Swim the Waves

1540 Words
Pria dengan rambut memutih itu dengan sigap mengambil alih semua barang yang tadinya dikuasai oleh Miss Faltzog. Ia kembali menyambungkan semuanya sebagaimana yang dilakukan gadis kepala laboratorium tadi, namun sebagai tambahan ia melakukan beberapa command tambahan di komputer. Ia juga merakit sesuatu yang tampak rumit bagi Danish –sesuatu yang tak ia mengerti. “Astaga,” seru Danish tiba- tiba seraya menoleh pada Miss Faltzog, “Kukira aku harus memberitahu Nyonya Baker dulu.” “Ibu dari teman Anda?” “Betul sekali. Dia sama sekali belum mengetahui apa- apa tentang anaknya sejak kecelakaan, kurasa.” “Tunggu,” tahan Daphne Faltzog sambil memegang lengan Danish yang sudah akan mendekatkan ponsel ke telinganya. “Kenapa? Ada apa?” Miss Faltzog menatap pewaris perusahaan teknologi Durrant itu dengan mata tajam. “Apa Anda akan benar- benar memberitahu Nyonya Baker?” “Ya. Apa masalahnya? Dia pasti mencemaskan anaknya, bukan?” Gadis itu menggeleng. “Jika memang ia mencemaskan anaknya, mengapa ia tidak menelpon Mr. Rick Baker sejak ia mengalami kecelakaan? IA tidak menghubungi Anda, tidak juga rumah sakit. Bukankah ia menyimpan nomor ponsel Anda?” “Ya…,” sahut Danish ragu- ragu. Matanya menatap lantai dengan kening berkerut. “Ya, you got the point, Miss Faltzog. Tapi kenapa?” desaknya, “Kenapa beliau sama sekali tidak mencoba mencari tahu?” “Ini sudah dua hari sejak kecelakaan Mr. Rick Baker terjadi,” jelas Miss Faltzog mengabaikan pertanyaan Danish. “Yang jelas, ini cukup membuktikan memang ada sesuatu yang tidak beres dari awal.” Danish terpana. “Maksud –maksud Anda?” “Kita hanya bisa berasumsi, Mr. Durrant,” kata wanita itu lagi dengan wajah datarnya yang khas. “Bahwa Nyonya Baker memang mengetahui apa yang sedang terjadi, atau—“ “Tapi bagaimana bisa?” Danish menentang. “Tidak mungkin bisa terpikirkan olehnya kalau anaknya sedang terhisap oleh portal dimensi lain—“ “Kita hanya berasumsi, Mr. Durrant. Ingat,” sergah wanita itu. Danish menelan ludah. “Baiklah. Dan yang kedua?” “Yang kedua, bisa jadi pula ia sudah mencari tahu apa yang sedang terjadi namun akhirnya mengendus ketidakberesan atas kehilangan anaknya itu. Ia terpaksa diam dan tidak bisa melanjutkan pencariannya.” “Maksudnya?” “Mungkin ia sudah menduga sesuatu dari awal.” “Tapi itu artinya ia sudah memiliki informasi soal Rick!” tegas Danish keras kepala. Gadis kepala laboratorium itu hanya mengangkat bahu. “Yang pasti kedua- duanya akan beresiko : ia mungkin akan kehilangan nyawanya sendiri karena bahaya.” Danish tertegun. Ia tak bisa berkata apa- apa, sementara satu jam sudah berlalu sejak sang Kakek mengutak- atik semua perangkat di laboratorium itu dalam diam. *** “Berhasil!” Miss Faltzog dan Danish yang sudah terduduk malas tanpa semangat sejak berjam- jam yang lalu., tiba- tiba terduduk tegak. Satu- satunya teriakan pria tua dalam lab yang mulai sepi itu membuat harapan mereka bangkit kembali. “Benarkah, Kakek?” tanya Danish. “Apa sekarang kita sudah bisa menjumpai Rick? Kita bisa membawanya pulang?” “Belum,” sahut si pria tua singkat. Bahu Danish turun. Ia mengeluh dalam gumaman rendah. Sebersit rasa kecewa membayang di wajahnya. “Tidaklah mudah untuk bisa mencapai dimensi itu, anak muda. Bila Aaron Chua membutuhkan waktu berminggu- minggu untuk merakit super komputernya sendiri dan menghubungkan dimensi bumi dengan dimensi yang ia tuju, maka takkan ada bedanya dengan kita.” “Dan itu artinya kita akan butuh waktu berminggu- minggu pula untuk bisa mengetahui keberadaan Rick?” tanya Danish tak sabar. “Tapi itu tidak mungkin, Kakek! Kita tak tahu apa yang terjadi dengannya. Astaga, seharusnya aku tak menyuruhnya memainkan gawai konyol itu.” Danish menggaruk- garuk kepalanya yang tak berketombe. “Dan kau belum menyadari apa yang kulakukan sekarang, anak muda?” “Apa?” “Meski kita belum bisa mencapai posisi temanmu, kita sudah mampu menjangkau sistem pendengaran Rick di dunia virtual itu. Aku sudah memahami seluk- beluk sistem itu.” “Maksudnya, apa kita sudah bisa menghubungi Rick?” tanya Danish. “Ya. Kita sekarang dapat berkomunikasi dengannya, dan ini satu- satunya yang bisa kita lakukan sejauh ini,” kata Mr. Francis Durrant lagi. Danish bersorak dalam hati. Dan perkataan Miss Faltzog menambah kegirangannya. “Itu artinya, Mr. Danish Durrant, kita dapat memberitahu Mr. Baker tentang apa yang terjadi padanya sekaligus memperingatkannya tentang bahaya yang mungkin terjadi.” Danish tersenyum antusias, lalu menoleh pada Kakeknya Mr. Francis. Beliau masih sibuk mengatur beberapa kenop pada alat yang ia rakit dalam waktu super cepat beberapa waktu lalu –dan terdengarlah bunyi gelombang yang menggeliat- geliut, tak beraturan dan terdistorsi. Seperti seseorang yang mencari frekuensi nan tepat pada radio. “NAH!” sorak Mr. Francis –kali ini dengan suara menggelegar luar biasa. Cepat- cepat Danish mengambil posisi duduk di samping sang Kakek. *** Rick sudah berada di jalan kembali menuju rumah Algie. Ia menyentuh telinganya beberapa kali, menekan dengan telapak tangan lalu melepaskannya. “Telingaku sakit sekali, Miss Brain,” keluh pemuda kerempeng itu. “Apa kau tahu kenapa?” “Tidak, Mr. Baker, “sahut Miss Brain acuh tak acuh. “Ah, sudah kuduga. AHH!” Rick berteriak keras. Kali ini ia menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Telinganya teramat sakit, sampai- sampai ia berlutut di jalan itu sembari memicingkan mata demi menahan rasa pedih. Sebuah dengingan keras terdengar dan seakan menggoncang gendang telinga Rick –dan pemuda itu yakin sekali kalau itu bukan berasal dari suara luar. Ia mendengar itu di dalam telinganya sendiri. Dengingan itu sangat menyakitkan seluruh syaraf- syaraf yang ada di kepalanya, dan di sela- sela itu ia bisa mendengarkan Miss Brain bertanya –seakan asisten wanita itu memastikan keadaannya baik- baik saja atau tidak. Namun tak ada gunanya menjawab. Keadannya memang sedang tidak baik. Dalam beberapa detik kemudian, bunyi itu tiba- tiba menghilang. Kepalanya masih sakit, namun noise yang tadi ia dengar sudah berganti dengan noise yang jernih dan bervolume rendah. Dan suara Miss Brain juga tak terdengar lagi. Sebagai gantinya, ia mendengar suara berat pria di seberang. “Halo?” sapa suara itu. Rick tampak ragu sejenak sebelum menjawab. “I-iya. Halo?” Trssskk…. Trrsskkk.. “Halo, Rick!” sapa suara pria lain yang nadanya agak lebih tinggi. “Ini aku!” Rick langsung mengenalinya dalam sekejap. “Danish!” “Ya, ini aku!” sahut suara itu lagi. “Tadi itu Kakekku, dan—“ “Maaf anak muda,” sela suara berat pria yang pertama. “Perkenalkan aku Francis Durrant. Aku kakek Danish.” “Oh, salam ken—“ “Dengar,” potong Kakek Danish tanpa mengacuhkan salam sopan Rick yang salah kondisi, “Aku tahu kau sekarang bingung dengan keadaanmu. Kau sekarang ada dalam dimensi lain, Nak.” “Dim… dimensi lain?” “Ini baru dugaan. Kau secara tak sengaja terbawa ke dalam dimensi karena gawai yang kaumainkan memang sudah direncanakan oleh salah seorang pegawaiku untuk rencananya menghubungkan bumi dengan dimensi yang ia maksud itu, dan sampai sekarang aku sendiri tidak mengenali dimensi apa itu dan untuk tujuan apa ia menghubungkannya. Namun kurasa kau sudah mengerti, bahwa dimensi lain artinya makhluk- makhluk lain yang asing. Tidak kaukenali dan bukan manusia.” Trrsskk…. Trrrssskk… “Dengar. Cobalah menyelesaikan permainan itu sebisamu sementara kami mencari cara untuk mengeluarkanmu. Dan jangan pernah percaya—“ Trssskkk…. Trsskkk…. Trssskkk… Bunyi gemersik yang menginterupsi suara Francis semakin jelas terdengar, membuat Rick tak bisa mendengar dengan jelas lagi apa yang beliau katakan. Suaranya hanya bagai timbul tenggelam dalam gelombang radio. “Halo? Halo?” Tak ada jawaban, melainkan dengingan rendah yang panjang. Dengingan ini tidak semenyakitkan tadi, namun setidaknya Rick menyadari sesuatu. Komunikasinya dengan Danish dan sang Kakek telah terputus. Dengan cepat telinga Rick kembali menangkap bunyi yang jernih dengan noise rendah. “Anda tak seharusnya melanggar peraturan, Mr. Baker,” sebuah suara wanita yang dingin menegurnya. “Miss Brain???” “Jika Anda melanggar ini sekali lagi, saya tidak bisa memastikan apapun tentang keselamatan Anda,” katanya lagi. “Kau sendiri yang menanggung akibatnya.” “Tapi bukan aku yang melanggar!” protes Rick. “Aku tak pernah meminta terhubungan dengan siapapun! Aku hanya menjawab apa yang aku dengar!” Suara dingin Miss Brain terdengar lagi. “Memang. Dan seharusnya itu sudah dipahami oleh teman- teman Anda sebagai peringatan keras. Dia tidak akan menghubungi Anda lagi dengan mempertaruhkan nyawa Anda. Namun seharusnya Anda bisa berusaha bersikap bijak dengan tidak menjawab apapun.” *** Rick terdiam dalam perenungan panjang setelah mendapat teguran keras dari Miss Brain. Ia menyetujuinya, dan tak berkata apa- apa lagi sepanjang jalan. Bagusnya adalah Miss Brain tak pernah bisa menebak apalagi mengetahui isi kepalanya selama ia berpikir. Selagi menggerakkan kaki dan memperhatikan sepatunya sendiri, sebuah pemikiran aneh muncul dalam kepala Rick. Jika ia memang secara tak sengaja terbawa ke dimensi berbeda, apa itu artinya ia memang tengah berada di antara makhluk lain? Makhluk yang bukan manusia…? Apakah itu juga artinya –selain Algie –semua orang yang ia jumpai di sini, bahkan Ferdo sang pelayan, bukanlah sosok manusia seperti yang ia jumpa di bumi? Apa mereka sejenis alien? Bayangan itu membuat Rick bergidik, menegakkan bulu romanya. Ia dan Algie- lah manusia yang ada di planet asing, lingkungan asing, bersama makhluk- makhluk yang tak dapat ia deskripsikan. Dan perkataan terakhir yang diucapkan Mr. Francis : ia jangan sampai percaya pada apa…? Siapa…?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD