PROLOGUE
....
“Mas…”
Panggilku, saat kulihat suamiku yang baru saja turun dari mobilnya, aku langsung berlari ke arahnya dengan langkah riangku ingin segera memeluknya.
“Ah!”
Tapi tiba-tiba keningku di dorong dengan telunjuk pria yang baru saja akan ku peluk itu.
“Put, Aku Dewa… Sadewa, bukan Nakula”
Ucapnya,
“Ah… Dewa yah… Mas aku mana?”
Dan tak lama kemudian suamiku yang memiliki paras yang sama percis dengan pria yang akan k peluk baru saja itu keluar dari pintu mobil sisi lainnya.
“Hay sayang, ini, aku Nakula suami kamu…”
“Mas...”
Aku langsung berjalan kecil-kecil namun cepat ingin segera menghampirinya. Dan kali ini aku benar benar memeluk suamiku, Mas Nakula. Dan yang hampir saja kupeluk tadi, itu adalah kembarannya, Sadewa. Wajahnya sangat mirip, mirip sekali, identik karena mereka adalah saudara kembar. Jadi terkadang kejadian seperti ini sering kali terjadi.
“Sayang, masa masih belum bisa bedain sih? Ckckckk”
Ucap suamiku sambil mengusapi rambutku.
“Bisa kok”
Kemudian aku berjinjit untuk membisikan sesuatu di telinga suamiku.
“Mas itu baik, kalo Dewa itu jahat”
Mas Nakula terkehkeh mendengar apa yang kubisikan padanya itu.
“ketauan deh otaknya segimana, bedain suami aja gak bisa, di kampus kerjanya dapet C mulu lagi, ckkk…”
Kuberitahu, hobinya kembaran Mas Nakula ini adalah meledekku, mencaci dan mengerjaiku.
“Masss… Dewa tuh jahat banget sama aku”
Ucapku, merengek tak terima baru saja di ledeki oleh Dewa seperti itu.
“Dewa, Putri ini istri aku dan dia ini kakak ipar Lo, hargain dia kenapa sih”
Aku merasa bisa menaikan bahuku telah di bela oleh suamiku, Aku bahkan berani melemparkan tatapan marah dan tajamku pada Dewa.
“Dan lo juga harus inget kalo Putri itu juga mahasiswa gue, jadi gue berhak dong nilai kecerdasaan dia…”
Balasnya. Aku makin kesal saja di buatnya, tapi sialnya memang aku ini adalah mahasiswanya di kampus. Dewa adalah dosen baruku yang mengajar di semester 7 ku ini. Dan dia itu bisa di katakana tipikal dosen killer di fakultas kedokteran, yang hobinya selalu saja memberikan banyak tugas. Padahal dia tahu kalau aku ini adalah istri dari kembarannya, tapi rasanya tak ada pengecualian untuk hal itu. Dia tetap saja bersikap dingin, kejam, dan tak pernah absen meledekku.
“Dek, kamu itu yah! gak ada hormat-hormatnya sama aku, kakak ipar kamu sendiri, j*****m kamu ckckk...”
Aku bertingkah sangat berani pada Dewa, mumpung sedang ada suamiku saat ini. Kalau tak ada Mas Nakula, mana berani aku berkata menggodanya seperti itu.
“DEK??!!! Putri! berani kamu yaa!! aku kasih E kamu nanti”
Wajah marahnya tampak jelas seperti ingin melahapku saat ini. Tapi tak begitu kutanggapi karena kakak dari Dewa Si Dosen Killer itu ada dalam pelukanku sekarang ini.
Suamiku memang hanya dua menit saja lebih dulu lahir ke dunia ini di bandingkan Dewa. Jadilah ia selalu tak terima jika kuanggap dirinya sebagai adik atau kupanggil ‘Dek’ karena itu sangat tak adil menurutnya. Dia bahkan tak pernah mau menganggapku sebagai kakak iparnya, karena usiaku yang juga berada jauh di bawahnya.
“Bodo amat, hweeee”
Balasku sambil menjulurkan lidahku, jahil menggodanya.
“isshhh…”
Dewa hampir saja akan menjitak kepalaku tapi aku langsung bersembunyi di balik tubuh suamiku.
“sshh Dewa! kenapa sih, udah kaya Tom and Jerry aja deh kalian tuh”
“Sayang, ayo masuk rumah dan Lo, balik sana”
Ucap Mas Nakula. Ia lalu merangkulku berjalan masuk ke dalam rumah, sementara Dewa juga langsung berjalan pulang ke rumahnya yang berada di samping rumahku.
“Sayang kok jam segini udah ada di rumah aja sih? bukannya Rabu itu jadwal padet kamu ya?”
“Ehmm jadi tadi itu dies natalis kampus dan kelas jadi ganti sama acara kampus, aku males ikutan, dan karena denger Mas juga mau pulang cepet, jadi mending pulang aja biar bisa berduaan sama kamu…”
Balasku sambil kusapukan tanganku di dadanya. Ia tersenyum menatapku, pelan namun pasti di majukannya kini wajah tampannya itu mendekat padaku untuk meraup bibirku. Jelas aku tak hanya diam, kubalas ciuman lembut suamiku dan kukalungkan lenganku di lehernya.
“Astaga…”
Kagetku di tengah-tengah ciumanku dengan Mas Nakula, saat tak sengaja mataku menemukan sosok manusia yang sedang memandang ke arahku dengan tatapan dinginnya dari jendela.
“Ah! Mas, ngapain coba Dewa liatin kita sampe segitunya, bikin takut aja deh...”
Aku jadi bergerutu, Mas Nakula hanya terkehkeh saat ia menoleh dan menemukan kembarannya yang sedang berdiri di depan jendela rumahnya sambil memasang wajah dinginnya yang sedingin es di kutub itu.
“Hahh... besok Mas suruh dia nikah deh sayang, biar cerahan dikit mukanya”
Balas suamiku. Hingga kualihkan kembali tatapku pada hangat pesona tampan suamiku.
Kuperhatikan lekat-lekat wajahnya, mulai dari mata, hidung, bibir, dan garis wajahnya. Hasilnya benar-benar sama dengan dosen killer plus si adik ipar menyebalkanku itu. Tapi rasanya apa yang ada di hadapanku ini adalah musim semi, sementara wajah yang ada di rumah sebelah adalah musim dingin yang di hujani badai salju yang paling mengerikan sepanjang masa. Perbedaannya 180 derajat. Kalau wajah mereka tak sama, aku ragu mereka itu lahir dari rahim ibu yang sama.
“Mas jangan dingin-dingin kaya Dewa yah… aku takut”
“Hahahh… kamu ini Put ada-ada aja deh, Dewa tuh emang dingin, tapi dia baik kok”
Aku ragu soal itu, karena kerjaan Dewa di kelas itu selalu saja menyudutkanku dengan pertanyaan-pertanyaan rumit, atau bahkan saat bertemu di rumahpun dia tak pernah ada cape-capenya menjahiliku, meledekku sesuka hatinya.
“Tapi waktu di resepsi sama waktu akad nikah kita kayanya dia baik-baik aja deh Mas, kenapa abis enam bulan ilang terus pas balik lagi dia jadi kaya es gitu ya?”
“Mungkin dia kaya gitu karena harus alamin stress, gara-gara cedera saraf punggungnya yang bikin dia struggle banget, Dewa harus lewatin masa-masa sulitnya sama pengobatan, terapi dan lainnya... jadi Mas harap kamu bisa maklumin sifat dia ya”
Aku menganguk menurut pada perkataan suamiku itu.
Sejujurnya memang aku tak banyak mengenal kembaran suamiku itu, selain identitasnya yang sebagai dosen menyebalkan di kampus. Bahkan aku tak pernah bertemu selama berpacaran dulu. Aku di beri tahu bahwa Mas Nakula memiliki kembaran saat beberapa hari menuju pernikahan. Saat itu aku kaget bukan main, ada dua wajah pria yang sangat ku cintai sampai sulit sekali kubedakan yang mana yang akan ku nikahi hari itu.
Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana sifat Dewa yang sangat hangat bahkan ia mau berepot diri membantuku dan Mas Nakula mempersiapkan acara pernikahanku dengan saudara kembarnya itu. Tapi kemudian kudengar ia akhirnya harus menjalani perwatan di Amerika karena cedera syaraf tulang belakangnya. Hingga jadilah Dewa stay di sana selama enam bulan.
Sampai kemudian tepat di semester baruku kemarin, tiba-tiba saja dia muncul sebagai dosenku di kampus. Semula aku dan teman-temanku pikir kalau dia itu adalah suamiku, tapi ternyata itu adalah Dewa, Sadewa, kembaran Mas Nakula.
“Sayang…”
“Ehm? Apa Mas?”
“Sini duduk deh”
Mas Nakula langsung menarik tanganku untuk duduk di sofa. Kuperhatian dari gerak-geriknya, sepertinya Mas Nakula akan membicarakan hal serius padaku.
“Ada apa Mas?”
Aku jadi penasaran di buatnya.
“kayanya Ayah mau angkat Mas jadi penanggung jawab sekaligus direktur utama di rumah sakit cabang di kota sebelah,
Aku tentu langsung tersenyum mendengarnya. Itu bukan kabar buruk, tapi wajah Mas Nakula terlihat tak sebahagia orang yang baru saja akan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi.
“Mas... kok kaya gak seneng?”
“Ehm, bukan gak seneng, tapi, hhh gimana ya, menurut kamu gimana?”
“Ya oke oke aja, kok malah tanya gimana sih Mas, itu berita bagus, itu berarti Ayah percaya sama Mas, sampe mau kasih tanggung jawab sebesar itu sama kamu suamiku...”
Balasku dengan tangan yang kubelaikan pada wajahnya, jelas kusadari kini tengah tersiratkan kegundahan yang entah apa itu sebabnya.
“Tapi Mas ragu sayang, segini Mas aja udah sibuk, Mas udah kelimpungan sama jadwal oprasi, kalo Mas juga harus urus rumah sakit kayanya-”
“Mas…”
Aku meraih tangannya dan menggenggamnya, berharap bisa mengurangi keraguannya itu.
“Mas, ikutin aja kata hati Mas, semua ada di tangan kamu, dan aku percaya kalo Mas bisa putusin yang terbaik soal jabatan ini”
Kataku padanya, ia bisa tersenyum kini.
“hh… Mas takut gak bisa bagi waktu sayang, sekarang ini aja Mas udah jarang ada waktu buat kamu, padahal tahun pertama pernikahan itu seharusnya jadi tahun yang lagi anget-angetnya, Mas malah harus sibuk sama pisau bedah di meja oprasi dari pada sibuk sama kamu di ranjang”
“Ish, Mas inii…”
Ucapku malu-malu, bahkan tanganku kulayangkan ringan memukul dadanya pelan seperti kucing yang tak tahan saat mendapat godaan.
‘Kenapa Mas Nakula membawa-bawa urusan ranjang di tengah-tengah pembiacaraan serius ini sih, aku kan jadi malu’
Batinku
“Kok kamu masih blushing gini sih, udah setahun loh sayang”
Mas Nakula malah ketagihan menggodaku. Pipiku yang saat ini terasa memanas dan kutebak jadi sangat merah ini, bahkan menjadi target cubitan-cubitan pelan beserta sentuh rayunya.
“Mas udah ah...”
Tapi Mas Nakula malah hanya tertawa puas saja setelah merasa berhasil membuatku malu hingga tersipu.
Entah kenapa aku memang selalu masih merasa canggung padanya, padahal sudah satu tahun lama pernikahan aku dengannya berjalan, jika soal hal ‘intim’ itu di jadikan bahan pembicaraan, aku langsung terbakar oleh semua perasaan maluku.
“Sayang…”
“Ehm?”
Mas Nakula mendekat padaku sampai aku jadi di sudutkannya ke sandaran sofa di belakangku. Wajahnya sudah berada dekat dan semakin dekat saja kini.
“Nakula gue min-“
Tapi tiba-tiba saja Dewa masuk dan berhasil menghentikan Mas Nakula yang akan mencium bibirku.
“Dewaaa!!! bisa gak sih gak nongol pas gue lagi-… hhhh… apa? mau apa? mau apa gangguin gue sama istri gue hah??”
Suamiku jadi terdengar sangat emosi karena kemunculannya yang menggagalkan momen mesraku dengannya yang hampir saja itu.
“Ckk, ya suruh siapa mau gituan di ruang tengah, siang-siang gini lagi, gue minjem mobil mau ke kampus”
Ucapnya cuek dan tanpa merasa bersalah sama sekali.
“Aiissshh, nih ambil jangan balik lagi”
Balas suamiku sambil melemparkan kunci mobilnya pada Dewa.
Kemudian kulihat Dewa langsung membalikan tubuhnya berjalan keluar. Dan saat mataku kembali akan kualihkan pada Mas Nakula, kulihat bibirnya sudah hampir akan sampai di bibirku.
“Putri, tugas mata kuliah Keterampilan Klinik 7 kamu, jangan lupa di bawa besok”
Dewa muncul lagi hanya untuk mengingatkanku soal itu. Benar-benar seperti cobaan sekali dia itu.
Mas Nakula bahkan yang sudah terlampau kesal tapi marah pun akan jadi sangat percuma, kini ia hanya menenggelamkan wajahnya di dadaku Ia seperti di buat menyerah karena kemunculan Dewa yang terus saja menggagalkan niatnya untuk menciumku.
“Iya Pak Dewa, dosen terbawelku...”
Balasku berteriak padanya.
“Okey, silahkan di lanjut”
Balasnya sambil melenggang pergi, bahkan dia tak menutup pintu rumahku lagi.
“Kalo muncul lagi aku suntik mati juga itu orang”
Saking kesalnya Mas Nakula sampai berkata begitu, aku tergelitik geli saja mendengarnya. Ini seperti sitcom malam minggu saja jadinya.
“Hahahh… sabar Mas, dia itu adik kamu”
“Ah! Mas!”
Mas Nakula buat aku sedikit menjetit kaget karena ia yang tiba-tiba saja mengangkat tubuhku dan memanggku sambil berjalan menuju kamar.
“Kita di kamar aja biar gak ada gangguan lagi sayang”
Ucapnya dengan seringai nakalnya padaku. aku mangangguk saja mengiyakannya.
***