First Mission

1116 Words
Setelah insiden peretasan komunikasi oleh Danish dan kakeknya, Rick merasa senang sekaligus sedikit takut. Senang karena akhirnya bisa terhubung dengan ‘dunia nyata’ yang ia kenali sejak lahir. Ia juga berharap semoga ia segera bisa keluar dari permainan virtual yang aneh ini. Namun ia juga agak takut. Ketika komunikasi berhasil diambil alih lagi oleh Miss Brain dan dikendalikan sepenuhnya olehnya, ancaman yang ia berikan kepada Rick bukan main- main. Ia mungkin tak akan menganggap ancaman Miss Brain serius bila saja komunikasinya dengan Danish dan Francis Durrant kala itu tak segera diputus. Ada semacam perasaan dingin dan kejam yang menyelinap aneh ke dalam diri Rick, menyelimuti hatinya.Dan keanehan itu tak kunjung hilang bahkan hingga ia sampai di depan pintu rumah Algie. “Oh, kau,” sapa Algie yang segera menurunkan telepon sejenak sambil menutupinya dengan tangan. “Tunggu di sana sebentar. Aku ingin berbicara denganmu.” Rick mengangguk lalu duduk di salah satu sofa di ruang tamu, sementara Algie melanjutkan percakapannya di telepon. Rick melihat setumpuk buku di satu sisi, dan pemuda kerempeng itu sama sekali tak tertarik dengannya. Kelihatannya hanya seperti buku- buku tentang manajemen serta filosofi. Satu- satunya yang menarik perhatian Rick adalah yang ada di sampingnya, yaitu sebuah buku catatan bersampul merah tua. Rick membungkukkan badannya sekilas pada buku merah tua itu, dan melihat tulisan di sudut kanan sampul : Jurnal. Pemuda itu kembali duduk tegak. Jika itu memang jurnal, maka ia sama sekali tak ingin menggerecoki urusan Algie. Pria pirang berkacamata itu pasti menuliskan hal- hal yang bersifat pribadi di sana. Namun durasi percakapan Algie di telepon membuat Rick tidak memiliki fokus perhatian yang lain selain barang- barang yang ada di meja itu. Ia kembali melihat ke arah Algie, yang masih sibuk berbicar di telepon. Kening Algie tampak berkerut serius, dan suaranya sangat rendah sekali sehingga hampir mustahil bagi Rick untuk menangkap pokok pembicaraannya. Rick mulai bosan. Ia menggeser bokongnya agar duduk lebih dekat ke buku merah itu. Sesekali ia mencuri pandang ke arah kawannya Algernon, lalu memutuskan untuk berpura- pura acuh- tak acuh sembari memeriksa isi buku jurnal merah tua di depannya. “BERHENTI DI SITU!!” Gelegar sebuah suara mengejutkan Rick bagaikan petir di siang bolong. Ia menjatuhkan buku itu kembali ke meja dan secara refleks mengangkat kedua tangannya ke atas –seakan- akan sedang ditodong perampok. Dengan gerakan kilat seperti ninja Algie langsung menyambar buku merah di meja lalu berdiri dengan alis mengerut marah pada Rick. “Apa yang kau lakukan?” teriaknya, “Mengapa kau menyentuh barang- barangku?” “Aku tidak—“ “Siapa yang memberimu izin untuk menyentuh barang- barangku?” “Tidak ada,” sahut Rick pelan. “Algie, aku minta maaf. Seharusnya aku tidak lancang.” “Dan kau sangat sadar bahwa kau baru saja berbuat lancang, “ cemooh Algie. “Jangan pernah melakukan hal itu lagi!” katanya seraya mengepit buku merah tua itu di dadá. Kata- kata yang terdengar seperti perintah bagi Rick, yang entah bagaimana membuat pemuda itu bergidik. “Baiklah, Algie. Aku berjanji padamu. Sekali lagi maaf.” Algie masih merengut marah, sementara itu Rick bertanya- tanya dalam hati. Algie sama sekali tidak mengambil tumpukan bukunya yang lain, namun hanya menyelamatkan buku merah tua itu dari serangan rasa penasaran dirinya. Apa tumpukan buku itu tak sepenting si buku merah tua? Apa buku itu memang sangat spesial? “Kalau aku boleh tahu,” kata Rick dengan ragu- ragu, “Apa isi buku merah itu?” “Semua hal yang harus kupelajari,” sahut Algie singkat. “Kau masih harus belajar sepertiku?” “Bukan sepertimu, bodoh. Aku sudah bilang, ‘kan sebelumnya, kalau aku sudah menguasai semua isi buku di perpustakaanku?” kata Algie angkuh. “Ada hal- hal lain yang harus kuketahui lebih banyak, dan jauh lebih penting daripada itu.” “Apa?” Wajah Algie berubah tegang dan datar, seperti topeng kematian. “Apa kau sudah selesai mencampuri urusanku?” “Ah, maaf.” “Tidak pernah ada gunanya maaf menurut hematku,” kata Algie dengan acuh tak acuh. Ia ikut duduk di sofa, sedangkan buku merah itu ia letakkan di sampingnya sembari terus ia pegang. “Aku baru saja mendapat telepon dari Haze.” “Siapa Haze?” tanya Rick. Mata Algie menyipit. “Kau bisa biarkan aku menyelesaikan semua perkataanku terlebih dulu sebelum bertanya?” “Oh, baiklah.” Algie menghirup napas dalam- dalam dan mengulang penjelasannya dari awal. “Aku baru saja mendapat telepon dari Haze. Kau akan segera tahu nanti soal siapa dia. Yang jelas, ia menerima keberadaanmu di Red Shield dan memintamu untuk segera datang nanti malam. Ia akan memberimu pekerjaan awal, dan dia bilang itu cukup mudah.” “Apa?” tanya Rick terkejut. “Apa… semudah itu? Maksudku –bukan pekerjaannya,” sergahnya cepat- cepat begitu melihat perubahan mimik Algie yang berbahaya, “Maksudku apa semudah itu bagi mereka menerimaku sebagai anggota baru?” Algie diam sejenak sembari menatap Rick dengan pandangan menilai. “Aku juga berpikir begitu. Apa yang membuat mereka langsung mempercayaimu?” “Bukan mereka secara keseluruhan,” Rick membetulkan, “Orang bernama Haze-lah yang mempercayaiku.” “Tapi kenapa?” Algie bergumam sendiri. Rick terdiam sejenak. Segala peraturan dan apa yang sedang terjadi di dunia permainan ini benar- benar terasa aneh baginya. Dan bila dia memang bukan di dunia game –melainkan tersesat di dunia lain sebagaimana yang dijelaskan Francis Durrant –maka ia tak bisa menganggap hidupnya di dunia ini sekedar main- main. “Haze bilang dia akan memberimu pekerjaan awal yang sangat penting, yang akan menentukan apakah kau benar- benar bisa menjadi anggota Red Shield atau bukan. Kalau kau berhasil, kau akan segera mendapat posisi yang disegani. Dia juga menjanjikan hal yang sama denganku.” “Aku tak pernah butuh kepercayaan spesial dari orang seperti robot itu,” kata Algie dengan congkaknya lagi. “Aku hanya butuh kepercayaan Don, dan itu sudah cukup bagiku. Tapi…” ia tampak berpikir- pikir lagi seraya mengamati Rick dengan seksama, “Kenapa dia langsung mempercayaimu? Ia bahkan belum pernah bertemu denganmu, namun apa yang ia lihat darimu?” Algie bersandar dengan wajah masih mengamati Rick. “Siapa kau sebenarnya?” *** Sementara itu jauh dari kediaman Algie, si pria berjanggut lebat dengan mata kumbangnya yang khas kembali memeriksa ruang yang sama. Ia memutar sebuah kenop, memasukkan password, memutar beberapa kenop lagi lalu menunggu dengan sabar. Tak berapa lama, ruangan itupun membuka –menampakkan sisi- sisinya yang sempit dan satu- satunya kotak besar dan panjang yang ada di sana. Sekali lagi lelaki berjanggut lebat itu kembali membuka berbagai kunci pengaman pada kotak dan menunggu. Begitu mendapati isi kotak itu, ia pun menghela napas panjang. Akhirnya ia bisa bernapas lega. Meskipun ia tak yakin sampai kapan ia bisa merasa aman seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD