1. Olivia Amelie Devereux
Udara dingin menyambut Olivia Amelie Devereux begitu ia melangkah keluar dari bandara, aroma tanah kelahirannya menyapu indra dengan campuran nostalgia dan kerinduan yang hampir ia lupakan.
Sudah lima tahun berlalu sejak ia meninggalkan negara ini, dan dalam lima bulan lagi, kakaknya, Maria, akan menikah. Kehadiran Olivia tentu sudah dinantikan, dan ia tak sabar melihat kakaknya lagi. Dengan langkah ringan dan hati penuh antusias, ia menuju apartemen Maria, bersemangat untuk berkumpul kembali.
Setibanya di apartemen Maria, Olivia mengetuk pintu apartemen, sejenak menunggu, mendengarkan langkah kaki di balik pintu.
Ketika pintu terbuka, Maria berdiri di sana, cantik dan berseri seperti yang selalu Olivia ingat. Namun, ada sesuatu yang membuat Olivia mengerutkan dahi—di samping Maria berdiri seorang pria tampan, dengan tubuh tegap yang memancarkan aura tenang namun berbahaya.
"Olivia!" seru Maria, memeluknya erat. "Senang sekali kau sudah sampai. Aku tidak sabar memperkenalkanmu pada seseorang."
Olivia tersenyum. "Aku juga sangat senang bertemu kembali denganmu, Kak." Dia menoleh ke pria di samping Maria, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Maria tersenyum bangga dan berkata, "Ini calon suamiku, Miguel. Kakak iparmu,"
Saat mendengar nama itu, jantung Olivia berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang familiar tentang pria ini, sesuatu yang menusuk ingatannya.
Mata Olivia melebar. Miguel, pikirnya, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Tapi sebelum ia bisa mengatakan apapun, Miguel sudah melangkah maju, menyodorkan tangan dengan senyum tipis dan tatapan yang dingin.
"Miguel," ucapnya datar, berpura-pura tidak mengenali Olivia. Tatapannya tenang, tetapi di balik ketenangan itu, Olivia bisa merasakan permainan licik yang sedang berlangsung.
Olivia tersenyum kecil, dia membalas jabat tangan Miguel, dan berkata dengan suara penuh teka-teki, "Senang bertemu... kakak ipar,"
Tatapannya penuh keberanian menantang Miguel, meski pikirannya sibuk mencari tahu kenapa pria ini tampak begitu akrab.
Miguel, dengan ketenangan yang menakutkan, menarik kembali tangannya. Dia tahu siapa Olivia. Tentu saja dia tahu. Tetapi memainkan peran pria tak berperasaan adalah keahliannya. Licik, ia berpura-pura seperti mereka hanya dua orang asing yang baru bertemu.
Maria, tak menyadari ketegangan di antara keduanya, hanya tersenyum lebar, bahagia mempertemukan dua orang yang akan menjadi keluarganya.
Maria, yang tampak benar-benar ceria dengan kedatangan Olivia, memecah keheningan canggung yang tiba-tiba muncul setelah perkenalan mereka.
"Olivia, kau pasti lapar setelah perjalanan panjang, ya?" Maria tersenyum lembut, menarik tangan Olivia. "Kebetulan aku dan Miguel mau sarapan. Ayo, ikut makan bersama kami."
Olivia mengangguk, meski pikirannya masih terpusat pada Miguel. Mereka duduk bersama di meja makan kecil. Miguel sekarang duduk di depannya. Pria itu masih tampak tenang, tetapi ada sesuatu di balik ketenangannya yang membuat Olivia merasa terganggu.
Sorot matanya, dingin dan tajam, terus mengawasinya seolah sedang mengukur setiap gerak-geriknya.
"Kenapa aku seperti familiar dengannya," batin Olivia, sedikit ragu. Dia memejamkan matanya sejenak, dan menggelengkan kepalanya.
Maria mengatur meja dengan cekatan. "Kebetulan, aku membuat pancake kesukaanmu! Aku ingat sekali dulu kau selalu memintaku membuat ini setiap kali kita liburan."
Olivia tersenyum, menyembunyikan perasaan campur aduknya. "Kakak masih ingat saja! Ternyata kakak jadi semakin jago masak sekarang."
"Ah, cuma latihan saja, sih," jawab Maria sambil terkekeh, menyiapkan piring-piring di meja. "Miguel juga suka pancake, jadi aku sering membuatnya."
Mendengar namanya disebut, Miguel hanya memberikan anggukan kecil, matanya masih terpaku pada Olivia. Tatapan itu penuh arti, seolah ada percakapan tanpa kata yang hanya mereka berdua yang mengerti.
Olivia bisa merasakan ada sesuatu yang ingin dikatakan Miguel, tetapi pria itu tetap bisu, membiarkan tatapan dinginnya yang berbicara.
Saat mereka duduk di meja makan, suasana tampak hangat—setidaknya dari sisi Maria yang terlihat sangat bersemangat dengan kehadiran Olivia. Namun, bagi Olivia, suasana terasa sebaliknya. Ada ketegangan yang tak terkatakan setiap kali pandangan mereka bersinggungan.
Miguel menyuap pancake dengan gerakan halus dan teratur, tetapi matanya selalu mencari-cari Olivia. Tatapannya menusuk, tidak ada senyum di wajahnya, hanya tatapan penuh kontrol, seolah dia ingin memastikan Olivia tidak mengungkap sesuatu dari masa lalu mereka. Dia bermain tenang, tapi Olivia bisa merasakan betapa liciknya pria ini.
"Jadi, Olivia," Miguel akhirnya membuka mulut, suaranya datar namun tegas, "apa rencanamu selama di sini? Lima bulan adalah waktu yang lama."
Olivia mendongak, tatapannya bertemu dengan Miguel. Dia tahu pria itu sedang mencoba mengorek informasi lebih dalam, meskipun pertanyaannya terdengar biasa. Olivia tersenyum tipis, tidak mau kalah dalam permainan ini.
"Belum terlalu dipikirkan, selain menghadiri pernikahan Kak Maria, mungkin aku akan banyak bersantai. Siapa tahu ada hal-hal menarik yang muncul," jawabnya, sengaja melontarkan kalimat ambigu, menantang Miguel untuk menanggapi lebih jauh.
Miguel hanya mengangguk sekali lagi, tatapannya semakin tajam seolah mencoba membaca pikiran Olivia. Tetapi pria itu tetap diam, tidak menanggapi lebih jauh.
Maria, yang tidak menyadari ketegangan ini, tertawa kecil. "Ya, pasti ada banyak waktu untuk merencanakan sesuatu. Mungkin Miguel bisa mengenalkanmu pada beberapa temannya di sini, siapa tahu kau bisa lebih betah dan tidak pergi lagi," katanya dengan senyum polos, sementara Olivia dan Miguel hanya saling bertukar pandang.
"Ya, mungkin," sahut Miguel, suaranya tenang namun penuh makna.
Olivia merasakan permainan licik Miguel, tetapi ia tidak berniat untuk memikirkannya.
"Apa kau sudah kembali ke mansion? Sudah bertemu Yura?" Maria menatap Olivia, ia menanyakan Yura. Adik mereka berdua.
"Belum, setibanya di sini aku langsung ke apartemenmu. Bagaimana bisa aku bertemu dengan Yura?"
Maria mengangguk, dia terkekeh kecil. "Maafkan aku, aku lupa. Jika kau mau bertemu dengan Yura, kau bisa ikut bersama Miguel."
Olivia mengerutkan dahinya, ia melirik Miguel yang sedang menatapnya. Lalu menatap Maria kembali. "Kenapa begitu?"
"Karena Yura magang di perusahaan Miguel, kau tidak merindukannya? Dia sangat merindukanmu, kau tahu bagaimana marahnya dia saat kau tiba-tiba meninggalkan negara ini."
Olivia tertawa kecil, tawa yang membuat Miguel tersenyum smirk.
"Aku ingat jika dia sempat menangis histeris waktu itu," kata Olivia, dia meneguk minumannya sejenak. "Kalau begitu aku akan menemui Yura, tapi aku akan pergi sendiri."
"Kenapa? Pergilah bersama Miguel saja, tidak apa-apa 'kan, Sayang..." Maria menoleh ke arah Miguel, ia menatap Miguel.
Miguel mengangguk, dan menjawab singkat, "Ya,"
Olivia yang mendengar, dan melihat ekspresi Miguel lantas mendengkus. "Aku bisa pergi sendiri, Kak. Lagi pula aku harus mampir ke tempat temanku terlebih dahulu."
Maria menghela napasnya perlahan. "Kau memang tidak bisa di larang, Oliv."
Olivia hanya tersenyum, ia melanjutkan makan paginya. Begitu pula dengan Miguel, dan Maria. Hingga beberapa saat kemudian, sarapan mereka selesai.
Maria pergi menuju kamar, mengambilkan jas milik Miguel, dan meninggalkan Olivia bersama Miguel yang kini berada di ruang tamu.
Tidak ingin merasakan kecanggungan, Olivia memilih memainkan ponselnya. Hingga tiba-tiba suara Miguel terdengar, yang membuat jantungnya berdegup dengan kencang.
"Kau tidak melupakanku, dan kenangan kita bukan?"
Jantung Olivia berdegup kencang mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Miguel.