. “T-teman Anda, yaitu pasien atas nama Ricky Leonard Baker, tiba- tiba menghilang tanpa jejak!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD