Chapter 4 - Aku Tidak Akan Melepaskanmu

1612 Words
Nathan Gauthier tersenyum getir. Hatinya terasa amat tercabik-cabik begitu dirinya mendapati dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Elena, kekasih hatinya, b******u di hadapannya dengan laki-laki lain. “Maaf, aku sama sekali tak berniat untuk mengganggu kalian. Aku permisi dulu,” ucapnya sebelum akhirnya memutuskan angkat kaki secepat mungkin dari rumah Elena. Elena langsung bangkit dari kursinya dan berjalan cepat—nyaris berlari—menghampiri Nathan. Elena sudah sama sekali tak peduli meskipun di sampingnya ada Alberto Romano, yang sedaritadi tak henti-hentinya menatapi dirinya dan Nathan bergantian. “Nathan, tunggu!” teriaknya dengan raut wajah yang terlihat amat panik. Untungnya, Nathan langsung menghentikan langkahnya begitu Elena memegang lengan kanannya. “Tunggu, Nathan! Kamu hanya salah paham! Aku mohon, dengarkan aku dulu ..,” ucap Elena seraya menatap Nathan nanar. Nathan hanya terdiam seribu bahasa seraya menatapi wajah cantik kekasih hatinya dengan raut wajah datar—nyaris tanpa emosi. Rasa sakit hatinya terlalu dalam, sampai-sampai Nathan tak lagi bisa merasakan apa yang dinamakan dengan rasa kesal dan emosi. Enggan menatap Elena berlama-lama, Nathan akhirnya membuang muka, menatapi jalanan berbatu yang terdapat persis di halaman rumah Elena. Elena lanjut bicara, “Aku bersumpah padamu, Nathan, ini semua hanya salah paham!” Elena beranjak menggenggam kedua tangan Nathan seraya menatapnya dengan raut wajah yang terlihat amat bersalah, “Aku mohon, maafkan aku ..” Dengan cekatan, Nathan langsung menepis genggaman tangan Elena dari kedua tangannya, seolah-olah kekasih hatinya itu adalah bibit penyakit yang harus segera dihindari. Nathan menatap Elena kecewa, “Kenapa, Elena? Kenapa kamu mengizinkan laki-laki itu untuk menciummu?” Nathan lanjut bicara seraya tersenyum sinis, “Tidak, dia bahkan tidak hanya menciummu, dia pasti juga sudah menyentuhmu. Iya, kan?” Kedua mata Elena langsung membulat. “Aku aku sama sekali tak bermaksud untuk mencium Alberto, Nathan! Itu semua terjadi begitu saja ..,” ucapnya tak percaya. Senyum sinis di wajah tampan Nathan melebar, “Oh, jadi itu laki-laki bernama Alberto yang kamu maksud?” “Nathan, kumohon, maafkan aku ..,” mohon Elena. “Aku pasti terlalu stres dan terbawa pikiran akhir-akhir ini .. Aku .. aku pasti terlalu memikirkan orangtuaku sampai-sampai aku tak menyadari apa yang sudah aku lakukan ..,” ucapnya dengan wajah yang terlihat mulai memerah dan kedua mata yang terlihat mulai berkaca-kaca. Ya, Elena merasa malu dan bersalah pada Nathan dan dirinya sendiri. Sama seperti tadi, lagi-lagi Nathan hanya diam seribu bahasa. Entah apa yang ada dalam benaknya, Nathan hanya terdiam di tempatnya seraya terus menatapi wajah cantik kekasih hatinya. Nathan sama sekali tak berbuat apapun meskipun dirinya tahu kekasih hatinya yang sebentar lagi pasti akan menangis. Padahal dulu, jangankan menunggu sampai air mata jatuh membasahi pipi Elena, melihat wajah Elena sudah memerah saja Nathan pasti akan langsung menenangkan dan memeluk Elena. Tapi rupanya hal itu tidak berlaku untuk hari ini. Elena baru akan angkat bicara lagi saat tiba-tiba Alberto sudah keburu memanggil dirinya dan menghampiri keduanya. “Elena?” panggilnya. “Oh, jadi kalian di sini rupanya,” lanjutnya dengan senyum yang sama sekali tak menunjukkan ada rasa penyesalan di sana. Tanpa takut-takut, Alberto langsung merangkul pundak Elena lalu mengajaknya kembali ke rumahnya—sama sekali tak peduli kalau masih ada Nathan, kekasih hati Elena di sana. “Ayo lanjut makan bersama, aku masih lapar,” ucapnya ramah. Melihat Alberto yang merangkul pundak Elena sedemikian rupa dan nampak sama sekali tak mempedulikan kehadiran dirinya, emosi seketika meledak dalam benak Nathan. Tanpa basa-basi, Nathan langsung memukul wajah tampan Alberto, membuat tubuh Alberto langsung terjatuh dan tersungkur tak berdaya ke atas jalanan berbatu yang cukup tajam. “B*ngsat!” umpat Nathan emosi. Bogeman tangan Nathan berhasil membuat tubuh Alberto terpental ke belakang—terjatuh ke atas keras dan tajamnya jalanan berbatu. Raut wajah Nathan terlihat begitu berapi-api. Begitu terbakar emosi. “Dasar laki-laki sinting! Kamu pikir siapa dirimu, hah?! Berani-beraninya kamu menyentuh kekasihku!” bentaknya lagi sebelum akhirnya beralih memukul Alberto kembali. Kali ini bogeman tangan Nathan tepat mengenai tulang pipi Alberto, membuat pipinya terlihat memerah seketika. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai kemerahan itu berubah jadi luka memar yang terasa perih disertai dengan rasa nyeri yang tak tertahankan. Anehnya, Alberto Romano sama sekali tak melawan. Alberto hanya terdiam, menyerahkan dirinya begitu saja menjadi bulan-bulanan Nathan—sama sekali tak melakukan perlawanan apapun. Bukannya tidak bisa, Alberto hanya tak mau. Padahal mungkin, cukup sekali pukul saja, Alberto mampu membuat tulang hidung Nathan yang mancung nan tinggi itu patah. Ya, Alberto sengaja tak melakukan perlawanan demi Elena. Biar saja Nathan puas memukulinya, yang penting dirinya tetap ‘baik’ di mata seorang Elena Arendea. Melihat Nathan yang nampaknya tak kunjung berhenti memukuli Alberto, Elena akhirnya memutuskan untuk melerai perkelahian keduanya. Bukan karena Elena membela Alberto, Elena hanya tak mau kalau sampai tetangganya tahu dan akhirnya masalah jadi lebih rumit. Cukup hidupnya saja yang sudah sulit, Elena tak mau menggiring orang lain dalam kesulitan. “Nathan! Sudah, cukup!” teriak Elena panik. Nathan Gauthier masih tak mau kalah. Kali ini pukulannya tepat mengenai tulang hidung Alberto, membuatnya mengeluarkan darah segar seketika. Kedua mata Elena langsung membulat. “Nathan! Sudah!” ucap Elena seraya memegangi tangan kanan Nathan. Naas, malah Elena yang tak sengaja terkena bogeman tangan Nathan. Padahal tadinya Nathan hendak memukul wajah tampan Alberto lagi, tapi karena reflek, Nathan sama sekali tak sempat menghentikan pukulan tangannya. Elena terjatuh ke atas kerasnya jalanan berbatu seketika. Hidungnya terlihat berdarah, sama seperti Alberto. Nathan beralih menatap Elena dengan raut wajahnya yang terlihat amat terkejut sekaligus amat bersalah di saat yang bersamaan, “Elena ..” Alberto menatap Elena khawatir, “Elena!” Tapi bukannya menolong Elena yang masih tersungkur di atas jalanan, Alberto malah bangkit berdiri dan akhirnya memukul balik wajah tampan Nathan. “B*jingan!” umpatnya dengan raut wajah yang terlihat amat emosi. Elena menatap keduanya kesal, “Sudah! Tak usah bertengkar lagi!” Elena beralih bicara pada Alberto, “Pulang sana, Alberto! Jangan ganggu hidupku lagi!” Tubuh Alberto langsung membatu. Raut wajahnya nampak begitu tak percaya. Dalam diam, Alberto terus-menerus menatapi Nathan dan Elena bergantian, yang mulai berjalan meninggalkannya sendirian. “Sakit ya? Maaf, maafkan aku, Elena ..,” ucap Nathan seraya berjalan kembali menuju rumah Elena dengan langkahnya yang terlihat sedikit sempoyongan—dibantu oleh Elena. Elena tersenyum tipis seraya menggeleng, “Tidak apa-apa, Nathan.” Alberto hanya tersenyum sinis sebelum akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Nathan dan Elena sendirian. Sesampainya di rumah, Nathan langsung bergerak cepat mengeluarkan kotak P3K milik Elena dan membasuh luka di hidung Elena—tak peduli meskipun wajahnya juga tak kalah memarnya jika dibandingkan dengan wajah Elena. Dengan tangan yang terlihat gemetar hebat, Nathan membasuh perlahan kapas yang sudah dibasahi sedikit betadine itu ke atas hidung Elena. Elena langsung meringis kesakitan, “Aduh .. Pelan-pelan ..” Nathan menatap Elena khawatir, “Maaf, maafkan aku, Elena, aku sama sekali tak bermaksud untuk memukulmu tadi ..” Elena tersenyum tipis, “Aku sama sekali tidak apa-apa, Nathan. Kamu tidak usah khawatir. Aku tahu kamu memang tak bermaksud untuk melukaiku.” Elena terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Malah .. malah seharusnya aku yang minta maaf padamu .. Anggap saja pukulan ini sebagai hukuman buatku ..,” ucapnya seraya menatap Nathan nanar. Nathan tersenyum haru, “Elena ..” Nathan beralih memeluk tubuh mungil Elena setelahnya, mendekap tubuh mungilnya dalam dekapan hangat dadanya. Nathan mencium pucuk kepala Elena dalam-dalam lalu mengelus perlahan rambut panjang nan tebalnya, “Semua akan baik-baik saja, Elena. Aku yakin itu.” Elena melepas pelukan Nathan lalu kembali menatapnya nanar, “Maafkan aku ..” Nathan tersenyum seraya mengangguk, “Iya, aku sudah memaafkanmu.” Nathan menangkupkan wajah cantik Elena dengan satu tangannya lalu beranjak mencium bibirnya sekilas, “Aku mencintaimu, Elena.” Elena membalas senyum di wajah tampan Nathan, “Aku juga mencintaimu, Nathan.” Elena mencium bibir Nathan lagi sekilas, “Sangat, sangat mencintaimu.” ***** Bunyi gelas kaca pecah yang amat memekakan telinga menggema hingga ke seluruh penjuru ruangan. Alberto mengumpat dengan dongkol seraya mengepalkan kedua tangannya erat-erat, sampai-sampai membuat buku-buku tangannya terlihat memutih semua. Adnan, tangan kanan Alberto yang sedaritadi berdiri tak jauh dari hadapannya, tak bisa berbuat banyak jika melihat tuan mudanya itu terbakar emosi seperti sekarang. “A .. ada masalah apa, boss?” tanyanya takut-takut. Alberto menatap Adnan sinis, “Laki-laki itu .. aku tak akan membiarkan dia memiliki Elena ..” Alberto beralih memukul meja kayu jati asli yang ada di hadapannya dengan kencang nan kasar, “Elena hanya milikku!” Adnan terdiam sejenak sebelum kembali bertanya, “Laki-laki siapa yang boss maksud?” Tanpa banyak bicara, Alberto langsung mengeluarkan foto Nathan yang terpampang melalui layar digital ponselnya lalu memberikannya pada Adnan. “Siapa lelaki muda ini, boss?” tanya Adnan bingung. Alberto tersenyum kecut, “Kekasih Elena.” Setelahnya, dengan tangan yang terlihat amat gemetaran—efek terlalu banyak meminum alkohol, Alberto kembali menuangkan sebotol whiski-nya ke dalam gelas kacanya yang baru lalu menenggaknya dalam sekali habis, layaknya orang yang sudah terlalu lama tidak meminum air. “Aku bersumpah, tak peduli apapun yang terjadi, aku tak akan pernah melepaskan Elena,” bisiknya. “Apa yang akan kita lakukan sekarang, boss?” tanya Adnan penasaran. Alberto menyeringai lebar, “Aku akan segera mencari cara, kau tenang saja. Aku tidak akan membiarkan Elena lepas dari genggamanku.” Entah mengapa, begitu Alberto berkata demikian, seketika sekujur tubuh Adnan langsung bergidik ngeri. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa Adnan maupun tangan kanan Alberto yang lain tak pernah berani membuat Albero marah atau kecewa. Karena mereka tahu, itu artinya hanya satu: mimpi buruk yang akan jadi kenyataan—karena sepanjang hidupnya Alberto Romano nyaris selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Ya, tak peduli apapun dan bagaimanapun caranya. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD