Chapter 2

1668 Words
Setelah memarkir kendaraannya di ujung jalan, Barita turun dari mobil. Kawasan perumahan kumuh yang ia datangi ini terdiri dari gang-gang kecil yang tidak bisa dimasuki oleh mobil. Makanya ia meninggalkan kendaraannya di ujung jalan. Barita membaca sekali lagi alamat rumah Berman pada secarik kertas lusuh yang ditulis oleh Jaja. Teman satu kost Berman. Jalan Gatot Subroto Gang Jambu nomor sebelas. Setelahnya Barita membaca plang kecil di hadapannya. Gang Jambu. Berarti tujuannya sudah benar. Ia tinggal mencari nomor rumahnya saja. Barita berjalan cepat menelusuri gang. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Berman. Orang yang sudah memberi n*****a pada Yanto. Ia akan memberi pelajaran yang tidak terlupakan pada pemuda pengangguran itu. Orang-orang seperti Berman ini harus diberantas sampai keakar-akarnya. Karena mereka telah merusak para generasi-generasi muda bangsa ini. Ia ingin menemui Berman terlebih dahulu, sebelum aparat kepolisian menciduknya. Ia ingin menyelamatkan Yanto semampunya. Dirinya terpaksa mendatangi rumah Berman, karena yang bersangkutan sudah tidak nge-kost di depan panti lagi. Sepertinya kabar bahwa Yanto tertangkap, membuat Berman bermaksud cuci tangan. Ia tidak mau terlibat. Untuk mencari alamat rumah Berman ini juga bukan hal yang mudah. Semua teman-teman satu kost Berman tutup mulut. Mungkin mereka semua takut pada Berman. Namun Barita tidak kehilangan akal. Ia menyentil nyali antek-antek Berman dengan dalil-dalil hukum yang valid. Ia mengatakan bahwa melindungi penjahat itu bisa di penjara. Karena mereka akan dianggap bersekongkol melindungi seorang pelaku kriminal. Dengan sedikit ancaman bahwa mereka bisa saja ia kasuskan, dengan sendirinya mereka membuka mulut. Salah satu yang bernyanyi adalah Jaja. Hasilnya alamat rumah Berman pun berhasil ia kantongi. Menurut Jaja, Berman tinggal bersama dengan kakaknya. Seorang perawan tua bernama Karmila yang telah berusia tiga puluh tahun. Sekian lama menelusuri gang, Barita tidak jua menemukan nomor rumah yang ia cari. Nomor rumah di kawasan ini sama sekali tidak beraturan. Sebagian besar malah tidak memiliki nomor. Tidak kehabisan akal, Barita menghampiri anak-anak kecil yang tengah bermain air di kubangan lumpur. Hujan telah membuat lubang di gang, menyerupai kolam mini berwarna coklat keruh. Pemandangan ini mengingatkannya pada masa kecilnya di panti dulu. Bermain di tengah kubangan lumpur adalah definisi kebahagiaan masa kanak-kanaknya. "Hallo adik-adik, kalian tahu rumahnya Karmila Husin tidak?" sapa Barita ramah. Menghadapi anak-anak kecil seperti ini membuat hatinya menghangat. Ia memang menyukai anak kecil. "Oh, rumah Mbak Mila ya, Om? Itu dia, yang cat rumahnya warna biru." Salah seorang anak menunjuk sebuah rumah yang tadi sudah berulang kali dilewatinya. "Oh, rumah itu ya?" Barita mengangguk-angguk. "Terima kasih atas pemberitahuannya ya?" Barita mengusap kepala si anak gemas. Setelahnya ia merogoh saku celana. Mengeluarkan selembar uang kertas berwarna merah. "Ini, belikan jajanan dan bagikan pada teman-temanmu yang lain ya? Ingat, bagikan. Bukan untuk kamu miliki sendiri. Mengerti?" Barita mengelus sekali lagi kepala si anak. "Baik, Om. Terima kasih banyak ya, Om?" Si anak mengucapkan terima kasih dibarengi dengan tiga anak lainnya. "Sama-sama. Om ke sana dulu ya?" Barita menunjuk rumah Berman. "Iya, Om. Hati-hati ya, Om? Mbak Mila itu galak sekali. Sukanya marah-marah. Pokoknya menyeramkan, Om." Si anak kecil memberi peringatan. Barita terkekeh seraya mengacungkan jempolnya. Seperti inilah seharusnya anak-anak. Baik, lucu dan lugu. Membayangkan anak-anak kecil polos seperti ini kelak menjadi korban n*****a membuatnya miris. Untuk itulah ia sangat aktif dalam organisasi memberantas n*****a dan obat-obatan psikotropika. Setiba di depan pintu tak bernomor bercat biru, Barita mengetuk tiga kali. "Siapa di luar?!" Barita meringis mendengar suara cempreng perempuan yang menjawab keras. "Saya, Barita Bratadikara." "Saya tidak mengenal namamu. Dengar, kalau kamu datang untuk menagih hutang si Berman, saya tidak punya uang. Kalau kamu mencari si Berman, saya juga tidak tahu di mana setan jahanan itu bersembunyi. Kalau kamu mencari saya, baru akan saya bukakan pintu. Itu juga kalau kamu berniat melamar saya!" Barita terbatuk. Menjadi seorang pengacara membuatnya terbiasa menghadapi seribu satu macam karakter manusia. Tapi sikap yang ditunjukkan perempuan yang ia duga adalah Karmila ini membuatnya geli. Karmila ini kasar namun apa adanya. Ia bisa merasakan aura jujurnya. Tapi tetap saja ia harus menemui Karmila walau bukan untuk melamarnya. Tetapi ia harus memutar otak dulu. Karmila mensyaratkan bahwa ia baru bersedia membuka pintu apabila dirinya melamar Karmila bukan? Baiklah, Karmila menjual, ia akan membelinya. Tapi membelinya harus dengan cara yang cantik tentu saja. "Bagaimana saya akan melamarmu kalau saya tidak melihat seperti apa penampakan orang yang akan saya lamar?" Barita balas berteriak. Pekerjaannya menuntut agar ia selalu fleksibel menghadapi karakter setiap orang. Tidak bisa disamaratakan. Setiap pribadi itu unik. "Nama saya Karmila Husin. Usia tiga puluh tahun, dua bulan lagi. Berambut ikal semak belukar dan body seksoy, bohay, semlohay. Bagaimana? Anda tertarik?" Barita nyengir. Ia mengskip bagian usia dan rambut ikal semak belukarnya. Ia fokus pada kalimat seksoy, bohay, semlohay. Kalau diri Karmila memang se-wow itu, agak-agak ajaib juga ia tidak dilamar orang hingga usia tiga puluh tahun bukan? "Bagaimana saya bisa memutuskan tertarik atau tidak, kalau saya tidak melihat contoh barangnya? Zaman sekarang banyak penipuan. Mana saya tahu kamu itu Karmila atau malah Karmin? Saya ini laki-laki normal. Bukan jeruk makan jeruk," imbuh Barita lagi. Terdengar langkah-langkah kaki kasar sebelum pintu terbuka lebar. Barita kehilangan kata-kata saat melihat penampakan Karmila. Wanita yang mengiklankan diri berusia tiga puluh tahun, terlihat seperti berusia empat puluhan. Rambut ikal semak belukarnya, lebih cocok disebut kribo ala tahun tujuh puluhan. Sementara tubuh kurus keringnya ditutupi oleh daster kedodoran dan jaket gombrong. Bentuk tubuhnya sama sekali tidak terlihat. Ditambah dengan kaca mata tebal ala p****t botol yang hampir menutupi wajah kecilnya, penampilan Kamila ini ajaib. Satu lagi, riasan wajahnya seperti orang yang brutal berdandan. Segala macam warna seperti ditemplokkan semaunya. Barita terdiam sesaat, sebelum kembali berbicara dengan nada biasa. "Wah, terima kasih karena kamu telah bersedia membuka pintu. Sekarang boleh tidak saya masuk ke dalam rumah. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan." Barita kembali pada nada suara membujuk persuasifnya. Ia butuh informasi dari kakak Berman ini. "Kan sudah saya bilang tadi. Kalau kamu tidak ingin melamar saya, saya tidak mau melayani," dengkus Karmila judes. Ia mencoba membuat laki-laki berpenampilan orang kaya ini ilfeel, seilfeel-ilfeelnya padanya. Biasanya penampilan dakocannya berikut sikap kasarnya ini, akan membuat para lelaki akan mundur teratur. Semoga saja laki-laki ini juga seperti itu. Ia sudah muak dengan yang namanya laki-laki. Ia membenci mereka semua tepatnya! "Begitu? Baiklah. Kalau saya memang tidak diizinkan masuk dan bernegosiasi denganmu, kamu harus siap mental ya? Mungkin mulai hari ini dan seterusnya, kamu harus membawa rantang empat susun kalau ingin menjenguk adikmu di penjara lebih lama." Barita mengangkat bahunya acuh. Nada suaranya memang ia buat datar-datar saja. Namun aura ancamanan tersirat nyata. Karmila terkesiap. Tunggu... tunggu... walau ia kesal setengah mati pada adik semata wayangnya itu, tapi hanya Berman lah keluarganya di dunia ini. Ibunya telah lama meninggal, sementara ayahnya sudah belasan tahun tidak ada kabar beritanya. Kalau Berman di penjara, untuk apa lagi ia hidup bukan? Karena seharusnya saat ia berusia lima belas tahun lalu, ia sudah mati! Karena Berman dan untuk Berman lah ia bertahan hidup. "Silakan masuk, Pak. Mari kita berbicara di dalam," cicit Karmila pasrah. Barita menyeringai. Karmila ini pintar membaca situasi juga. Saat pintu dilebarkan dan Barita melangkah masuk, ia tertegun. Bangunan rumah ini terlihat sangat kumuh dan tidak terawat dari luar. Namun bagian dalamnya tertata sangat rapi dan indah. Berbanding terbalik dengan reputasi Berman dan penampilan menor Karmila, rumah ini meski tua terlihat sangat sejuk dan hangat. Barita menatap seantero rumah. Semua hiasan-hiasannya sangat sederhana namun indah dan sarat makna. Ada lukisan kaligrafi Asmaul Husna di dinding, serta karpet tua di bawah meja. Selain itu tergantung photo keluarga yang sepertinya diambil sudah cukup lama. Tampak sepasang suami istri berwajah muram, serta dua orang anak kecil. Berman dan Karmila. Di rak dinding sederhana, berjajar berbagai macam buku. Penampakan rumah keluarga Husin ini sangat berbeda dengan kepribadian penghuninya. "Silakan duduk, Pak..." Karmila menghentikan sapaannya. Ia lupa dengan nama tamunya. "Barita. Nama saya Barita Bratadikara sarjana hukum." Barita memperkenalkan diri dengan langsung menyebut identitas dirinya. Sikapnya juga telah berubah. Ia tidak lagi bermain-main dengan kalimat-kalimatnya. Punggungnya tegak dengan tatap mata tajam. Sesi interogasi akan segera ia terapkan. Karmila sudah merasakan perubahan sikap tamunya ini setelah laki-laki bernama Barita Bratadikara ini memperkenalkan dirinya secara resmi. Mendapati embel-embel sarjana hukum di belakang nama Barita, Karmila telah mempunyai gambaran untuk apa berita menemuinya. Adik sialannya itu pasti kembali membuat ulah. "Langsung saja, Pak Barita. Apa yang sudah dilakukan oleh adik saya, sampai Bapak mencarinya ke sini." Karmila mengganti sebutan kamu dengan bapak. Ia juga mulai bersikap serius. "Adik Anda telah memberikan n*****a pada adik saya. Selain itu adik Anda bermaksud menjadikan adik saya yang masih duduk dibangku SMA sebagai seorang pengedar." Begitu juga Barita. Ia mengubah panggilan kamu menjadi anda. Sikapnya berubah formal. Astaghfirullahaladzim. Karmila mengelus d**a. Walau adiknya ini blangsak, tapi ia tidak pernah bermain-main dengan n*****a. Berjudi, minum-minumam keras dan berhutang sana sini apabila kalah, memang kerap Berman lakukan. Tetapi tidak untuk n*****a. Karmila tidak yakin kalau Berman berani berbuat sampai sejauh ini. Bisa saja adiknya dijebak bukan? Ia tidak mau percaya begitu saja pada orang asing ini. Lagi pula biasanya pengacara itu seperti ular berkepala dua bukan? Mereka akan membela mati-matian orang yang telah menyewa jasa mereka. Setidaknya begitulah yang ia tahu. "Bapak jangan sembarang menuduh. Berman memang nakal. Namanya juga anak muda. Tetapi ia tidak pernah menyentuh n*****a. Bapak pasti salah orang." "Saya tidak pernah berbicara sembarangan," tukas Barita dingin. "Saat ini adik saya telah diamankan di kantor polisi karena ulah adik Anda. Kalau Anda tidak mau bekerjasama, maka Anda juga bisa dikasuskan karena melindungi buronan. Selain itu, seperti yang saya katakan tadi, bahwa Anda akan menjenguk adik anda lebih lama di penjara, kalau adik Anda tidak mau bekerjasama. Mengapa lebih lama? Karena adik Anda akan menjadi buronan. Jadi hukumannya sudah pasti akan lebih lama. Lain ceritanya kalau ia menyerahkan diri. Sampai di sini Anda paham maksud saya?" Karmila termangu. Kedua pilihan yang diberikan Barita terasa sama beratnya. Namun kalau ia lebih jernih berpikir, apa yang ditawarkan Barita memang masuk akal. Baiklah, ia akan memilih opsi itu saja. Semoga saja dengan begini Berman akan belajar dari kesalahannya. Sudah waktunya Berman mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ia sudah tidak kuasa untuk melindungi adik satu-satunya itu lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD