Night at Cafe

1149 Words
Seorang pria berambut cepak dengan tubuh besar nampak berjalan sempoyongan memasuki sebuah café di awal malam. Ia bersendawa panjang- panjang, lalu menghardik salah seorang pelayan di sana. “Bawakan aku espresso ukuran besar!” teriaknya. Pelayan muda yang berdiri tak jauh darinya itu terlihat ketakutan. Ia mengangguk cepat- cepat dan segera mencatat pesanan. “Ada… ada yang lain, Tuan?” “Hah?!” tanya pria cepak. “Apa ada yang lain yang ingin Tuan pesan?” Si pria cepak sempoyongan itu pun memerah mukanya. “Apa aku tadi memerintahkanmu membawakan pesanan lain?” tanyanya dengan aura penuh bahaya. “CEPAT BAWAKAN ESPRESSOKU!” Si pelayan muda itu sadar bahwa ia tak perlu berbasa- basi lagi, dan segera menuju dapur untuk menyampaikan pesanan. Selama beberapa waktu, si pelayan tak lagi muncul dari dapur, dan pria cepak bertubuh besar yang tampak setengah sadar itu sibuk mengumpáti orang- orang di sekitarnya. Orang- orang di dekatnya memang sempat menoleh karena penasaran ribut- ribut apa yang terjadi –karena pria cepak tadi meninggikan suara –namun rasa penasaran mereka harus dibayar dengan sumpáh serápah yang begitu lancar diluncurkan lidah si pria cepak. “Urusan urusan kalian sendiri!!” katanya sebelum meneruskan memberi umpátan lain. Namun niat itu cepat- cepat ia urungkan sebab espresso ukuran besarnya sudah datang –dibawakan pelayan ketakutan tadi. Sekilas pelayan itu bisa mencium bau samar alkohol dari dekat si pria besar cepak, dan itu cukup memberi pemahaman baginya agar ‘lebih baik tidak mengganggu orang ini’. Dengan rakus, pria berambut cepak segera mengambil gelas espresso­-nya, meneguk tanpa ampun, menandaskan isinya sampai kosong. “BAWAKAN AKU SATU ESPRESSO LAGI!” pintanya. Pelayan tadi merespon dengan cepat, mengambil gelas yang kosong dan membawakannya ke dapur. Dia meneguk espresso seperti sedang minum- minum saja, komentarnya dalam hati. Dan memang benar. Hingga berjam- jam kemudian, sudah ada lima gelas espresso yang kosong di atas meja lelaki itu. Sesekali ia meracau, merepet dan berbicara sendiri. Sementara itu, satu demi satu pelanggan café mulai bepergian, menyisakan hanya beberapa orang saja di sana, termasuk pria berambut cepak. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pelayan muda tadi memberi tahu beberapa teman kerjanya, berbisik- bisik dengan mata terus memperhatikan lelaki mabuk yang minum kopinya dengan kesetanan tadi. Mereka tampak berbincang dengan serius, sebelum akhirnya salah satu teman dari pelayan muda tadi memberanikan diri mendekati si cepak bertubuh besar. “Maaf, Tuan,” mulainya dengan agak ketakutan. Ia juga bisa mencium bau alkohol bercampur dengan aroma espresso menguar dari si cepak. “Maaf, tapi kami sebentar lagi akan tutup, Tuan. Jadi…” “Aku sedang menunggu teman,” gerutu si cepak besar dengan suara parau. “Aku takkan lama.” “Tapi—“ Tak! “Aku sudah bilang, ‘kan, kalau aku juga takkan berlama- lama di sini??” ulang si cepak meninggikan suara. Ia baru saja menghentakkan salah satu gelas kosongnya ke meja. “Baik, Tuan. Maafkan saya!” kata pelayan itu. Ia segera pergi –sebab tak ingin mengambil resiko bila si cepak besar itu nantinya akan menghancurkan semua gelas- gelas di café –atau lebih parah lagi bila ia nanti akan memporak- porandakan café itu. Sama sekali tak mustahil baginya mengingat tubuhnya yang besar dan otot- otot liatnya yang kekar. Semua pekerja di sana berkerumun menunggu dekat dapur, terus memperhatikan pria cepak sambil sibuk menyangsikan perkataannya. Benarlah, memang ia menunggu seseorang. Ketika pria cepak itu tampak tak sadarkan diri, terdengar bunyi pintu kaca café yang didorong ke samping. Semua pekerja café menoleh, mendapati lelaki berkulit putih yang berpostur tinggi dan atletis seperti perenang. Lelaki yang baru masuk itu mengenakan jas lengkap. Ia memiliki hidung mancung yang bengkok dengan rambut pirang jerami. Matanya yang tajam lagi angkuh mengawasi isi café, dan langsung bergerak cepat menuju meja si cepak. “Halo,” sapa si lelaki berjas. “Hmm,” gumam si cepak menyahut. “Astaga, kau ini memang kacau sekali! Apa kau menghabiskan espresso sebanyak ini setelah minum- minum?” tanya lelaki berjas. “Kau ingin cepat mati?” Si cepak tak menjawab, alih- alih ia membungkukkan tubuhnya ke depan. “Apa aku terlihat seperti orang gila yang tak sadarkan diri?” Lelaki berjas itu terkejut. Suara kawannya itu sangat jelas, jernih, dan terkontrol penuh kehati- hatian. Ia pun mengerti. “Tentu, tentu,” katanya tersenyum. “Kau ingin orang- orang menurunkan kewaspadaan mereka padamu,” pria berjas itu terkekeh. “Licin juga. Apa kau menuangkan bír ke seluruh pakaianmu?” “Tidak,” sahut si cepak, “Hanya secukupnya untuk membuat orang- orang berpikir kalau aku habis minum.” “I see. Apa memang diperlukan?” “Ada beberapa yang tadinya kucurigai mengawasiku di sini. Aku tak ingin mengambil resiko.” “Yang artinya menjadi resikoku juga. Jadi, hal apa yang ingin kau ceritakan padaku?” Pria cepak itu melesakkan tubuh besarnya ke sandaran kursi. Ia meracau tak jelas sekali lagi. Setidaknya begitulah yang terdengar oleh para pekerja café. Namun tidak demikian dengan lelaki berjas. Yang ia dengar adalah penjelasan teratur dalam suara rendah. “Kau sedang berada dalam bahaya. Aku tak yakin apa perlindungan Five Mercury akan cukup bagimu, namun Red Shield sedang mencarimu.” “U—untuk apa?” “Karena kau telah meminta tolong pada dua pihak sekaligus yang kau tahu keduanya saling bersaing.” Lelaki berjas itu membelalak. “Don… tahu?” bisiknya. “Entah. Sejauh ini kasusmu hanya ditangani Haze. Dan—“ Kata- kata lelaki cepak itu terputus. Secepat kilat ia menoleh ke sekeliling café dengan mata gelisah sekaligus takut. “Kau kenapa?” tanya kawannya. “Tidak tahu kenapa aku merasa… ah, mungkin memang bukan apa- apa,” kata lelaki cepak itu menggeleng. “Memangnya ada apa?” “Bukan. Bukan hal penting. Kurasa itu hanya perasaan paranoid.” Lelaki berjas itu menyeka keringat di akar rambut jeraminya. Rautnya jelas meragukan perkataan kawannya itu. “Lanjutkan perkataanmu itu.” “Aku tak bisa bicara banyak,” kata si cepak gugup. Matanya juga masih terlihat gelisah. “Tapi kau tak usah khawatir. Haze memintaku untuk terlibat dalam penanganan masalahmu, Ivanov.” Pria berjas tadi mengangguk. “Aku sangat mempercayaimu.” “Bagus. Tapi sekarang kita harus pergi. Demi keamanan.” “Baiklah. Kau mau kupapah?” “Boleh saja. Kita akan terlihat meyakink—“ sekali lagi si cepak menoleh seperti kilat ke sekitarnya. “Ada apa?” tanya Ivanov lagi penasaran, “Apa… apa ada yang mengawasi kita?” Ia bisa melihat perubahan drastis pada wajah kawannya itu –yang kini terlihat pucat aneh seperti bubur basi. “Aku tidak yakin, Ivanov. Cepat, cepat! Kita harus pergi!” “Baik, Desmod,” bisik lelaki berjas. Ia segera menyandarkan lengan lelaki cepak pada lehernya sendiri, lalu berjalan kepayahan menopang tubuh besar kawannya. Kawannya itu lagi- lagi merepet tak jelas. “Maafkan kekasaran kawanku. Ia sedang mabuk,” kata Ivanov dengan wajah ramahnya yang tersenyum licin. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku. “Ini bayaran untuk espresso-nya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD