Dua sisi

1102 Words
“Mamaaaa!” Unita yang baru saja turun dari mobil yang dikendarainya segera membuka tangan, menerima pelukan hangat dari gadis manis yang kecantikannya dikata orang mewaris darinya, “Sayang, kakak sudah pulang?” Unita memiliki dua anak, yang memeluknya ini adalah Gwenza, si cantik yang polos dengan semua rasa keingintahuannya, dan si tampan Gevin kelas sembilan SMP, persis sekali dengan suaminya, Nurdin Herlambang. Nama Herlambang membawa kebanggaan tersendiri untuk keluarga ini. “Kak Gevin main game, Ma. Aku tidak mau mandi, nunggu Mama saja.” Gwenza mengerucutkan bibirya. “Ya sudah, kita mandi dulu, segera bersiap dan berangkat kalau papa sudah pulang, okey?" Unita menoleh, jam dinding seolah menjepit waktu tapi suaminya tak kunjung datang juga. Gwenza mengangguk, menuruti semua kata mamanya. “Bi, tolong carikan gaun Gweza yang warna biru dengan pita biru gelap di perut. Aku akan mengajaknya mandi.” Setelah pembantunya mengangguk, Unita segera mengajak masuk Gwenza ke kamar mandi, dan membantunya membersihkan badan. Membantu berpakaian, serta menata rambut Gwenza juga, barulah setelah itu dirinya sendiri ke kamarnya untuk melakukan hal yang sama pada dirinya sendiri. Memilih pakaian senada dengan yang dikenakan Gwenza, dan memoles make up natural, tak suka dengan sesuatu yang terlalu mencolok, apa lagi yang berhubungan dengan wajahnya. Dia segera ke luar, dinding kaca itu terlalu jujur, membuatnya melihat Nurdin yang pulang, baru saja turun dari mobil. Unita pun segera mempercepat langkah untuk menyambut suaminya, “Mas.” Nurdin yang tadinya tersenyum, seketika berbalik badan,”Apa yang kamu lakukan di sini, Unita?” Berjalan lebih cepat karena tak ingin terlambat ke acara hari ini. “Siapa lagi itu, Mas?” Unita belum ingin berbalik badan. Di waktu yang bahagia ini, kenapa Nurdin masih sempat membawa perempuan lain untuk dipamerkan, apa untungnya? Nurdin berhenti melangkah, “Unita, hari ini adalah ulang tahun Gwenza, pikirkan hal yang bagus, jangan racuni pikiranmu sendiri, lagi pula bukan urusanmu siapa wanita itu. Kita hanya rekan kerja dan jangan membuang waktuku dengan pertanyaan konyolmu. Aku lelah.” Nurdin melangkah lagi. Dia ingin segera masuk agar tak perlu menjawab pertanyaan tak penting itu. “Happy birthday, Gwenza. Happy birthday, Gwenza. Happy birthday Gwenza my queen. Happy birthday, Gwenza ....” Ke empatnya bertepuk tangan, semakin riuh dengan tambahan dari anak panti yang sengaja dipilih untuk acara spesial bagi Gwenza kali ini. Dengan senyumnya yang malu-malu, Gwenza meniup lilin itu, memotong kue berbentuk putri yang memang dia minta kemarin, dan menyuapkannya ke papa, mama, dan juga kakak tercinta. Umurnya baru saja menginjak lima tahun, meski terlambat, besok adalah hari pertama untuknya masuk ke Taman Kanak-kanak karena merasa sudah siap setelah merayakan ulang tahunnya ini. “Pa, acaranya masih lama? Aku lelah.” Begitulah Gevin, tak terlalu suka keramaian, atau bahkan keributan. Seperti papanya yang tak begitu menyukai basa-basi. Saat A lebih baik dari B, itulah yang akan dia ambil meski umurnya masih belum cukup sekali pun, sikap itu sangat sama. “Ada apa? Di sini banyak teman kan, Gevin?” Nurdin tahu putranya lelah karena sepulang sekolah segera ke sini, tapi tak ingin putranya tak menyukai acara adiknya juga. “Kak Gevin, makan ini saja.” Gwenza menyuapkan sepotong kue mendekat ke mulut kakaknya, tersenyum saat kakaknya menerimanya juga. Gevin membuka tangannya, meminta agar adiknya itu duduk di pangkuannya, “Pa, aku boleh mengajak Gwenza main ponsel?” Nurdin mengacak rambut Gevin, “Jangan terlalu dekat dengan matamu, Papa akan membantu mama sebentar.” Segera berdiri, tapi tak mendekat ke istrinya, dia lebih memilih ke luar untuk menelepon orang yang lebih menarik. Unita baru saja selesai membagi kue, melihat ke dua anaknya asyik sendiri, dia beralih mencari Nurdin. “Di mana mas Nurdin?” Perasaannya selalu tak enak saat suaminya menghilang begini. “Apa mungkin di luar?” Unita meninggalkan kegaduhan pesta ulang tahun putrinya dan melihat Nurdin tengah bercanda dengan seseorang di telepon. Tangannya cukup berani untuk mengulur, menyentuh bahu Nurdin agar suaminya sadar, “Mas?” Nurdin menoleh, “Nanti kutelepon lagi.” Mengantongi ponselnya dan menoleh lagi ke Unita, “Apa sudah selesai? Kita pulang sekarang. Aku lelah dan ingin cepat istirahat.” “Siapa lagi yang Mas telepon? Apa itu perempuan?” Unita tahu apa jawabannya, tapi kenapa Nurdin tak mengakui saja? Biar kehidupannya ini ada kepastian. Nurdin terkekeh, ke dua tangan mengusap lengan Unita bersamaan, dan membelai rambut itu juga. “Kau tahu, Unita? Uang yang kuberikan padamu dalam sebulan melebihi kata cukup, fasilitas, kemewahan lainnya, kebahagiaan punya Gevin dan Gwenza, lalu apa lagi yang mau kamu tuntut?” Nurdin memamerkan deret gigi, menaikkan dagu Unita, dan menarik tangan untuk disimpan di saku celananya sendiri, “Jangan membuat dirimu cepat tua dengan terus memikirkanku. Kalau ada yang kamu inginkan lagi, katakan saja, aku akan memenuhinya, mengerti?!” Unita baru saja mau membuka mulut dan Nurdin mengacungkan jari telunjuknya, “Jangan terus berdebat, Unita. Aku tidak ingin pesta Gwenza kacau karena keegoisanmu itu.” Meninggalkan Unita di luar, dia segera bergabung dengan ke dua anaknya agar kegilaan Unita tak terus berlanjut. Malam hari... semua sudah lelah setelah tadi siang. Unita pun ingin tidur, tapi Nurdin masih juga sibuk, “Kamu mau ke mana, Mas?” Melihat sumianya menata pakaian ke koper, dia jadi penasaran. “Aku harus ke luar kota, Unita. Mungkin dua atau tiga hari, banyak urusan, sawit masa panen, jadi aku akan sangat sibuk, jaga anak-anak saja.” Nurdin terus sibuk dengan pekerjaannya. “Tapi Gwenza selalu protes saat Mas ke luar kota, kalau masih bisa dijangkau apa tidak bisa pulang pergi saja, Mas?” Berharap dengan argumen itu Nurdin memikirkan kembali keputusannya untuk pergi. Ini adalah kali ke tiga suaminya ke luar kota, kalau dihitung sebulan ini hanya beberapa hari saja di rumah, Unita sudah lelah mengarang cerita saat Gwenza mengamuk. Nurdin menoleh lagi, menggeleng, “Carilah pertanyaan lain, Unita... atau aku bisa saja mempercepat perjalanan bisnis ini jadi malam ini.” *** Nurdin berangkat terlalu pagi, Unita juga sudah mengantar Gwenza ke sekolah setelah banyak drama, dan kini dia memilih gym untuk melepas semua penat soal suaminya. “Unita? Kamu di sini?” Saat menoleh, “Reni?!” Unita segera memeluk teman lama yang sudah dia rindukan, “Berapa lama kita tidak bertemu, Ren? Astaga kamu semakin segar saja.” Reni memukul lengan Unita pelan, “Enak aja! Udah selesai belum kamu gymnya? Makan bareng yuk!” “Boleh. Aku mandi dulu.” Tak salah Unita memilih gym tadi untuk menghilangkan penat. “Kita makan sea food, tapi mampir dulu, ya? Aku mau ambil lukisan dulu, nanti kukenalkan sama pelukis hebat, namanya Bayu, dia sangat tampan sekali.” Reni mengatakannya dengan berbinar. Unita yang tadinya tersenyum, membatu seketika saat mendengar nama Bayu, apakah mungkin ....

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD