Inspektur berkumis spektakuler tampak berjalan bolak- balik seraya mengernyitkan keningnya memandang sebuah note kecil di dalam tangan kanan. Sementara di tangan kiri, ia menggoyang- goyangkan penanya yang runcing –sedangkan beberapa bawahannya serta Danish Durrant tampak memperhatikan inspektur itu.
Bedanya, para bawahan memandanginya dengan hormat, sedangkan Danish tampak gelisah sekaligus kesal.
“Apa tidak ada hal apa- apa yang bisa Anda beritahukan pada kami, Inspektur?”
Sang inspektur –Emerson –berlagak sok penting. “Belum ada, Tuan Durrant. Anda tentu tahu kan bahwa kami butuh waktu untuk penyelidikan? Lagipula hilangnya teman Anda ini adalah hal yang misterius. Bagaimana mungkin seseorang bisa hilang tanpa jejak begitu?”
Danish menggemeletukkan giginya –antara kesal dengan kelambanan dan kearoganan si Inspektur, dan juga tidak tahan ingin memberitahu apa yang telah terjadi di lab kakeknya. Pemuda tinggi itu melemparkan pandangan pada Miss Faltzog yang tampak memperhatikan kasur tempat Rick dirawat, serta perangkat gawai yang tergeletak begitu saja di atasnya. Gadis itu lalu mengotak- atik gawai itu tanpa mempedulikan orang sekitar.
Inspektur Emerson menelengkan kepalanya ke arah Danish. “Oh, iya, Mr. Durrant. Saya ingat kemaren kepala lab Anda ini, Nona Falcone…”
“Faltzog,” ujar Danish membetulkan
“Ya, ya, Nona Faltzog. Dia juga melaporkan tentang hilangnya salah satu ahli riset Anda, bukan? Atau lebih tepatnya meminta info keberadaan ahli kenamaan itu pada kami, karena Nona ini mendapati beliau tidak datang ke tempat riset beberapa hari berturut- turut. Beliau bernama –Aaron Chua.”
“Ya, betul.”
“Bukankah aneh bahwa ada dua orang yang berhubungan dengan Anda dalam waktu yang singkat?” tanyanya dengan menuduh.
Danish balas menatap inspektur tajam. “Apa maksud Anda, Inspektur?”
“Begini, Tuan Durrant,” ujar Inspektur Emerson tiba- tiba, “Menurut saya, tidakkah hal ini terjadi karena Anda sendiri yang melakukannya?”
Danish mendekati Inspektur hingga hanya berjarak semeter darinya. “Saya masih tidak paham. Apa yang ingin Anda katakan Inspektur?”
Inspektur Emerson itu berhenti mengelus kumis. “Anda masih belum paham? Maksud saya, apa bukan Anda sendiri yang memindahkan si pasien tanpa sepengetahuan dokter dan rumah sakit?”
“Bagaimana mungkin?” seru Danish. “Saya tahu persis bahwa Rick belum sembuh! Lagipula apa gunanya bagi saya membawanya keluar dari rumah sakit?”
Inspektur diam sejenak, memandangi anak buahnya sekilas, lalu bertanya lagi pada Danish, “Anda cucu dari pemilik Durrant Technology, bukan?”
“Ya,” tegas Danish.
“Dan Anda tentu lebih tahu daripada saya bahwa kakek Anda sangat menyukai perkembangan teknologi?” tanya inspektur itu lagi.
“Benar sekali. Dan begitu pula saya.”
“Jadi… apa tidak mungkin Anda sendiri yang membawa teman Anda itu, eh… untuk dijadikan kelinci percobaan perkembangan teknologi Anda yang terbaru?”
Danish sontak terkejut dengan pernyataan itu. “No way! Bagaimana mungkin Anda bisa berpikiran begitu, Inspektur?”
“Aaah, atau mungkin kakek Anda yang melakukannya?”
Wajah Danish berubah dingin. “Kami sekeluarga tidak pernah menjadikan manusia sebagai kelinci percobaan, Inspektur,” katanya sembari melirik sekali lagi pada Miss Faltzog yang ada di sudut ruangan. Tapi gadis itu masih saja asyik dengan gawai prototipe itu, malah tampak sedang sibuk membongkarnya.
“Yah, kan saya tidak tahu,” kata Inspektur mengangkat bahu, tanpa rasa bersalah. “Saya tidak menuduh keluarga Anda. Saya hanya mengatakan itu bisa saja terjadi. Perusahaan- perusahaan besar dan kaya ‘kan sering berbuat begitu.”
Danish geleng- geleng kepala mendengar pendapat picik tak berdasar itu. “Saya tidak mengerti yang Anda maksudkan dengan kelinci percobaan, Inspektur. Lagipula perusahaan kami bukan bergerak di bidang kosmetik atau obat- obatan, tapi teknologi. Jadi…”
“Ya, saya tahu, saya tahu,” potong Inspektur Emerson sambil melambaikan tangannya. “Geoffrey!”
“Ya. Pak?” sahut salah satu bawahannya yang sejak tadi tampak berdiri melamun bersama dua rekannya yang lain. Ia merasa sedikit penting begitu dipanggil sang Inspektur. “Ada yang bisa saya kerjakan, Pak?”
“Ya, kau berikan laporan ini ke kantor,” perintah inspektur. “Setelah itu kau kembali lagi ke sini.”
Geoffrey mengambil laporan dari tangan atasannya, menabik hormat dengan hentakan kaki, lalu berbalik pergi.
Si Inspektur menanyai lagi perawat Nathalie Gregson beserta dokter yang bertanggung jawab atas perawatan Rick selama beberapa menit kemudian, membuat Danish bingung harus berbuat apa. Dia juga memberi perintah pada dua anak buahnya untuk kembali menanyai resepsionis dan mengambil rekaman kamera pengawas, setelah itu mengumpulkan semua saksi di depannya.
Setelah sekitar dua puluh menit kemudian, Inspektur Emerson dan bawahannya memohon pamit.
“Kami akan segera mengabari Anda tentang perkembangan terbaru mengenai pasien Ricky Leonard Baker,” katanya pada semua orang di sana. “Tapi untuk sekarang saya mohon permisi dulu, lagipula –apa yang ada di tangan Anda, Nona Falcone?”
Daphne Faltzog, yang sedari tadi mengantongi tangannya di saku jas, menggeleng. “Bukan. Bukan apa- apa. Lagipula saya Faltzog, bukan Falcone.”
“Keluarkan,” perintah si Inspektur.
Daphne mengeluarkan sebuah pensil dari saku jas labnya. “Maksud Anda… pensil saya?”
“Oh, jangan berpura- pura, Nona. Saya baru saja melihat Anda diam- diam mengantongi gawai yang kami letakkan di meja seberang. Anda tentu tahu, bahwa gawai itu jadi barang bukti sekarang.”
“Sama sekali tidak,” sahut Daphne Faltzog dengan wajah polos.
“Nona Daphne Falcone, saya—“
“Faltzog, Inspektur!” teriak Miss Faltzog dengan wajah putus asa. “Seenaknya saja Anda mengubah nama saya!”
Danish terkejut dengan sikap Miss Faltzog. Ia tidak pernah melihat kepala lab itu bertingkah emosional seperti ini, terlebih saat ini ia juga tampak mulai mengeluarkan air mata.
“Dan sekarang Anda menuduh saya mengambil barang bukti kasus ini? Anda tega sekali!” teriaknya lagi dengan suara bergetar.
“Bukan begit—“
“Miss Faltzog, ada apa denganmu?” tanya Danish.
“Anda juga, Mr. Durrant!” kata wanita itu dengan suara tinggi. “Saya benar- benar sudah sedih dan panik dengan hilangnya Mr. Aaron Chua, tapi sekarang Anda juga menganggap saya telah mengambil sesuatu dari meja itu?”
‘Tentu, tidak—“
“Tapi, Nonaku sayang,” kata Inspektur Emerson dengan nada lebih lembut, “Saya melihat sendiri Anda mengambil gawai prototipe itu tadi dan—“
“Baiklah, baiklah!” sembur Miss Faltzog sambil mengeluarkan gawai prototipe itu dari saku jasnya. “Ambillah lagi! Anda memang benar- benar tidak mengerti saya.”
Ia lalu mendekati Danish dan memeluknya –dan jelas saja pemuda itu bingung walau tetap balas memeluk.
Inspektur Emerson menatap Miss Faltzog sesaat, seakan hendak mengucapkan sesuatu. Tapi ia tidak berkomentar apa- apa lagi hingga semenit kemudian, melainkan pergi bersama beberapa bawahannya tadi meninggalkan ruang inap rumah sakit.
Danish –dengan penuh kebingungan berusaha menenangkan gadis itu. Bagian depan kaosnya mulai basah dibanjiri air mata Miss Faltzog yang terus terisak, dan Danish benar- benar merasa tidak enak. Dengan secepat mungkin ia merangkul bahu gadis itu dan membawanya keluar dari ruang itu pula, setelah meminta maaf pada dokter dan perawat atas kegaduhan yang terjadi.
“Miss Faltzog,” ujar Danish seraya membawanya berjalan melewati lorong rumah sakit, “Tenanglah, semua akan baik- baik saja. Saya yakin kita bisa melakukan sesuatu, meskipun gawai itu sudah dibawa polisi dan kita tidak bisa mencari tahu perubahan apa yang telah dilakukan Aaron Chua di dalamnya—“
Belum selesai Danish berbicara, tiba- tiba Miss Faltzog melepaskan rangkulan Danish. Isakannya juga berhenti, membuat keduanya juga menghentikan langkah.
“Anda… baik- baik saja, Miss Faltzog?”
“Ya.”
Danish menghela napas. “Mungkin kita bisa berbuat sesuatu. Apa menurut Anda kita bisa meminta rekaman kamera pengawas juga?”
Miss Faltzog tidak berkomentar. Ia hanya menengadah ke atas, menatap Danish yang jauh lebih tinggi darinya itu lekat- lekat.
“Miss Daphne Faltzog!” seru Danish terkejut. “Anda sama sekali tidak menangis!”
Gadis itu hanya mengangkat bahu. “Tentu saja tidak, Mr. Durrant.”
“Lalu—tapi tadi air mata Anda—“
“Itu bukan air mata saya. Lagipula itu bukan hal penting yang akan kita bahas sekarang.”
“Tapi kenapa tadi Anda seakan menangis terisak- isak?” tanya Danish masih dalam kekagetannya. “Anda begitu… emosional sekali.”
Wajah Daphne Faltzog kembali dingin dan datar seperti biasa. “Karena siapapun tidak akan ingin meminta lebih banyak pada orang yang tampak begitu sedih dan emosional, Mr. Durrant.”
“Maksud Anda?”
“Inspektur Emerson jelas memang melihat saya mengantongi gawai permainan,” jelasnya. “Dan dia juga melihat saya melakukan sesuatu pada gawai itu. Dia berniat menanyakan lebih lanjut tentang apa yang saya lakukan tadi, tapi dia membatalkan niatnya karena tidak tega melihat saya menangis.”
Danish membelalakkan mata. “Cerdik sekali! Tapi, apa yang Anda lakukan tadi, sebenarnya?”
Apa Anda mempercayai perkataan saya di laboratorium tadi, Mr. Durrant? Tentang kemungkinan teman Anda sudah berpindah dimensi?”
“Ya… mungkin. Meski sebenarnya—“
“Percaya atau tidak?” tegas Daphne Faltzog lagi. “Karena keyakinan Anda sangat penting sebelum kita memulai penyelidikan, Mr. Durrant. Tak ada gunanya kita memulai pencarian sendiri jika Anda tidak yakin dengan kata- kata saya.”
Danish berpikir sesaat, lalu mengangguk. “Ya, saya percaya.”
“Nah,” kata gadis itu sambil mengeluarkan genggaman tangannya dari saku jas laboratorium. “Kalau begitu, dari sinilah kita memulai. Saya mengambil ini dari gawai itu tadi. Tanpa barang- barang ini, percuma saja inspektur genit dan sombong itu membawa prototipe itu ke kantornya.”
Untuk ke sekian kali, Danish terpana dengan kehebatan gadis di depannya. Memang tidak sia- sia kakeknya memposisikan gadis itu sebagai kepala lab.
“Apa itu?”
Daphne Faltzog membuka genggaman tangannya, memperlihatkan sebuah persegi solid yang tampak seperti memori, dan beberapa kotak kecil berlapis karet silikon di bagian luar.
“Ini, Mr. Durrant, kemungkinan besar akan menyelesaikan masalah kita. Minimal sebagian.”