bc

True Lies

book_age16+
3.8K
FOLLOW
25.6K
READ
serious
mystery
straight
brilliant
ambitious
realistic earth
poor to rich
weak to strong
like
intro-logo
Blurb

Kontes The Next Big Name.

Barita Bratadikara adalah seorang pengacara muda yang sukses. Namun tiada seorang pun yang tahu, bahwa sesungguhnya Barita mempunyai masa lalu yang kelam. Ia dibesarkan di sebuah panti asuhan, karena yatim piatu.

Ia juga pernah nyaris di penjara saat remaja, karena difitnah anak-anak dari panti asuhan lain. Sebelum sahabatnya Budi Ardiansyah bersikeras menggantikan posisinya. Budi mengaku bersalah, dan menggantikan posisinya sebagai seorang pesakitan. Sejak itu, Barita menganggap Budi adalah sahabat sejatinya.

Adalah seorang Rahmat Prakasa-- pengusaha perhotelan gaek, yang berseteru hebat dengan Barita. Pak Rahmat ingin membeli tanah panti asuhan dengan intimidasi. Karena hanya pantai asuhan saja yang tidak bersedia menjual lahannya. Sementara masyarakat sekitar telah berhasil pengusaha gaek itu bujuk, untuk menjual tanah-tanah mereka.

Keadaan makin memanas saat Barita secara tidak sengaja melukai Ardi Prakasa hingga koma, saat putra tunggal Pak Rahmat itu ingin menggagahi Ranti. Seorang anak panti asuhan yang masih di bawah umur.

Bagaimana akhir perseteruan Barita dengan keluarga Prakasa ini? Berhasilkah Barita mempertahankan panti, berikut ancaman di penjara?

Selain itu, ada hubungan apa antara Barita dengan keluarga Prakasa? Karena Barita mampu mengenali jalan rahasia bawah tanah di rumah nan megah itu saat ia dalam bahaya.

Di saat satu konflik hampir menemui titik terang,  Barita kembali di hadapkan pada satu kenyataan pahit. Karmila, wanita yang diam-diam mulai menghuni sudut hatinya, ternyata adalah anak dari pembunuh kedua orang tuanya. Dunia kembali runtuh kedua kalinya di hadapan Barita.

Ikutilah kisah hidup Barita Bratadikara yang penuh dengan intrik, fitnah, penghianatan hingga kebenaran tak terungkapkan yang menyakitkan.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Barita tengah berkutat dengan berkas-berkas perkara di mejanya, saat ponsel pribadinya bergetar. "Ya, Bu. Ada apa?" Barita mengangkat panggilan dari Bu Asih dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya dengan lincah menandatangani berkas-berkas yang menggunung di meja kerjanya. "Kamu bisa ke panti sebentar tidak, Nak?" Mendengar suara penuh kecemasan Bu Asih, Barita meletakkan pena. Sepertinya telah terjadi sesuatu di panti. Tidak biasa-biasanya Bu Asih meneleponnya di jam-jam kerja seperti ini. "Ada apa sebenarnya, Bu? Ceritakan secara garis besarnya saja." Sebagai seorang pengacara Barita memang terbiasa bersikap taktis. Dengan begitu ia bisa mengambil keputusan dengan efisien. "Yanto ditangkap polisi, Bar. Kata mereka Yanto terlibat dalam sindikat penjualan n*****a. Ibu tidak percaya. Bagaimana mungkin Yanto melakukan kejahatan seperti yang mereka tuduhkan itu. Yanto itu anak baik, Bar." Barita menghembuskan napas kasar. Akhirnya apa yang ia khawatirkan terjadi juga. Ia memang sudah merasa ada yang salah dengan Yanto, saat bertemu dengan remaja yang masih duduk di bangku SMA itu beberapa bulan lalu. Karena Yanto yang biasanya gembira setiap melihatnya mengunjungi panti, tampak gelisah dan cemas tanpa alasan. Yanto juga tidak berani menatap matanya. Yanto seperti menyembunyikan sesuatu. Sejak hari itu, Barita sudah menandai Yanto. Pemuda ini pasti melakukan kesalahan. Hanya saja kesalahannya itu dalam bentuk apa, dirinya belum mempunyai gambaran. Menjadi seorang pengacara yang sering berhadapan dengan 1001 sifat manusia, menjadikannya instingtif. Jika ada yang sesuatu yang terasa janggal, otaknya akan langsung tanggap. Firasatnya jarang sekali salah. "Apakah ada barang bukti yang ditemukan pada saat Yanto ditangkap, Bu?" Barita memfokuskan masalah pada fakta-fakta saja. Sudah lama ia belajar untuk menempatkan hatinya, hanya pada saat sedang beribadah saja. Di luar itu, ia selalu bertindak berdasarkan fakta dan alat bukti. Bukan hati. "Ada, Bar. Ada berapa gram shabu, kata polisi-polisi tadi. Ibu tidak begitu jelas mendengarnya. Tapi Ibu yakin, mereka pasti salah. Mana mungkin Yanto memakai n*****a. Apalagi menjualnya. Kamu harus membela adikmu itu, Bar!" Cukup sudah. Berarti Yanto memang bermasalah, walau belum tentu bersalah. Ada beberapa hal yang harus ia selidiki terlebih dulu. Ia mengenal Yanto dari pemuda itu berusia satu tahun. Yanto dititipkan ke panti asuhan Kasih Bunda, karena kedua orang tuanya meninggal, akibat kecelakaan lalu lintas. Sama seperti dirinya, Yanto pun tumbuh dan besar di panti asuhan Kasih Bunda. Bu Asih memang ada benarnya. Pada dasarnya Yanto itu memang anak baik. Hanya saja semakin besar dirinya, pergaulannya di luar panti, tidak bisa mereka kontrol lagi. Banyak faktor-faktor X di luar sana yang tentu saja bisa mengubah karakter seseorang. Yanto bukan anak kecil lagi. Remaja enam belas tahun itu tengah mencari-cari jati diri. Banyak hal-hal di luar panti yang pasti menarik perhatiannya. Faktor inilah yang biasanya dimanfaatkan para p**************a, untuk mencari mangsa. Sebaiknya ia harus menuntaskan masalah ini. Mengingat masalah n*****a ini sudah sampai ke panti. Kalau tidak segera dituntaskan, dikhawatirkan akan merembet pada anak-anak panti lainnya. Remaja dan masalah hormonal mereka, sangatlah rentan terhadap godaan. Barita menutup pembicaraan dengan Bu Asih, setelah ia berjanji akan menemui Yanto di kantor polisi. Beginilah cara Barita berterima kasih pada Bu Asih yang telah membesarkannya tanpa pamrih. Apa yang mampu ia lakukan untuk Bu Asih, pasti akan ia tunaikan. Ia sudah menganggap Bu Asih seperti ibu kandungnya sendiri. Tok... Tok... Tok... Pintu ruangannya diketuk tiga kali, diikuti munculnya sosok Budi Ardiansyah. Sahabatnya sewaktu masih tinggal di panti asuhan. Konon katanya Budi lah yang membawanya ke panti asuhan, saat melihatnya terlunta-lunta di jalan. Ia tidak begitu mengingat kisahnya, karena usia. Ia masih terlalu kecil kala itu. Bagi Barita, Budi adalah definisi sahabat yang sebenarnya. Budi rela melakukan apa saja demi membelanya. Termasuk menggantikannya masuk penjara hingga setahun lamanya, saat mereka masih remaja dulu. Dirinya yang difitnah, namun Budi dengan gagah berani menanggung semuanya. Bagi Barita, Budi adalah segalanya. "Duduk, Bud. Kebetulan sekali lo dateng." Barita mempersilahkan Budi duduk dengan kedikan kepalanya. Sebenarnya usia Budi ini sekitar lima tahun di atasnya. Namun sedari dulu, ia memang selalu memanggil Budi dengan nama saja. Toh, ia tidak ingat secara pasti berapa usianya yang sebenarnya. Bu Asih hanya mengira-ngira usianya saat Budi membawanya ke panti asuhan. "Ada apa, Bar? Kenapa wajah lo tegang begitu? Ada kasus rumit yang membuat kepala lo berasap?" cengir Budi seraya menarik kursi di depan Barita. "Begitulah, Bud. Masalahnya kasus kali ini menyangkut anak panti. Itu yang membuat gue harus extra hati-hati." "Hah, anak panti? Jangan bilang kalau--" "Kalau lo itu benar, Bud." Barita mengacungkan telunjuknya. Mengisyaratkan bahwa dugaan Budi benar, dan sahabatnya itu tidak perlu lagi melanjutkan kalimatnya. "Ayo kita berangkat sekarang." Barita meraih tas. Memasukkan laptop dan beberapa berkas ke dalamnya. Tidak lupa ia menyambar ponsel dan kunci mobil dari atas meja. Setelahnya ia mendorong pintu ruangan dengan bahu dan berjalan keluar ruangan. Di belakangnya Budi mengekor sambil tersenyum kecut. Seperti inilah Barita. Sahabat melebihi saudaranya ini memang tidak suka mengulang cerita. Bagi Barita berbicara banyak namun tiada solusi itu hanyalah pemborosan napas. Barita berprinsip ia hanya mau berbicara jika sudah ada buktinya. Makanya Barita hanya berpanjang-panjang kata apabila ia tengah menghadiri sidang di pengadilan. Setelah masuk ke dalam mobil, Barita memasang head set dan menelepon Alfred. Alfred adalah juru periksa di kepolisian. Selain juru periksa kebetulan Alfred adalah temannya. Sama-sama mantan anak panti asuhan Kasih Bunda pula. "Fred, bagaimana keadaan Yanto? Feeling lo, dia bersalah atau tidak?" "Keadaannya cemas luar biasa seperti cacing kepanasan. Feeling gue Yanto bersalah, tapi tidak sepenuhnya. Yanto ini sepertinya masih coba-coba. Gue yakin ada sesuatu hal yang mempengaruhinya, sampai ia berani mengambil resiko ini. Inilah yang akan gue dalami saat memeriksanya nanti." "Apakah ada kemungkinan Yanto akan ditahan?" "Tergantung seberapa berat kasusnya nanti. Gue memang teman lo dan juga anak panti. Tapi gue harus professional, Bar. Kita sama-sama menjunjung tinggi profesionalisme bukan?" "Baik. Gue dan Budi on the way ke sana. Gue akan menemui Yanto terlebih dahulu sebelum kasus ini naik." Barita mematikan ponsel, dan berkonsentrasi menyetir. Feelingnya mengatakan bahwa masalah ini tidak sesederhana kelihatannya. Pasti ada oknum-oknum lain yang bermain di belakangnya. *** "Katakan yang sebenarnya Yanto. Apa benar kamu menjadi pengedar Narkob*?" Barita menatap Yanto tepat di kedua matanya. Saat ini mereka ada di ruangan juru periksa kepolisian. Dirinya dan Yanto duduk dengan dibatasi sebuah meja kaca. Sementara Budi duduk di sudut ruangan. Barita meminjam ruangan Alfred untuk menginterogasi Yanto. Yanto menggeleng. Ia sama sekali tidak berani memandang Barita. Ia tahu kalau dirinya salah. Makanya ia merasa gentar saat harus menghadapi Barita. Lihatlah, ia kini seperti cecunguk pengecut setelah efek Narkob*nya hilang. Padahal sebelumnya ia merasa seperti seorang pria dewasa gagah perkasa. Ia tidak perlu takut dengan Barita yang nota bene hanyalah seorang donatur dan salah seorang mantan anak panti. Barita bukan orang tua ataupun keluarganya. Ia tidak harus takut pada Barita. "Tatap mata Abang, dan gunakan mulutmu untuk menjawab. Jangan cuma menggeleng atau menggangguk seperti seekor curut, setelah sebelumnya kamu bertingkah seperti jagoan. Jangan jadi pengecut!" bentak Barita gusar. "Bukan, Bang!" sahut Yanto gagap. Ia memberanikan diri menatap Barita, walau sesungguhnya ia gentar. Barita kalau sedang marah memang mengerikan. Apalagi kini marahnya sangat beralasan. Ia telah melakukan satu kesalahan besar. Ah, ternyata efek percaya dirinya hanya bersifat sementara saja. Sesungguhnya ia memang curut pengecut di hadapan Barita. Ia tidak sehebat yang Selena katakan. "Lantas mengapa ada barang haram itu di dirimu?" cecar Barita lagi. "Bang Berman yang memberikannya," aku Yanto pelan. Sebenarnya ia tidak berniat bernyanyi seperti banc* begini. Istimewa ia sudah berjanji pada Selena akan menjadi laki-laki yang kuat dan pemberani. Namun tatapan Barita membuat mulutnya otomatis berbicara sendiri. "Berman anak kos seberang panti?" Barita memastikan. Yanto mengangguk pelan. Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Yanto sadar tidak ada gunanya juga ia berbohong. Karena saat Barita menginterogasi seperti ini, bahkan papan tulis pun jadi bisa berbicara. Barita sangat piawai dalam merangkai kalimat-kalimat menjebaknya. "Dan mengapa tiba-tiba Berman bisa memberikanmu Narkob*? Tidak ada asap, kalau tidak ada api. Jujurlah pada Abang, Yanto. Kalau kamu tidak mau membusuk di penjara," ancam Barita lagi. Mendengar kata penjara nyali Yanto makin menciut. Ah, ternyata ia belum pantas menjadi orang besar, seperti yang dikatakan Berman. Nyalinya bahkan lebih kecil daripada biji kacang hijau. "Karena Selena," cicit Yanto dengan wajah memerah. Ia sangat malu saat harus menelanjangi kesalahannya. "Selena?" Barita menjungkitkan alisnya. "Siapa Selena ini? Apakah ada hubungannya dengan si Berman?" Barita mencoba mengumpulkan satu persatu puzzle yang berserakan. "Selena adalah te--teman Berman." Yanto tergagap. Satu clue pertama. "Lantas?" Barita mulai bisa menyimpulkan sedikit deqmi sedikit benang merah yang saling terhubung di antara nama-nama yang Yanto sebutkan. "Aku... menyukai Selena, Bang. Tapi aku tidak berani mendekatinya. Dan Bang Berman tahu akan hal itu. Lantas Bang Berman memberikanku shabu. Kata Bang Berman kalau aku menghirup shabu ini, rasa maluku akan hilang. Aku bahkan akan selalu tertawa dan gembira senantiasa," adu Yanto gelisah. Ia terus menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Ia merasa serba salah saat harus menelanjangi diri seperti ini. "Abang simpulkan, berarti shabu-shabu yang ada padamu itu berasal dari Berman." Yanto mengangguk pasrah. "Pertanyaan selanjutnya. Shabu-shabu ini untuk kamu konsumsi sendiri, kamu edarkan?" Hening. "Untuk aku konsumsi pribadi, Bang." Akhirnya Yanto menjawab juga. "Tapi," Barita menyambung ucapan Yanto. Ia tahu pasti Yanto menyembunyikan sesuatu, saat ia tidak menjawab secara langsung pertanyaannya tadi. Padahal jawabannya sangat mudah. Iya atau tidak. Namun Yanto berpikir sekian lama baru menjawabnya. Itu artinya ada perjanjian lain lagi. "Tapi... setelah ini aku harus membelinya. Dan kalau aku tidak mempunyai uang membelinya, maka aku harus membantunya berjualan. Dengan begitu aku bisa mendapatkan shabu secara gratis, sekaligus uang jajan juga." Apa yang terjadi, terjadilah. Barita dan Budi saling memandang. Berman menjebak Yanto dengan cara yang sangat cantik. Mengeksplotasi perasaannya pada Selena. Remaja dalam usia labil seperti Yanto memang paling mudah dimanipulasi. Barita diam saja. Ia sengaja tidak mengatakan apa-apa, demi menciutkan nyali Yanto. Menunggu penghukuman itu lebih menakutkan dibanding dengan hukumannya itu sendiri bukan? Dan Barita ingin Yanto menguntai satu demi satu kebodohannya dengan pikiran yang lebih jernih. Karena sesungguhnya Yanto ini bukan orang bodoh. Ia sangat cerdas malah. Hanya saja tersandung masalah asmara membuat logikanya tumpul sesaat. Maklum saja, hormon endorphinnya sedang berkuasa saat ini. "Lantai bagaimana nasibku, Bang? Apakah... apakah... aku akan di pen--penjara?" Yanto merasa lidahnya kebas saat menyebut kata penjara. Sungguh ia merasa sangat tidak cocok di sini. Baru beberapa jam saja, ia sudah tidak tahan melihat kekerasa* yang ada di lingkungan sel sementaranya tadi. Tiga jam serasa tiga hari. Bagaimana kalau tiga tahun atau lebih lama lagi? Sungguh, ia tidak sanggup membayangkannya "Nasibmu?" Barita menjungkitkan satu alisnya. Yanto tidak kuasa menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Air mukanya makin lama makin pias. "Menurut Undang -Undang Narkotika berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2010. Ada dua hal yang bisa polisi jeratkan padamu. Yaitu rehabilitasi atau penjara." "Aku memilih rehabilitasi saja, Bang. Dengan begitu kecanduanku akan barang haram itu bisa sembuh. Lagi pula aku belum lama mencobanya, Bang. Baru sekitar sebulan lebih. Harusnya lebih cepat pulihnya 'kan, Bang?" jawab Yanto cepat. Asa terlihat begitu nyata di sana. Mungkin pemuda ini lega karena mengira bisa lepas dari keharusan di penjara. "Abang belum selesai dengan kalimat Abang tadi, Yanto," cetus Barita dingin. Air muka Yanto yang tadinya penuh harapan, kembali luruh. Bahunya mencelos turun. "Abang lanjutkan. Kalau barang bukti yang ditemukan kurang dari satu gram, dan orang tersebut bukan pengedar, maka masih bisa digunakan opsi rehabilitasi. Baik itu Lembaga Rehabilitasi Medis ataupun Rehabilitasi Sosial. Tapi, kalau orang tersebut terbukti sebagai seorang pengedar, maka sudah pasti akan masuk penjara. Titik. Bahkan kemungkinan di penjara seumur hidup atau hukuman mati, terbuka lebar. Sampai di sini kamu paham kan apa yang akan terjadi pada dirimu selanjutnya?" Air muka Yanto berubah-ubah. Antara ketakutan dan rasa malu. Namun rasa takutlah yang lebih dominan. Sekonyong-konyong Yanto bangkit dari kursinya dan berlutut di hadapan Barita. Tatap matanya begitu liar dan ketakutan. "Bang, aku tahu aku salah. Tapi aku tidak mau di penjara. Bantu aku keluar dari sini, Bang. Aku mohon. Untuk itu aku bersedia melakukan apa saja. Apa saja, Bang!" hiba Yanto. Ia sudah melupakan janjinya pada Selena bahwa ia akan menjadi pemuda yang macho dan pemberani. Lupa akan janjinya pada Berman akan menjadi laki-laki kuat yang tidak bisa didikte apabila ia sudah memiliki uang banyak. Yang ia ingat kini hanya satu hal. Bahwa ia adalah orang bodoh yang begitu mudah terpedaya oleh Selena dan Berman hanya demi pujian penuh kebohongan. Ya, dirinya memang sebodoh itu!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

PLAYDATE

read
118.7K
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.9K
bc

Marriage Aggreement

read
80.8K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
624.2K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.6K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.4K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook