2

1152 Words
“Kamu itu ada-ada saja. Padahal tiap hari nenek yang masak. Tapi, baru kali ini nenek mendengar kamu memuji apa yang nenek pasak. sepetinya ada yang kamu inginkan, bukaan?” ucapan sang nenek membuat Roro tersenyum sambil mengaguk celat. “Bagaimana kalau Roro kerja di tempat Nenek saja, Roro tidak mau mendengar gosip yang tidak-tidak lagi.” Ucap Roro sambil menopang dagu dengan tangan yang di tekuk di atas meja sampai bibirnya monyong. Sang nenek sedikit menegang, pasalnya selama ini dia selalu bekerja sendiri tanpa mau di bantu siapa pun karena ada sesuatu yang harus dia sembunyikan dari orang lain. Walaupun Roro itu cucunya yang paling berharga, tapi dia harus tetap merahasiakannya. “Nek, ko malah diam sih!” ucap Rori sambil bersedekap dan menjatuhkan kepala pada tumpuan tangannya. “Nenek kan sudah membicarakan soal iniii, jadi___” “Iiih, Nenek ko kaya begitu, masa sama cucu sendiri pelit.” Roro kembali mengerucutkan bibirnya, dia sebenarnya bingung dengan sang nenek, yang suka melarang untuk bekerja di toko miliknya sejak dulu, dan itulah alasan Roro malah bekerja jadi pelayan di toko samping toko neneknya. Bila ditanya hanya kata ‘tidak bisa bekerja dengan orang lain’ itulah yang selalu nenek katakan sampai saat ini pun hanya itu yang beliau katakan. Sang nenek yang melihat cucunya seperti itu menjadi kasihan, dengan berat hati, dia pun mendekati Roro dan mengusap kepalanya. “baiklaaah, Nenek mengizinkanmu bekerja di tempat nenek. Tapi nanti setelah nenek membuat ruangan khusus untuk bekerja, jadi nenek tidak akan merasa terganggu.” Ucapnya membuat Roro berbinar. “Baiklah! Aku akan menunggunya, tapi jangan lama-lama ya, Nek. Nanti aku keburu di terima kerja di perusahaan besar. Kalau sudah seperti itu, aku tidak akan bis membantu nenek lagi.” Ucap Roro sambil memberikan dia jempol kembali.  Melihat Roro kembali tersenyum, sang nenek mengangguk dan dengan cepat mempersiapkan tempat untuknya bekerja supaya Roro tidak akan curiga siapa dia sebenarnya. “Kalau begitu, aku pergi bekerja dulu ya, Nek.” Ucap Roro berdiri hendak pergi untuk bersiap-siap bekerja. Sedangkan sang nenek meneruskan pekerjaan mencuci piring, setelah itu baru akan pergi untuk membuka toko. Dia sudah memberi tahu pada pelanggannya yang akan datang hari ini untuk tidak pagi-pagi datang ke toko karena saat ini dia ingin membereskan rumah terlebih dahulu. Sesampainya di tempat kerja, Roro langsung dihampiri salah satu temannya yang langsung sewot karena Roro datang terlambat sampai semua orang di buat makin kacau.  “Lah, kenapa kalian menyalahkan aku? Kemarin kan sudah bilang sama Pak Wahyu, kalau aku ada pekerjaan. Jadi tidak bisa menemaninya ke tempat itu.” Ucap Roro masuk ke kamar kecil untuk mengganti baju has pelayan toko.  Walaupun tempat Roro bekerja toko kecil, tapi semua pelayan di berikan baju seragam yang hanya bisa di pakai saat sudah masuk kerja saja. Mengapa seperti itu? Supaya terjamin kebersihannya. Itulah alasan Pak Wahyu melakukannya. “Kamu, bicara langsung sama Pak Wahyu kan , Ro?” ucap salah satu teman Roro yang dari tadi hanya diam. Setelah Roro keluar kamar. Roro menggelengkan kepala, “Kemarin minta tolong Mbak Sasa buat bilang sama Pak Wahyu karena kemarin aku harus pulang cepat.” Ucap Roro sambil mengikat rambut dan menggelungnya. Setelah itu memakai topi yang ada jaring rambutnya supaya pas tengah bekerja, rambutnya tidak akan mengotori semua pesanan para pelanggan yang sungguh cinta kebersihan. “Nah!” seorang laki-laki yang ada di pojokkan langsung menepuk kedua tangan dengan keras sampai semua orang terlonjak kaget sebab semua tengah termenung. “Iiiih, Bagas! Jangan membuat keributan dooong, kita jadi ketakutan iniii.” Ucap salah satu teman Roro yang berjongkok. “Hahaha, maaf-maaf. Masalahnya, Ro, Mbak Sasa lupa bilang sama Pak Wahyu. Dia baru saja bilang kalau kamu tidak bisa ikut bersama Pak Wahyu.” Ucap Bagas dengan menghembuskan nafas tanda dia merasa kesal. “Lagian kamu sih, Rooo, kenapa malah minta bantuan Mabak Sasa, sudah tahukan kalau Mabak Sasa itu orangnya pelupa. Masih saja minta tolong sama dia.” Roro menggaruk tengkuk, “Maaf, waktu itu aku buru-buru karena sakit perut. Jadi tidak berpikir sampai sana. Sekarang, Pak Wahyu berangkat sama siapa?” Roro menatap teman-temannya yang malah saling berpandangan. Terdengar Bagas menarik nafas, “Pak Wahyu masih menunggu kamu di ruangannya. Dia bilang kalau kamu datang, untuk segera ke ruangannya.” Ucap Bagas menatap Roro dengan iba.  Teman-teman Roro yakin, kalau Roro pasti akan mendapat marah dari Pak Wahyu karena mereka melihat bagai mana geramnya wajah sanga bos saat itu. Roro hanya bisa menghela nafas, dengan apa yang akan terjadi. Apalagi bukan hanya saat ini dia membuat kesalah, tapi seminggu ini dia sudah hampir 4kali melakukan kesalahan yang membuat Pak Wahyu geram apalagi ketika istrinya selalu marah-marah salah paham ketika dia tengah dengan Roro. “Kalau begitu, aku pergi temui Pak Wahyu dulu.” Ucap Roro sambil melangkah meninggalkan teman-temannya yang masih menatap iba. “Semangat! Kamu harus tetap semangat, Ro. Kalau bisa, kamu rayu saja Pak Wahyu, supaya tidak di hukum.” Ucap Bagas yang langsung mendapat sorakan dan makian dari teman lainnya.  Dengan langkah gontai, Roro mendekati pintu ruangan sang Bos, Pak Wahyu. Napasnya kembali keluar dengan kasar menandakan dia tengah merasa tertekan.  “Semangat, Rorooo, kamu pasti bisa.” Ucap Roro dengan menekuk sikut dan telapak tangan terkepal menyemangati diri sendiri. Tok, tok, tok. Roro mengetuk pintu perlahan. “MASUK!” terdengar suara orang yang cukup marah. Roro perlahan membuka dan mendorong pintu ruangan Pak Wahyu. “Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Roro berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Pak Wahyu yang tengah menulis, menyimpan bolpoin yang tengah dia gunakan, menarik kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya. Kalian harus tahu, paras Pak Wahyu cukup tampan dan berwibawa, walau dia hanya sebagai pengusaha yang memiliki toko kecik, yang pelanggannya tidak sebanyak toko lain, tapi hidup pak Wahyu terlihat sungguh bahagia dengan hanya memiliki kekayaan cukup untuk menghidupi keluarganya. Parasnya yang tampan cukup menyita perhatian semua kaum hawa sampai istrinya begitu cemburuan terutama pada Roro. “Kenapa kamu datang terlambat?” ucapan itu membuat Roro sadar dari lamunan yang tengah mengagumi sosok sang Bos yang sedang duduk di balik meja kerjanya. “Roro, saya bicara padamu. Kenapa kamu masuk kerja siang?” nada bicara Pak Wahyu sedikit naik karena kebodohan Roro yang malah diam membisu.  “Ma, maaf, maaf Bos, eh Pak!” Roro menggaruk kepala yang tidak gatal karena gugup dengan apa yang terjadi. “I, itu, itu Nenek saya tidak mau melepaskan saya sebelum menemaninya makan.” Ucapan Roro walaupun tidak benar semuanya, tapi itu memang kenyataannya.  “Apa Nenekmu sakit?” terdengar nada kawatir dari suara Pak Wahyu sambil menatap Roro. “Tidak, Pak. Tapi kan Bapak tahu, bagaimana sifat Nenek saya.” Ucap Roro sedikit rileks dengan apa yang terjadi. “Saya tahu, Nenek kamu tidak akan makan sebelum kamu pun makan. Tapi, apa kamu tidak bicara kalau saya akan membawamu untuk bertemu pelanggan yang menginginkan toko kita untuk menangani suvenir pernikahan anaknya?” ucap sang Bos menatap Roro. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD