**Esok paginya**
Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat lima pagi saat Elena mendapatkan sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. “Halo?” ucapnya bingung.
Begitu dijawab, suara seorang perempuanlah yang pertama kali didengar oleh Elena. “Dengan Nona Elena Arendea?” tanya perempuan itu ramah.
Elena mengangguk, “Iya, dengan saya sendiri. Ibu siapa ya?”
“Saya Jessica, HR manager dari perusahaan yang Nona lamar kemarin. Bisa bertemu hari ini setelah jam makan siang di ruang meeting?” ucap Jessica—sang penelepon—seraya tersenyum ramah.
Elena mengangguk dengan semangat, “Bisa, ibu tenang saja, saya pasti akan datang tepat waktu.”
“Baik, saya tunggu kedatangannya,” ucap Jessica sebelum akhirnya memutuskan panggilannya.
*****
Tak sampai setengah jam kemudian, begitu sampai di kantor tempat dirinya melamar pekerjaan kemarin, seorang laki-laki berusia paruh baya berpakaian rapih ala kantoran menghampiri Elena. “Nona Elena? Silahkan masuk,” ucapnya seraya menunjukkan pada Elena pintu masuk menuju ruangan pribadi Jessica.
Jantung Elena berdegup kencang seketika. “Pagi,” sapanya seraya tersenyum kikuk.
Jessica tersenyum ramah, “Pagi. Silahkan duduk.”
Elena menarik kursi yang tergeletak di depan meja kerja milik Jessica lalu mendudukinya. “Ada .. perlu apa ya?” tanyanya penasaran.
“Elena, kamu sudah diterima kerja di sini,” jawab Jessica serius.
“Be .. Benarkah?” ucap Elena yang terlihat amat terkejut.
Jessica mengangguk. “Iya. Tujuan saya memanggil kamu hari ini untuk medical check up sekaligus tanda tangan kontrak kerja,” ucapnya seraya memberikan pada Elena sebuah map berisi surat kontrak kerja.
Elena terdiam sejenak untuk berpikri. “Tapi .. setahu saya medical check up dan tanda tangan kontrak kerja tidak dilakukan di hari yang sama?” tanyanya bingung.
Jessica tersenyum ramah, “Kamu butuh pekerjaan kan?”
Elena mengangguk perlahan. “Iya .. saya .. saya harus membantu orangtua saya,” jawabnya seraya menatap Jessica nanar.
Jessica menghela napas sejenak, “Terima saja, Elena, anggap saja ini bantuan untuk orangtuamu.”
Elena terdiam sejenak setelahnya seraya terus memandangi map berisi surat kontrak kerja yang ada dalam genggaman tangannya. Melihat Elena yang nampak begitu ragu-ragu, Jessica akhirnya beralih angkat bicara lagi, mencoba meyakinkan Elena bahwa dirinya sama sekali tidak sedang mencoba menipu Elena.
“Tenang saja, kami tidak sedang menipumu kok,” ucap Jessica seraya tersenyum ramah.
Elena menghela napas sejenak, “Iya. Baik, saya akan membaca kontraknya dulu.”
Setelahnya, Elena beralih membaca surat kontrak kerjanya sejenak lalu menandatangani surat kontrak kerja bermaterai tersebut.
Jessica lanjut bicara. “Kamu sudah bisa bekerja mulai minggu depan,” ucapnya ramah.
Elena tersenyum manis, “Terima kasih, bu.”
Jessica membalas senyum Elena, “Panggil saja Miss.”
Senyum di wajah cantik Elena melebar, “Terima kasih, Miss Jessica.”
Jessica lanjut bicara, “Ah, dan satu lagi, jangan berterima kasih pada saya.”
Elena menatap Jessica bingung, “Lalu?”
Jessica hanya tersenyum, sama sekali tak menjawab pertanyaan Elena. “Kamu boleh melakukan medical check up-nya sekarang, asisten saya akan segera membantu kamu,” lanjutnya.
Elena mengangguk perlahan, “Baik.”
Begitu keluar dari ruangan pribadi Jessica, lagi-lagi, Elena terdiam sejenak untuk berpikir. ‘Aneh sekali. Perasaan baru kemarin aku melamar, mengapa pagi ini bisa langsung diterima?’ benaknya bingung.
Elena langsung menggelengkan kepalanya tak lama setelahnya, “Ah, aku tak peduli, yang penting aku dapat pekerjaan.”
*****
Sorenya, begitu selesai melakukan medical check up dan mengurus semua keperluan yang dibutuhkan untuk pekerjaannya, Elena bertemu kembali dengan Nathan, kekasih hatinya. Seperti biasa, Nathan yang memutuskan untuk berkunjung ke rumah Elena sore ini.
“Nathan!!” ucap Elena girang seketika dirinya melihat Nathan di depan rumahnya. Tanpa menunggu lama, Elena langsung memeluk erat tubuh kekasih hatinya, sampai-sampai tubuh Nathan terdorong ke belakang sedikit karena Elena terlalu bersemangat.
Nathan tersenyum lebar lalu melepas pelukan Elena, “Wow .. ada apa, Elena?”
Elena tersenyum lebar, “Aku diterima kerja, Nathan! Aku dapat pekerjaan! Astaga, aku senang sekali!”
“Benarkah? Di mana?” tanya Nathan penasaran yang merasa sama bahagianya dengan Elena.
“Di salah satu perusahaan meubel. Aku kerja di bagian admin di sana,” jawab Elena—masih dengan senyum lebar di wajah cantiknya.
Nathan mencium dahi mulus Elena sekilas, “Selamat, Elena.”
“Tapi ..”
“Tapi kenapa, hm?” ucap Nathan seraya mengelus perlahan pipi mulus Elena dengan ibu jarinya.
Elena menggeleng, “Entah, aku merasa aneh sekali. Padahal baru kemarin aku melamar, tapi kenapa tiba-tiba aku sudah diterima kerja hari ini juga?”
Dahi mulus Nathan langsung mengerut, “Benarkah?”
Elena mengangguk, “Iya. Tapi aku sudah mencari di internet dan bertanya ke banyak orang, katanya perusahaan itu bukan penipu, jadi aku menerimanya ..”
Nathan tersenyum manis. “Tidak apa-apa, Elena. Aku yakin ini semua bantuan dari Tuhan untukmu. Dia tahu kamu sedang butuh biaya untuk membantu melunasi semua hutang orangtuamu, makanya Dia memberikan kamu pekerjaan ini,” ucapnya yang mencoba menenangkan dan meyakinkan kekasih hatinya.
Elena mengangguk perlahan, “Hmm aku rasa begitu.”
Nathan lanjut bicara seraya merangkul pundak sempit Elena dengan manja, “Ayo, aku akan belikan kamu dan orangtuamu makan malam. Kita akan makan malam bersama hari ini.”
Elena mencium bibir Nathan sekilas, “Terima kasih.”
Nathan balik mencium bibir Elena, “Sama-sama.”
*****
Nun jauh di sana, lagi-lagi, dua buah pasang mata terus menerus mengawasi gerak-gerik Nathan dan Elena. Ya, siapa lagi kalau bukan Alberto Romano. Dalam diam, laki-laki tampan asal Italia itu memata-matai Nathan dan Elena dari balik lindungan mobil sport warna hitamnya.
Tepat di sampingnya sekarang, Jessica, sang manager HR yang juga menerima Elena untuk bekerja di perusahaan yang sama dengan dirinya tadi, sedang duduk menemani Alberto di dalam mobilnya.
Ya, ini semua perbuatan Alberto. Alberto Romano yang sengaja membayar Jessica untuk menerima Elena bekerja, karena dirinya tahu kalau Elena sedang kesulitan membayar semua hutang-hutang orangtuanya.
Alberto hanya ingin membantu pujaan hatinya.
“Bagaimana? Aku sudah melakukan semua yang kamu mau,” ucap Jessica seraya meyakinkan Alberto.
Alberto mengangguk. “Good. Anak buahku yang akan mentransfer semua uangnya ke rekeningmu malam ini juga,” jawabnya serius seraya terus memperhatikan Elena dan Nathan dari balik kaca mobil sport hitamnya.
Jessica tersenyum puas. Hatinya langsung merasa senang tak karuan lantaran dirinya tahu berapa jumlah uang yang akan segera masuk ke rekeningnya malam ini.
Alberto lanjut bicara, “Satu lagi.”
“Apa lagi?” tanya Jessica bingung.
Alberto beralih menatap Jessica dengan tatapan dingin nan membunuhnya, “Jangan berperilaku semena-mena pada Elena. Awas kalau sampai kamu menyakiti perasaannya.”
Jessica menghela napas sejenak, “Iya, Mister Romano. Kamu tenang saja.”
Alberto hanya tersenyum tipis.
Jessica terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Siapa memangnya gadis bernama Elena itu sampai-sampai kamu rela melakukan ini semua?” tanyanya bingung seraya ikut memperhatikan Nathan dan Elena dari balik kaca mobil sport milik Alberto.
“Hanya perempuan pujaanku,” ucap Alberto seraya tersenyum getir. ‘Elena, seandainya saja kamu tahu kalau aku juga merindukan mendiang ayah dan ibuku,’ benaknya miris.
Alberto menghela napas perlahan. “Seandainya Nathan adalah diriku, aku pasti tak akan sesedih ini sekarang ..,” bisiknya.
Jessica mengerutkan dahi mulusnya, “Apa yang barusan kamu bilang?”
Alberto langsung menggeleng, “Bukan apa-apa.” Alberto lanjut bicara seraya menyalakan mobil sport-nya, “Aku akan mengantarmu pulang sekarang.”
Jessica langsung menggeleng. “Tidak usah, turunkan aku di ATM terdekat saja,” ucapnya yang sudah tak sabar memakai uang pemberian Alberto.
Alberto menghela napas, “Okay.”
**Beberapa hari kemudian**
Hari ini hari pertama Elena Arendea resmi bekerja. Elena nampak sedikit gugup karena harus menyesuaikan diri kembali di tempat kerjanya yang baru.
“Hey, namaku Tiffany. Kamu admin baru di sini, ya?” ucap Tiffany, perempuan muda berusia tiga puluhan awal yang juga bekerja di kantor yang sama dengan Elena, seraya tersenyum ramah.
Elena mengangguk seraya tersenyum, “Ah, iya. Aku Elena.”
Tiffany membalas senyum Elena, “Aku Tiffany, bagian tim pemasaran di sini. Senang berjumpa denganmu.”
Elena tersenyum manis, “Aku juga.” Elena lanjut bertanya, “Kamu sudah lama kerja di sini?”
Tiffany mengangguk perlahan, “Lumayan. Sudah mau dua tahun.”
“Ah, begitu ..” Elena terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Aku boleh bertanya sesuatu?”
Tiffany langsung mengangguk, “Tentu. Apa yang mau kamu tanyakan?”
“Miss Jessica .. orang yang seperti apa ya?” tanya Elena seraya memelankan suaranya sedikit, sekadar memastikan supaya tak ada orang lain yang bisa mendengar ucapannya selain Tiffany.
Tiffany tersenyum lebar, “Ah, Miss Jessica .. Dia baik kok. Tapi ya, terkadang moody sedikit. Maklum, apalagi kalau sedang haid. Tapi setelah itu juga nanti dia akan baik sendiri.”
Elena mengangguk perlahan, “Ah, begitu ..”
Tiba-tiba, telepon yang ada di atas meja kerja Tiffany berbunyi. “Tunggu sebentar ya,” ucapnya lalu beralih menjawab panggilan masuknya. “Halo?”
Ternyata Jessica yang menelepon. “Tiffany? Kamu lihat Elena tidak?” tanyanya.
“Elena sedang ada bersama dengan saya. Kenapa, Miss?” ucap Tiffany penasaran.
Jessica tersenyum ramah, “Suruh Elena ke ruangan saya sekarang, ya. Saya butuh bantuan dia. Kita kedatangan seorang investor penting.”
Tiffany langsung mengangguk, “Baik.”
Panggilan singkat itupun terputus. Tiffany beralih bicara pada Elena, “Elena? Kamu disuruh ke ruangan Miss Jessica sekarang.”
Dengan secepat kilat, Elena langsung bangkit berdiri dari tempat duduknya, “Baiklah.”
“Elena?” panggil Tiffany lagi.
Elena langsung menoleh, “Iya?”
“Semangat!” ucap Tiffany seraya tersenyum lebar.
Elena tersenyum manis, “Thanks, Miss Tiffany.”
Setelahnya, Elena langsung buru-buru pergi menuju ruangan pribadi Jessica. “Permisi. Ada perlu apa Miss ..”
Ucapan Elena langsung terhenti seketika dirinya melihat siapa sosok laki-laki gagah yang sedang duduk berseberangan dengan Jessica. Kedua mata Elena yang cantik itu langsung membulat. Wajahnya terasa panas seketika. Jantungnya berdegup kencang, emosi seketika menjalari sekujur tubuhnya.
Ya, laki-laki itu, Alberto Romano.
‘Sial. Bagaimana bisa lelaki kurang ajar ini datang ke sini?’ benak Elena geram.
Jessica tersenyum ramah, “Silahkan duduk, Elena.”
Elena mengangguk perlahan. Tidak, walau bagaimanapun juga, Elena harus tetap bersikap profesional. “Ada perlu apa, Miss Jessica?” tanyanya yang sama sekali tak mempedulikan Alberto—yang sedaritadi terus-terusan menatapinya bak seekor singa yang sedang kelaparan.
“Saya perlu bantuanmu menangani dokumen ini karena saya harus pergi meeting sebentar,” ucap Jessica seraya menyerahkan pada Elena sebuah map berisi dokumen-dokumen penting.
Elena langsung mengangguk seraya menerima dokumen tersebut, “Baik.”
Jessica lanjut bicara. “Oh, iya. Kenalkan, ini Mister Alberto Romano, salah satu investor yang akan menanamkan sahamnya di perusahaan kita,” ucapnya seraya tersenyum lebar.
Elena tersenyum kikuk, “Hai ..”
Alberto menyeringai nakal, “Hai, Elena.”
Jessica bangkit berdiri dari kursinya tak lama setelahnya, “Tolong sekalian temani Mister Alberto, ya? Sebentar saja, setelah itu saya akan kembali lagi nanti.”
Sebuah petir seolah-olah langsung menyambar kepala Elena. “Ah, tentu ..,” ucapnya dengan raut wajah yang terlihat amat terpaksa.
Jessica tersenyum ramah, “Saya permisi dulu.”
Segera setelah Jessica keluar dari ruangan pribadinya, Elena langsung bertanya pada Alberto. “Mau apa kamu ke sini?” ucapnya dengan raut wajah yang terlihat amat tak suka nan sinis.
Alberto tersenyum miring, “Oh, Elena sayang, begitukah caramu melayani seorang investor, hm?”
Elena terdiam sejenak untuk berpikir. “Kamu .. memata-mataiku, ya?!” bentaknya emosi.
Alberto menyeringai lebar. ‘Selalu, Elena, selalu,’ benaknya. “Tidak. Memang kebetulan saja aku mau menanamkan sahamku di perusahaan ini. Perusahaan ini terlihat cukup menjanjikan buatku,” bohongnya.
Elena mendengus kesal, “Terserah apa katamu. Aku mau lanjut kerja dulu.”
Alberto menatap Elena serius, “Mau aku bantu?”
Elena langsung menggeleng. “Tidak usah repot-repot. Kamu duduk diam saja di situ sampai Miss Jessica kembali dari meeting-nya,” ucapnya seraya memperhatikan lembaran demi lembaran dokumen pemberian Jessica tadi, sama sekali tak memperhatikan balik wajah tampan Alberto.
Alberto menatap Elena serius, “Tapi aku memaksa, Miss Elena. Kamu tidak mau mengecewakan boss-mu, kan?”
Elena Arendea akhirnya menyerah. “Baiklah. Apa yang bisa kamu bantu?” ucapnya seraya menatap Alberto malas.
Bukannya menjawab, Alberto malah terdiam di tempatnya seraya terus menatapi Elena dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Bagaimana gundukan ranumnya yang terbungkus indah dari balik bra dan kemeja putihnya. Bagaimana rok warna coklat gelap selutut yang membungkus b****g indahnya. Oh, belum lagi ditambah high heels yang warnanya senada dengan roknya dan pulasan lipstick warna peach yang menambah kesan cantik tetapi juga menggairahkan di saat yang bersamaan.
Tanpa sadar, Elena sukses membuat milik Alberto terasa semakin sesak di bawah sana. ‘Damn,’ benak Alberto seraya menelan ludahnya dengan kasar.
Elena menjentikkan jari-jari lentiknya tepat di hadapan wajah tampan Alberto. “Alberto? Kamu jadi membantu atau tidak?” tanyanya bingung.
Alberto langsung menggeleng. “Sini, mana dokumennya,” ucapnya yang terlihat begitu salah tingkah.
“Ini,” ucap Elena seraya memberikan sebagian dokumen pentingnya pada Alberto. “Kalau sampai Miss Jessica tahu, dia pasti akan memarahiku ..,” bisiknya.
Namun rupanya suara bisikan Elena sayup-sayup masih bisa didengar oleh telinga Alberto. “Apa yang barusan kamu katakan, hm?” godanya seraya mengelus perlahan paha mulus Elena yang sebagian tak tertutup rok coklat gelap selututnya.
Reflek karena merasa kesal dan terganggu, Elena langsung menyiram wajah tampan Alberto menggunakan segelas air yang sudah diminum setengah—milik Jessica—yang tergeletak persis di hadapannya. “Jangan menyentuhku! Pergi sana!” bentaknya kasar.
Alberto tersenyum miring. “Aku rasa Jessica akan lebih memarahimu kalau sampai dia tahu kamu menyiram seorang investor penting dengan segelas air,” sindirnya.
Elena mengepalkan kedua tangannya erat-erat. ‘Sial,’ benaknya geram. “Ma .. maafkan aku ..,” ucapnya dengan raut wajah yang terlihat amat kesal dan terpaksa di saat yang bersamaan. Setelahnya, Elena beralih mengambilkan Alberto sekotak tissue untuk mengelap tubuhnya yang basah karena dirinya tadi, “Ini tissue ..”
Belum sempat Elena menyelesaikan ucapannya, Alberto sudah keburu angkat bicara duluan. “Kamu cantik sekali, Elena ..,” ucapnya seraya menatapi wajah cantik Elena dengan serius dan memegangi tangan kanannya.
Setelahnya, keduanya hanya terdiam seraya menatapi wajah rupawan masing-masing. Tanpa sadar, kedua mata Elena yang cantik itu begerak turun, menyusuri d**a bidang Alberto yang hanya tertutup kemeja warna putih tipis yang terlihat membungkus indah otot-otot tubuhnya. Wajah cantik Elena langsung merona padam seketika dirinya tersadar kalau Alberto sengaja tidak mengancing dua kancing kemejanya, menambah kesan sensual dan menggoda yang sepertinya memang sudah menjadi bagian dalam diri seorang Alberto Romano.
‘Oh, astaga,’ benak Elena seraya memalingkan wajahnya.
Alberto menyeringai puas, dirinya tahu betul ke mana arah kedua mata Elena menatap tadi. “Ada apa, hm?” godanya seraya menangkupkan wajah Elena dengan satu tangannya dan mengelus perlahan pipi mulusnya.
Elena tak menjawab, masih merasa amat enggan nan malu menatap balik wajah tampan Alberto. Alberto lanjut berbisik tepat di depan telinga Elena. “Kamu membuatku sangat b*******h di bawah sana, Elena ..,” katanya seraya meremas perlahan gundukan ranum Elena dari balik kemeja dan bra-nya.
Sebuah desahan langsung lengah dari bibir Elena, “Ahh ..”
Seringai di wajah tampan Alberto melebar, “Kamu menyukainya, sayang?”
Elena menggeleng perlahan, “Ja .. jangan menyentuhku ..”
Alberto tersenyum manis, “Aku akan menyentuhmu, Elena. Tidak sekarang, tapi nanti. Saat kamu sudah siap untukku. Kamu tahu kenapa, hm?”
“Ke .. kenapa?” tanya Elena takut-takut.
Alberto menatap Elena serius, “Karena kamu hanya milikku, Elena.” Alberto beralih mencium bibir Elena sekilas lalu beranjak meremas kembali gundukan ranumnya, “Selalu, selamanya milikku.”
Elena langsung menggigit bibir bawahnya, sebisa mungkin menahan desahan yang lagi-lagi akan lolos dari bibirnya. Tidak, Elena tidak boleh lengah dan menunjukkan pada Alberto kalau dirinya juga menyukai setiap sentuhan yang diberikan Alberto padanya.
Tak lama setelahnya, untungnya Jessica akhirnya kembali. “Ternyata meeting-nya diundur minggu depan,” ucapnya. Jessica lanjut bicara pada Elena, “Bagaimana, Elena? Kamu sudah mengerjakan dokumennya?”
Elena langsung mengangguk, “Sedang saya kerjakan, Miss.”
Jessica tersenyum manis, “Baiklah.” Jessica terdiam sejenak memperhatikan Alberto sebelum akhirnya kembali bertanya, “Bajumu kenapa, Alberto?”
Alberto menyeringai lebar, “Ruangan kerjamu panas sekali, Jessica.” Alberto lanjut bicara seraya menatapi Elena dengan tatapan nakalnya, “Aku rasa AC-mu rusak.”
Elena hanya terdiam di tempatnya. Wajahnya terlihat sudah merona sempurna.
“Benarkah?” ucap Jessica terkejut.
“Yeah,” ucap Alberto santai.
Jessica mengangguk, “Baiklah, aku akan panggil tukang servis AC kalau begitu.”
Alberto menyeringai puas, “Sepertinya memang kamu harus memanggilnya.”
Jessica lanjut bicara pada Elena seraya tersenyum ramah, “Kamu boleh pergi sekarang, Elena.”
“Dokumennya bagaimana?” tanya Elena bingung.
“Kamu bisa mengerjakannya di qubicle kerjamu,” jawab Jessica ramah.
Elena tersenyum kikuk, “Ba .. baik kalau begitu ..”
Alberto mengedipkan satu matanya pada Elena seraya tersenyum dengan tatapannya yang terlihat amat sensual, “Sampai jumpa nanti.”
Elena hanya tersenyum tipis.
‘Kamu akan segera menjadi milikku, Elena,’ benak Alberto puas.
♥♥TO BE CONTINUED♥♥