Kecemburuan

3091 Words
Praja membawa Alisha dan Meilani kearah timur, bertolak belakang dengan arah ke kota. Mereka memasuki kota lain setelah perjalanan dua jam. Lalu mereka berganti kendaraan di pintu tol atau jalan bebas hambatan. Tiba di kota satelit dari arah selaran. Perjalanan memutar yang memakan waktu hampir enam jam, akhirnya tiba di sebuah rumah yang bisa dikatakan tidak terlalu mewah. Memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh dua orang satpam. Dari gerbang luar menuju lobby utama dari rumah tersebut berjarak sekitar tiga ratus meter. Kiri kanan halaman menuju rumah dipenuhi pohon-pohon Pinus remaja. Halaman yang luas ditata dengan taman yang asri, membuat Alisha terkagum-kagum. Terlebih posisi rumah yang jauh dari jalan raya, terasa bagaikan tempat yang tepat untuk menggambarkan sebuah kenyamanan bagi Alisha. Sesampainya di selasar lobby, mereka disambut oleh Anastasya. “Selamat datang menantuku yang cantik.” Sapa Anastasya sambil memeluk Alisha. Alisha yang tidak menyangka akan disapa demikian, merasa gugup dan tegang. Setelah melepaskan pelukannya dari Alisha, Anastasya menoleh kepada Meilani. “Ini pasti Meilani. Senang bertemu.” Kata Anastasya yang juga memeluk Meilani. “Ayo masuk, papinya Bram menunggu didalam.” Anastasya berkata sambil menggandeng keduanya. Mereka diperkenalkan kepada Catur Laksono. Sang Raja yang gagah dan sangat tampan meskipun sudah tidak muda lagi. Catur Laksono tidak berkedip menatap Alisha Diandre. Sebelumnya dia terkesiap waktu melihat Alisha dari jauh saat turun dari mobil. Anastasya melihat gelagat aneh suaminya dan menyadarkan Catur Laksono dengan panggilan, “Pap, kenalkan ini Alisha Diandre dan ini sahabatnya Alisha, Meilani.” Kata Anastasya sambil menatap tajam suaminya. “Oh. Ya ya.. silahkan masuk.” Catur Laksono sedikit gugup mempersilahkan mereka masuk ke ruang tengah yang tak lain adalah ruang keluarga. Anastasya merasa ada sesuatu yang janggal. Dia type wanita yang tidak pernah mau menunda sesuatu. Anastasya pamit setelah Alisha dan Meilani duduk dengan nyaman. “Alisha, mommy sama papi masuk dulu ya sebentar.” Sambil melirik Meilani, “Ya mey.” Katanya. “Ya iya tante, silahkan.” Jawab Meilani dengan sopan. Anastasya menggandeng lengan suaminya dan memasuki kamar tamu. Lalu mengajak duduk suaminya dipinggir ranjang. “Ada yang papi mau ceritakan?” Anastasya membuka pertanyaan. Catur Laksono yang paham akan sifat-sifat istrinya, memutuskan untuk jujur saja. Karena akan berakibat fatal jika tetap menutupi dan Anastasya tahu dari orang lain selain dirinya. “Yaa.. Gimana ya, papi teringat seseorang dari masa lalu mom. Makanya papi kaget. Lebih kaget lagi denger nama lengkapnya dari mami tadi.” Ujar Catur Laksono. “Naaahh.. Benar kan dugaan mami selama ini kalau Alisha adalah anak dari mantan pacar papi. Pernikahan ini lebih baik dibatalkan.” Anastasya mengatakan kalimat yang mengejutkan Catur Laksono. “Ah, mami gak masuk akal. Yang mantan kan ibunya bukan anaknya.” Catur Laksono tidak terima. “Iya, tapi kemiripan yang luar biasa antara ibu dan anak, bisa bikin papi terus ingat mantan, bahkan bisa aja papi jatuh cinta pada anak itu.” Anastasya mengeluarkan kalimat yang kekanak-kanakan sambil membuang muka. “Tasya ! Tidak mungkin itu terjadi.” Catur Laksono dengan nada kesal dan tinggi. “Kenapa papi marah? Papi takut gak bisa melihat anak itu lagi ya?” Anastasya ngeyel. “Ya Tuhan, mami. Papi gak kepikiran sama sekali untuk berbuat atau berniat yang aneh-aneh. Apa selama ini papi kurang membuktikan semuanya?”. Catur Laksono bernada putus asa. Anastasya tahu dia harus berhenti sampai disini. Tidak akan memprovokasi suaminya lagi. Tapi dadanya terasa panas. Dia dilanda cemburu yang tidak berkesudahan dari sejak awal pernikahan mereka dan hanya kepada Diana, ibunya Alisha Diandre. Melihat Anastasya diam, Catur Laksono mendekat dan merengkuh bahu istrinya, “Papi minta maaf, tolong kubur masa lalu, mami sudah menemani papi sampai saat ini, mempunyai dua anak yang sukses. Sekarang fokus kita adalah kebahagiaan anak-anak kita. Bisa kan mi? Please.” Catur Laksono memohon. “Aku gak janji.” Anastasya melengos dan keluar dari kamar tamu. Di depan pintu, Anastasya menatap Alisha yang sedang ngobrol dengan Meilani sambil bersedekap tangan di d**a. Wajahnya, bentuk tubuhnya, kemolekannya, benar-benar bagai pinang dibelah dua. Hanya saja, Diana mempunyai postur yang tinggi seperti dirinya. Entah kenapa, Anastasya merasakan lagi kobaran cemburu dihatinya. Dia butuh menenangkan diri sekarang. Anastasya bergegas menuju lantai dua, disana ada lounge pribadi. Anastasya butuh minum. ...... Menjelang sore, saat Bramantyo baru sampai dikantornya dari pertemuan dengan koleganya dan berkeliling melihat lahan yang akan dibangun, dia melihat ada sepucuk surat diatas meja. Surat itu ganjil karena amplopnya polos dan tertera tulisan tangan. Bramantyo meraih surat tersebut. Ditujukan untuk dirinya. Sambil duduk Bramantyo membuka suratnya. Ada selembar kertas ukuran A4 yang berisi potongan-potongan koran. Jika ‐-- ingin Sisca selamat --- jangan --- lakukan apapun. Bramantyo mengernyitkan dahinya. Dia tahu bahwa siapapun itu, memberi peringatan padanya untuk tidak bertindak menyelamatkan Sisca. Berarti, orang-orang tersebut telah mengaku kalah sebelum bertanding. Bramantyo tersenyum sinis. Dia langsung memanggil kepala pengawalnya, memberikan perintah, “Selidiki ini sampai dapat. Bawa ke laboratoriun forensik, kumpulkan semua informasi dari lapangan. Redam semua pemberitaan. Semoga kita tidak terlambat. Bagaimanapun Sisca adalah rekan perusahaan dan sahabat keluarga.” Bramantyo berkata dengan tegas. Kepala pengawal dengan sigap mengangguk. “Jadi benar bu Sisca di culik?” Tanyanya kepada Bramantyo. “Dua kemungkinan, Benar di culik atau sengaja menculik diri sendiri. Temukan motifnya.” Lanjut Bramantyo, Bramantyo ingin segera bertemu Alisha, seharian tidak melihatnya, membuat dia banyak kehilangan konsentrasi karena di pikirannya selalu ada Alisha dan Alisha. “Siapkan kendaraan, saya mau pulang ke kota satelit.” Bramantyo memerintah. “Laksanakan.” Jawab kepala pengawal dengan hormat sambil keluar dari ruangan Bramantyo. Pintu diketuk. “Masuk.” Kata Bramantyo. Ternyata yang datang adalah supirnya, menjemput Bramantyo untuk membawakan barang-barang Bramantyo. Bramantyo melangkah keluar ruangan dengan ringan. Diiringi langkah-langkah supir dan satu pengawal. Menuju lift khusus yang langsung ketempat parkir khusus juga, dibagian tengah dari gedung tersebut. Tampak dua orang pengawal lain sedang berjaga disekitar mobil yang akan membawa Bramantyo pulang ke rumahnya yang lain. Satu pengawal membukakan pintu untuk Bramantyo di bagian belakang lalu dia duduk di samping supir. “Kalian nanti langsung berangkat ke Vila, kamu duduk ditempat saya ini, supaya seolah-olah saya yang datang.” Bramantyo berkata sambil menepuk pundak pengawalnya. “Siap Bos.” Keduanya serentak menjawab. .... Alisha memandang dirinya di cermin besar mengenakan kebaya modern berwarna emas yang membuat kulitnya semakin bercahaya. Dua orang wanita sibuk di sebelah kanan dan kiri Alisha, untuk memperbaiki kebaya itu supaya pas di tubuh Alisha. Meilani berdecak kagum. Alisha baru fitting baju kebaya, belum dandan, tapi aura kecantikannya sudah memancar. “Kamu memang cantik dari orok ya Lisa.” Meilani nyeletuk. “Memang. Baru tahu ya?” Alisha menjawab asal celetukan Meilani. Meilani terkekeh. “Mungkin dulunya ya, kamu ini putri dari seorang Raja yang Agung.” Seloroh Meilani. “Ya. Dan kamu adalah dayangku yang setia.” Balas Alisha agak sadis. Kembali Meilani terkekeh. “Aku jadi adikmu yang lebih disayang oleh Raja weew.” Meilani menolak menjadi dayang-dayang. “Terus aku dipinang oleh Raja sebelah yang baru naik takhta. Sementara kamu kan pemilih, jadi perawan tua deh, ha ha ha.” Meilani tertawa. “Iya Raja Fado. Yang diturunkan dari takhtanya karena menikahi dayang-dayang yang ngaku-ngaku adik putri.” Alisha ikut terkekeh. Mereka memang selalu begitu. Bercanda saling meledek dan saling tidak ingin kalah satu sama lain. Candaan mereka bisa melupakan kegugupan Alisha atas pernikahannya besok. Meilani mendapat kesempatan untuk fitting juga, karena perutnya yang sudah membesar, tentu dia tetap ingin terlihat cantik di hari istimewa sahabatnya. Setelah selesai fitting baju, Alisha dipanggil oleh salah seorang pelayan di rumah itu. “Nona Alisha ditunggu pak Bram di ruang kerja. Mari ikut saya.” Katanya sopan. Alisha mengikuti pelayan itu. Meilani setengah teriak menyusul Alisha. “Lisa, aku ikut.” Katanya. Sesampainya di ruangan kerja, pelayan pamit. Alisha dan Meilani dipersilahkan duduk. Disana ada tamu dua orang. Bramantyo mengenalkan Alisha kepada tamunya. “Ini calon istri saya, Alisha.” Kata Bramantyo sambil memegang punggung Alisha yang berjabat tangan dengan kedua tamu itu. “Dan ini, Meilani sahabat kami.” Lanjut Bramantyo memperkenalkan. “Alisha, bapak ini adalah bapak Notaris yang akan mengesahkan kepemilikan rumah ini beserta asistennya.” Bramantyo berkata sambil menatap Alisha dengan sorot mata penuh kerinduan. Alisha hanya mengangguk. Sejujurnya dia tidak memahami pembicaraan Bramantyo tadi. Notaris yang berpenampilan perlente itu, mulai membacakan isi akta jual beli rumah. Mereka mendengarkan dengan seksama, kecuali Alisha. Alisha melamun karena melihat Anastasya sedang melongok ke dalam dari pintu masuk. Tatapan mereka bertemu. Senyum Alisha untuk Anastasya mengambang antara jadi dan tidak jadi tersenyum. Alisha terkejut melihat mimik wajah Anastasya yang terlihat judes dan galak. Dengan tatapan tajam seakan ingin menerjang Alisha. Alisha merinding, jelas dia menangkap seperti ada rasa kebencian dari Anastasya. Setengah tidak percaya karena dipertemuan pertama, Anastasya begitu hangat dan lembut padanya. Begitupun saat tadi dia baru datang disambut oleh Anastasya dengan sangat ramah dan menyenangkan. Perubahan drastis yang dirasakan Alisha, membuat hatinya tidak tenang. Alisha berpikir keras, kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga Anastasya memandangnya seperti itu. “Bu Alisha, silahkan membubuhkan tanda tangan di tempat-tempat yang telah ditandai.” Notaris mempersilahkan Alisha yang terbangun dari lamunannya. “Oh ya, maaf.. dimana?” Tanya Alisha sambil mengambil pulpen yang disodorkan oleh asisten Notaris. Tanda tangan kedua belah pihak telah selesai, begitupun para saksi. Meilani menjadi saksi kedua di dalam akta jual beli tersebut. Mata Meilani berbinar-binar. Merasa bahagia sekaligus iri pada sahabatnya. Bagaimana tidak, Alisha tiba-tiba menjadi pemilik sah dari rumah yang besar ini. Dengan harga yang sangat fantastis baginya. Rumah seharga empat puluh lima milyard. Bukan harga main-main. Kini benar-benar menjadi milik Alisha tanpa susah payah. Sementara Alisha, yang tidak menyimak segala sesuatunya, menampilkan sorot mata sendu dan sedih juga bingung. Tentu saja itu sangat mengherankan bagi Meilani. Setelah Notaris pamit. Bramantyo yang merasa ada sesuatu telah terjadi pada Alisha. Bramantyo dengan sopan meminta Meilani untuk meninggalkannya berdua saja dengan Alisha. Meilani undur diri. Bramantyo mendekati Alisha yang masih terbengong-bengong. “Alisha, ada apa? Bisa tolong jujur ceritakan sama kang ganteng ini?” Bramantyo bertanya sambil berusaha mencairkan suasana dan berhasil. Alisha tersenyum sambil sedikit membuang muka ke samping. Bramantyo menunggu jawaban Alisha. Tidak lama kemudian, Alisha berkata, “Mamimu, aku rasa, dia berubah waktu melongok tadi dari pintu.” Alisha berkata tidak jelas. “Maksudnya, berubah bagaimana? Tanya Bramantyo. Tidak mungkin kan berubah seperti satria baja hitam? Pikirnya geli. “Mamimu tadi menatapku seperti marah besar. Aku lagi mengingat-ingat aku melakukan kesalahan apa.” Lanjut Alisha . Bramantyo mengerti sekarang. “Oh itu, jangan kaget Alisha, mami memang kadang baik kadang galak kaya singa. Eh, gak lah. Becanda. Mungkin mami memang sedang kesal karena sesuatu. Pasti bukan ke kamu. Maklum kan mami orang yang paling sibuk ngurusin anaknya yang super ganteng ini mau nikah besok.” Bramantyo menenangkan Alisha sambil berseloroh. Alisha melirik geli pada Bramantyo. “Ganteng doang. Gak pake super.” Kata Alisha tanpa ekspresi lalu bangkit berdiri meninggalkan Bramantyo yang senyam senyum tidak jelas. Sisi lain dari seorang Alisha Diandre yang membuat Bramantyo merasa takjub. Ternyata Alisha punya sense of humor yang baik, selain selalu bertutur kata dengan sopan juga tindak tanduknyapun sopan dan hormat pada siapapun. Kecuali pada Bramantyo. Terlalu acuh tak acuh. Bramantyo beranjak untuk mencari Anastasya. Dia menemukannya di ruangan yang akan dipakai akad nikah besok. Lalu lalang orang yang sibuk menata ruangan yang didominasi dengan warna coklat pupus, akan tampak kontras dengan baju pengantin berwarna emas namun sangat cocok perpaduannya. Anastasya sedang melihat-lihat, tampak sesekali menegur orang untuk memperbaiki ini itu dalam ruangan tersebut. Bramantyo menghampiri Anastasya dan menggamitnya, lalu membawanya ke sebuah ruangan. Setelah mereka duduk, tangan Anastasya digenggam oleh Bramantyo sambil menatap wajah Anastasya yang cantik. “Ada apa dengan mom hari ini?” Selidik Bramantyo. Anastasya menatap lekat putra kesayangannya. Dia melihat gurat-gurat kebahagiaan di wajah Bramantyo. Sudah lama sekali Anastasya tidak melihat wajah lembut yang menyunggingkan senyum bahagia seperti saat ini. Anastasya tidak sanggup menghancurkan kebahagiaan putranya. Dia bertekad untuk menyembunyikan perasaannya. “Mami hanya capek saja Bram.” Ujarnya sambil tangan kirinya bergerak ke wajah Bramantyo dan mengelus pipinya. Bramantyo membalas elusan lembut Anastasya dengan menciumi tangan Anastasya. “Mom istirahat saja. Biarkan orang-orang dari EO itu yang bekerja. Mereka sudah pengalaman.” Kata Bramantyo. “As you wish, mami akan temani papimu, daag sayang.” Anastasya bangkit lalu mencium kening Bramantyo sebelum meninggalkan Bramantyo sendirian disitu. Bramantyo tersenyum. Merasa sangat beruntung mempunyai orang tua yang selalu mendukung segala yang ingin dilakukannya. Sementara Meilani setengah histeris, memeluk Alisha di kamar mereka. "Lisha, kamu sadar gak kamu siapa?" Tanya Meilani dengan tatapan menyelidik. "Sadar. Aku Alisha Diandre Putri dari Herlambang Diandre dan Diana Geraldine. Aku mewarisi kecantikan ibuku dan keberanian ayahku. Ada yang kurang?" Alisha bertanya balik. "Bukan ituu.." Jawab Meilani gemas. "Terus apa?" Kembali Alisha bertanya. "Ampun deh, kamu sadar gak kalau kamu ini, pemilik dari rumah iniii." Meilani memberikan beberapa tekanan pada nada suaranya. "Hahaha, kamu baik-baik aja kan?" Kata Alisha sambil menempelkan telapak tangan kanannya di dahi Meilani. Meilani gemas. Menepis tangan Alisha dari keningnya. "Tadi itu kamu tanda tangan kan? kamu tahu gak yang kamu tanda tangan itu tentang apa?" Meilani penasaran Alisha sadar atau tidak. "Bukannya kalau mau menikah ada aja yang harus ditanda tangan ya?". Ujar Alisha bergeming. "Ya Tuhaaan... " Seru Meilani makin gemas. "Lisha, yang kamu tanda tangan itu tadi adalah perjanjian jual beli rumah ini." "Siapa yang beli, siapa yang jual?" Alisha memotong pembicaraan Meilani. "Pak Bram jual ke kamu." Meilani mengeluarkan nada tinggi. Mendadak Alisha tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Meilani. "Kayanya kamu beneran sakit deh Mey, ke dokter yuk? Ajak Alisha sambil tetap tertawa melihat wajah Meilani yang cemberut. Bukan Meilani namanya kalau gampang menyerah. Dia memikirkan kalimat yang tepat yang bisa membuat Alisha mengerti perkataannya. "Gini lho Lisha, sebenarnya pak Bram ngasih hadiah ke kamu. Yaitu rumah ini. Nah, supaya mudah mengurus perpindahan kepemilikannya, maka dianggap kamu telah membeli rumah ini dari pak Bram. Paham?" Meilani menjelaskan pelan-pelan. "Kenapa aku dikasih rumah?" Tanya Alisha. Meilani menatap Alisha dengan tatapan prihatin. "Memangnya harus ngasih kandang ayam? Lisha, memang seharusnya begitu. Seorang laki-laki yang bertanggung jawab, wajib memberikan rumah serta isinya, wajib membiayai hidup dan memenuhi seluruh kebutuhan istrinya. Kamu tahu itu kan?" Tanya Meilani. "Ya, aku ngerti. Tapi kan belum jadi istrinya." Kata Alisha. "Tidak ada yang salah memberikan rumah sebelum menikah. Lagipula acara akad akan dilaksanakan di rumah ini kan, berdasarkan adat kan memang harusnya menikah itu di adakan di rumah mempelai wanita." Jelas Meilani. "Jadi yang aku tanda tangan tadi adalah pergantian kepemilikan rumah?". Alisha memastikan. Meilani mengangguk, "Ya. Tepatnya mengalihkan kepemilikan dari pak Bram ke kamu. Selamat ya, dalam sekejap kamu tiba-tiba punya rumah seharga empat puluh lima milyard." Kata Meilani lalu nemeluk Alisha. "Pak Bram ini siapa Mey?" Tanya Alisha. Meilani membuka Google dari di handphonenya. Mengetik sesuatu dan memberikannya pada Alisha. Alisha mulai membaca artikel dengan judul Tokoh Populer di Negara Ini. Semakin membaca lebih jauh, Alisha semakin tegang. Tiba-tiba Alisha merasa mual ingin muntah. Meilani panik melihat Alisha seperti itu. "Kamu kenapa Lisha?". Tanyanya sambil memijit bahu Alisha. "Tidak apa-apa, hanya kaget saja." Jawab Alisha. "Kaget karena mau nikah dengan kongkomerat papan atas?" Goda Meilani. "Aku takut Mey." Lirih suara Alisha. "Gak usah takut. Jalani aja." Meilani memberi saran terbaik menurutnya. ...... Anastasya menghampiri suaminya, "Rumah ini sudah menjadi milik Alisha." Anastasya sedikit bergumam. Catur Laksono yang sedang memainkan handphone, melirik pada Anastasya dengan wajah bingung. "Lantas kenapa? Bukannya memang Alisha akan tinggal disini?" Sahut Catur Laksono. "Tidak tahu, tiba-tiba mami merasa aneh saja." Jawab Anastasya. "Mami, please?" Catur Laksono memohon. Anastasya memandang suaminya lekat-lekat. "By the way, dimana suami istri itu?" Anastasya bertanya. Catur Laksono menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan Anastasya. "Papi tidak tahu, waktu kejadian mereka menghilang kan kita sedang di Amerika, mami melarang papi untuk mencari tahu, ingat?" Catur Laksono menjawab. Anantasya diam. Dia memang melarang suaminya untuk mencari tahu kejadian yang menimpa Herlambang dan Diana. Catur Laksono mengalihkan pandangan dari Anastasya. Dia melihat ke arah jendela. Hatinya terasa remuk mengingat masa lalu. "Maafkan papi, hanya ini satu-satunya rahasia yang terus papi sembunyikan." Catur Laksono membathin. Anastasya melirik sekilas pada suaminya. Dia merasa yakin ada yang disembunyikan oleh Catur Laksono, Hanya saja, Anastasya tidak tahu harus mengoreknya dengan cara apa. Merasa tidak berdaya membuat Anastasya kesal pada Alisha Diandre. Dilema yang berat untuk Anastasya. Satu sisi, Gadis itu adalah satu-satunya orang yang dicintai Bramantyo selama belasan tahun. Sisi lainnya adalah Gadis itu mengingatkan suaminya kepada wanita lain yang pernah sangat dicintainya. Mengingat kejadian pertemuan pertama antara Alisha dengan Catur, Anastasya menangkap rasa keterkejutan yang luar biasa dari Catur Laksono. Terutama, sorot mata Catur Laksono. Anastasya menangkap ada kerinduan yang dalam pada sorot mata Catur Laksono. Mendadak Anastasya menyadari satu hal, bahwa suaminya, Catur Laksono, masih mencintai ibunya Alisha. Hal ini membuat hatinya suram, Anastasya sangat membenci persaingan. Oleh karena itu, dia harus menjadi pemenang secara utuh. Solusi terbaik adalah menjauhkan hal-hal yang mengingatkan Catur Laksono pada masa lalunya. Tapi, hal itu sudah terlambat sekarang. Anastasya tidak bisa bertindak untuk membuang jauh-jauh keberadaan Alisha. Dia harus menyusun rencana. Catur Laksono menoleh pada Anastasya yang sedang sibuk berpikir. Dia sangat paham dengan istrinya, "Apapun rencana mami, tolong hentikan. Biarkan Bram bahagia dengan pilihannya mi." Catur berkata dengan lembut. "Mami tidak akan melakukan sesuatu, asal papi jujur, karena mami merasa masih ada yang papi sembunyikan." Anastasya mencoba bersepakat. "Tidak ada lagi yang papi sembunyikan dari mami." Catur menjawab sambil menghela nafas. Anastasya kembali diam. Kali ini apakah harus percaya ucapan suaminya atau percaya pada perasaannya sendiri. Anastasya bimbang. Namun tekadnya sudah bulat. Dia akan menyusun rencana untuk membuat Alisha pergi dari keluarganya. Anastasya bangkit dari duduknya, lalu keluar meninggalkan suaminya. Dia menunggu kedatangan putinya, Ajeng Laksono, yang harusnya sudah mendarat di bandara. Dia menyuruh Ajeng pulang karena kakaknya, yaitu Bramantyo akan melangsungkan pernikahan besok. Meski dengan banyak komplain dari Ajeng Laksono, akhirnya putrinya bersedia untuk pulang dari luar negri. Anastasya berjalan ke arah kamar yang ditempati oleh Alisha. Kamar utama dirumah ini. Tanpa mengetuk pintu, Anastasya langsung menerobos masuk, yang tentunya mengagetkan Alisha dan Meilani yang sedang mengobrol. Anastasya memandang Alisha dengan ekspresi yang sulit dijabarkan. Anastasya menangkap perasaan takut Alisha. Jujur saja dia tidak tega melihat gadis itu ketakutan padanya. Tapi Anastasya terlanjur tidak menyukai wajah itu. Wajah Diana yang melekat pada Alisha. "Kami sekeluarga tidak akan makan malam di rumah, karena adiknya Bram akan tiba sebentar lagi dan kami akan membawanya makan di luar." Kata Anastasya sambil berbalik dan menutup pintu. Alisha dan Meilani saling pandang. "Kamu lihat itu Alisha? Kenapa tante Anastasya mendadak berubah ke kita ya?" Meilani kebingungan. Alisha hanya mengangkat bahu. Apapun yang terjadi, bukan dia yang ingin menikah. tapi Bramantyo. "Kalau aku meminta pembatalan, bukankah aku tidak manusiawi ya? lihat saja persiapan yang telah mereka lakukan." Sahut Alisha penuh perasaan. "Jangan. Tidak semua orang mendapatkan keberuntungan seperti kamu." Sergah Meilani. "Lagipula, Cinta itu bisa datang belakangan." Lanjut Meilani sambil nyengir. Alisha melotot ke arah Meilani. "Aku tidak percaya cinta antara lelaki dan perempuan. Aku hanya percaya cinta antara anak dan orang tua, nenek dan cucu, kamu dan aku." Sahut Alisha. "Aku dan Fado?" Tanya Meilani merasa geli. "Pengecualian. ha ha ha." Alisha tertawa. Persahabatan mereka memang luar biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD