Worst Possible Case

1712 Words
Danish Durrant tertegun. Semua informasi yang ia dapatkan hari ini berseliweran di kepalanya tak tentu arah, dan ia sendiri bingung menyatukan semuanya dalam satu kepala yang ia miliki sekarang. Teleportasi… Aaron Chua … Dimensi lain … Rick menghilang … “Halo, Mr. Durrant?” panggil perawat Nathalie Gregson sekali lagi di ujung telepon. Suaranya terdengar jauh lebih tenang sekarang. “Apa Anda masih mendengarkan saya?” “Ya, ya, tentu saja,” sahut Danish tersentak kaget. Ia berusaha menenangkan diri, sebab sesungguhnya kepanikan sudah membakar tiap sel tubuhnya kini. Ia melihat gadis kepala lab di depannya mengisyaratkan sesuatu dengan tangan, dan Danish segera memperkeras volume speaker ponselnya. Kini, suara ponsel itu menggema ke sudut- sudut ruangan Aaron Chua –tempat mereka berdua berada. “Apa yang Anda maksud dengan menghilang? Anda sudah lapor polisi? Ceritakan seluruhnya pada saya, suster,” pintanya bertubi- tubi. “Kami juga tidak tahu sebab apa teman Anda menghilang,” kata perawat itu memulai. “Tapi kami sudah menghubungi polisi, tentu saja. Saya mewakili pihak rumah sakit memohon maaf yang sebesar- besarnya pada Anda, Mr. Durrant atas kelalaian yang memalukan ini. Saya ingat sekali pukul lima sore ini saya harus menyajikan makanan pada para pasien di bangsal tempat teman Anda berada. Saya juga yakin bahwa saya sudah ke kamar Mr. Baker beberapa menit sebelum datang kembali ke kamarnya dengan makanan. Namun karena sempat terjadi pemadaman listrik mendadak, saya mendatangi kamar itu tiga menit lebih lambat dan tiba- tiba saja saya mendapati ranjang Mr. Baker yang kosong.” “Saya melaporkan hal ini pada dokter dan bagian keamanan, namun mereka tidak tahu apa- apa sama sekali. Kami semua lalu mengecek kamera pengawas di lorong bangsal, namun tetap saja tidak ada tanda- tanda bahwa Mr. Baker keluar dari ruangannya. Lagipula dalam keadaan luka parah seperti itu, ia tidak mungkin bisa…” “Suster,” potong Danish, “Apa Anda sudah mengecek kamera pengawas di kamar Rick?” “Rumah sakit tidak pernah memasang kamera pengawas di kamar rawat, Mr. Durrant,” sesal si perawat, lagi- lagi dalam keadaan panik. “Kami tidak bisa mengganggu privasi pasien.” Danish terdiam. Ia belum mampu berkomentar apapun lagi. Apa ini artinya Rick benar- benar telah berpindah dimensi, sebagaimana yang dikatakan Miss Faltzog padanya? Ia tiba- tiba teringat sepotong informasi yang tadi disampaikan si suster. “Suster, saya ingat tadi Anda mengatakan bahwa sempat terjadi pemadaman listrik mendadak?” Perawat Nathalie Gregson diam sejenak di ujung telepon. “Ya, memang,” katanya ragu- ragu, “—meski sebenarnya pemadaman listrik ini agak aneh, sebenarnya.” “Aneh bagaimana?” “Ya, sebab sebagai sebuah rumah sakit kami akan memastikan semua peralatan tetap berfungsi dengan ketersediaan listrik. Meski memang terjadi pemadaman listrik pun, kami masih punya generator listrik cadangan yang cukup kuat dan mampu mencukupi kebutuhan listrik di sini. Tapi anehnya tadi generator cadangan bahkan tidak berfungsi.” “Tidak berfungsi?” ulang Danish. “Benar, Mr. Durrant. Saya sendiri bahkan merasa agak kurang enak badan –begitu pula beberapa rekan kerja saya sebelum listrik padam. Saat itu seharusnya tenaga listrik akan langsung diambil alih generator cadangan, tapi tidak terjadi apa- apa selama beberapa menit. Saluran telepon tidak bisa digunakan, dan jaringan komunikasi hilang. Bahkan alat- alat yang tidak membutuhkan listrik juga ikut mati tanpa sebab.” Danish Durrant mengerutkan kening. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan, ia kemudian menutup telepon dan memandang Miss Daphne Faltzog yang berdiri terpaku di hadapannya dengan wajah pucat. “Anda mendengarkan semuanya, bukan, Miss Faltzog?” “Ya.” Danish mengangguk. “Saya memiliki sebuah dugaan. Tapi saya akan mendengarkan pendapat Anda dulu, Miss Faltzog.” Wajah gadis itu tampak makin pucat hingga ke akar- akar rambut dan kukunya. Ia menghapus bintil keringat di kening, lalu mulai berkata, “Saya yakin memang telah terjadi sesuatu saat itu, Mr. Durrant. Pemadaman listrik mendadak, matinya generator, dan keanehan alat- alat rumah sakit itu jelas disebabkan adanya gelombang elektromagnetik yang cukup kuat yang muncul secara tiba- tiba. Dan itu tak mungkin terjadi tanpa alasan. Hilangnya teman Anda dari rumah sakit sudah cukup membuktikan bahwa—“ “Bahwa?” sambung Danish. Ia sungguh- sungguh takut dengan kalimat yang hendak dilontarkan gadis muda di depannya. “—Bahwa kemungkinan terburuk memang telah terjadi.” Danish memandangi potongan sirkuit yang bertebaran di depannya dengan tatapan kosong. “Apa ada gunanya jika kita melaporkan semua ini pada polisi? Tentang usaha Aaron Chua membuat komputer super kuantum, dan—“ Miss Daphne Faltzog menggeleng. “Semuanya kedengaran tidak masuk akal, Mr. Durrant, dan penjelasan kita hanya terdengar seperti ocehan bocah saja. Tapi tidak ada salahnya jika kita tetap menemui mereka. Pihak rumah sakit sudah menghubungi rumah sakit, bukan? Toh, nantinya polisi akan tetap mendatangi kita sebagai saksi. Bukan begitu?” Danish mengiyakan. “Saya paham maksud Anda. Bisa saja nanti kita akan mendapatkan informasi lain begitu sampai di rumah sakit.” Ia lalu memutar handel pintu dan meninggalkan ruangan beremblem ‘Aaron Chua’ itu, diikuti si gadis kepala lab. “Kita ke rumah sakit sekarang, Miss Faltzog.” *** Rick melihat pantulan dirinya sendiri di cermin seukuran tubuh di kamar mandi kediaman Algie. Ia mengerutkan kening, lalu mengacak- acak rambutnya seakan mencari ketombe. Semenit kemudian ia lalu meraba- raba udara kosong di depan matanya, lalu beralih ke siku. “Jadi artinya selama aku masih dalam permainan ini, aku tidak akan merasakan peralatan gawai Danish?” gumamnya pada diri sendiri. “Dan apa perban luka serta gips kakiku juga menghilang karena itu?” Ia kemudian mengelus- elus kakinya, mencari- cari tekstur kasar –memastikan bahwa perban yang membalut gips itu masih ada. Tapi nihil. “Apa ini yang Danish maksud bahwa permainan prototipe ini melebihi virtual reality?” Masih dengan menatapi cermin, perlahan- lahan Rick melepaskan bajunya hingga cermin memantulkan bayangannya yang bertelanjang dáda. Rick masih sama kerempeng seperti kemaren, hanya saja sebuah gambar di bahu kirinya  membuat pemuda itu tersadar akan sesuatu. Rick mendekatkan bahunya itu ke cermin, dan sontak terkejut. Itu memang gambar –lebih tepatnya tato bersimbolkan sebuah perisai, dengan tulisan mini Red Seal di tengahnya. Tato itu bukanlah terbuat dari tinta yang disuntikkan ke kulit, melainkan sebuah tato permanen yang dibuat dengan cara merusák kulit bahu kirinya. Sepertinya sebuah logam panas membara dengan simbol Red Seal telah ditekan di kulitnya dengan kuat untuk waktu yang cukup lama, hingga menciptakan luka dalam memerah berbentuk perisai di sana. Dan Rick tidak ingat kapan hal itu terjadi. “S-sejak kapan ini ada?” ujar Rick terbata- bata. Ia memegang tato perisai itu. Tidak sakit sama sekali, dan luka yang terbentuk sepertinya cukup dalam. Luka ini sudah sembuh, meski Rick yakin butuh waktu lama untuk memulihkannya seperti ini, terhitung sejak kulitnya itu dipanggang. Tapi kapan? “Jangan buang- buang waktu Anda dengan hal- hal yang tidak berguna,” ujar seseorang. “Segera selesaikan misi Anda dan menangkan permainan.” “AH!” seru Rick terkaget- kaget. Ia terkejut begitu mendengar suara itu lagi. Suara wanita yang teratur yang pernah menggerecokinya saat pertama kali bertemu dengan Algie. “Kau!” seru Rick lagi. Jantungnya berdebar cepat saking terkejutnya. Insting membuat pemuda itu menutup bagian depan tubuhnya yang tak lagi mengenakan baju. “Kau dimana? Keluar sekarang!” Wanita itu diam sekarang, tanpa komentar. “Ayo, keluar! Kenapa kau datang mengintipiku? Aku mau mandi, tahu!” Suara wanita itu terdengar lagi. “Saya sama sekali tidak tertarik dengan urusan privasi Anda. Selesaikan misi ini secepatnya.” “Lalu kau sekarang dimana?” tanya Rick lagi dengan suara keras. Ia berputar- putar tak tentu arah di kamar mandi Algie yang mewah dan luas, sementara si wanita terus saja berkata ‘Se-le-sai-kan mi-si’ berulang- ulang. Tapi suara itu sama sekali tidak menggema. “Hei, apa kau ada dalam kepalaku?” Wanita itu mendadak berhenti mengulang- ulang perkataannya. Dan Rick merasa dugaannya benar. “Siapa namamu? Kenapa kau bisa ada dalam kepalaku?” “Saya tidak mengerti pertanyaan Anda. Saya tidak memiliki nama, sebab saya adalah asisten yang akan membantu Anda menyelesaikan permainan.” “Baiklah, asisten virtual,” kata Rick, “Kenapa kau bisa bersuara hanya di dalam kepalaku saja? Apa yang terjadi dengan semua lukaku?” “Pemain tidak memiliki hak untuk bertanya untuk hal- hal tertentu. Pemain yang memulai permainan ini berarti setuju untuk menyelesaikannya hingga akhir. Pemain menanggung konsekuensi yang ditanggung sendiri bila tidak dapat menyelesaikan permainan.” “Ya, ya, aku mengerti,” gerutu Rick yang kesal mendengar ocehan wanita itu. “Kau tak perlu membacakan lagi Syarat dan Ketentuan game bodoh ini lagi padaku.” Wanita itu diam sejenak, kemudian suaranya terdengar lagi di dalam kepala Rick. “Saya akan memberi beberapa clue pada Anda selama permainan.” Rick menghela napas. Wanita yang bersuara di otaknya itu sepertinya hanya akan membahas semua tentang permainan saja. “Baiklah, Miss Brain,” ujar Rick. “Karena kau hanya ada dalam kepalaku, aku akan memanggilmu Miss Brain, oke? Aku akan bertanya lagi padamu nanti. Tapi sekarang pergilah, jangan ganggu aku saat mandi. Dan panggil aku Leonard Baker.” Suara feminin yang teratur itu terdengar lagi. “Baiklah, Mr. Leonard Baker.” *** Rick duduk di kursi tinggi perpustakaan dengan perut kenyang. Ia sudah selesai bebersih dan makan dengan hidangan lengkap dilayani beberapa pelayan rumah Algie, dan kini matanya sangat mengantuk. Sekilas ia memandangi rak- rak buku tinggi yang mencapai langit- langit, lalu menghela napas. Mengeluh. Banyak sekali yang mesti ia pelajari. Tadi sebelum Rick meninggalkan ruangan itu setelah pembicaraan penuh emosi bersama Algie, pria pirang itu sempat menunjukkan rak mana yang harus ia pelajari terlebih dahulu. Rick menuju rak yang dimaksud dan mengambil salah satu buku tebal di sana. Sembari membalik sampulnya, ia duduk di kursi. Tertulis di halaman pertama nama salah satu penerbit yang sering ia dengar beserta tulisan ‘Toronto, 1997’. Dengan cepat Rick mengambil setumpuk buku lain dari rak itu dan melihat halaman pertama tiap- tiapnya. New York, 2015. Singapore, 2000. New York, 1971. Muenchen, 2011. Kening Rick berkerut. Algie memang bilang bahwa ia tidak pernah mendengar tentang bumi, tapi ia tentu familiar dengan nama- nama kota ini sebab mereka tercetak di buku- buku miliknya. Rick memang tahu, bahwa Don telah memfasilitasi Algie dengan buku- buku bumi ini, tapi apa Algie benar- benar tidak mengingat apapun tentang bumi? Atau setidaknya, tidakkah ia mempertanyakan dimana kota New York, Toronto, Singapore, dan Muenchen?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD